Ditetapkan Tersangka, 3 Warga Rempang Tolak Restorative Justice

Batam, IDN Times - Tiga warga Pulau Rempang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Barelang hingga saat ini menolak menempuh jalur restorative justice (RJ).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron Batam, Supriardoyo Simanjuntak mengatakan, hingga saat ini tiga warga yang ditetapkan sebagai tersangka masih menolak menempuh jalur RJ di Polresta Barelang.
"Hingga hari ini, berdasarkan informasi dari para warga, para tersangka tidak mau menempuh jalur RJ. Kita tidak tahu ke depan apakah mereka akan berubah sikap atau tidak," kata Supriardoyo dalam pesan singkatnya, Selasa (4/2/2025).
Sebelumnya, Kapolresta Barelang, Kombes Pol Heribertus Ompusunggu mengungkapkan, di dalam kasus ini pihak kepolisian juga membuka kemungkinan penyelesaian perkara ini melalui jalur RJ, yang memungkinkan penyelesaian di luar persidangan atas kesepakatan kedua belah pihak.
1. Bertemu Komnas HAM dan Kompolnas

Supriardoyo menambahkan, tiga warga yang berstatus tersangka telah mengadakan pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Langkah ini dilakukan untuk meminta perlindungan hukum atas penetapan status tersangka.
Menurutnya, Komnas HAM diharapkan dapat memberikan pendampingan agar hak-hak warga tetap terjamin dalam proses hukum yang berjalan. Sementara itu, kepada Kompolnas, mereka meminta dilakukan gelar perkara khusus guna memastikan transparansi dalam penanganan kasus.
"Permintaan ini bertujuan agar perkara yang menjerat warga bisa ditangani secara terang benderang dan objektif," tegas Supriardoyo.
2. PSN Rempang dinilai abaikan prinsip FPIC

Di sisi lain, Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kekerasan yang kembali terjadi terhadap warga Rempang sebagai bentuk pengabaian yang terus dilakukan oleh negara, terutama oleh kepolisian.
Menurut anggota Divisi Hukum KontraS, Vebriana Monicha, proyek strategis nasional (PSN) di Pulau Rempang telah merusak prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), sebagaimana diatur dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
"Kekerasan yang dilakukan oleh satuan pengamanan PT MEG menunjukkan bahwa proyek ini telah mengabaikan bahkan merusak prinsip FPIC. Masyarakat seharusnya diberi kesempatan untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap proyek ini," kata Vebriana.
Ia menambahkan, situasi ini berpotensi menghilangkan hak masyarakat atas rasa aman sebagaimana diatur dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. KontraS: penetapan tersangka tidak profesional

Selain itu, KontraS juga mengkritik proses penetapan tersangka terhadap tiga warga Rempang oleh Polresta Barelang. Menurut Vebriana, langkah tersebut dinilai tidak profesional, proporsional, dan transparan.
"Kepolisian tidak lagi bertindak demi kepentingan umum, melainkan lebih condong untuk melayani kepentingan korporasi," ungkap Vebriana.
Vebriana menilai, kriminalisasi terhadap tiga warga ini bertentangan dengan tugas pokok kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Kriminalisasi ini hanya digunakan untuk merusak reputasi korban, menghalangi mereka dalam menyuarakan penolakan, serta menimbulkan efek teror kepada pihak-pihak yang bersimpati dengan mereka," tutupnya.