Bayang-bayang Politik Uang, Jadi Jalan Menuju Korupsi

Medan, IDN Times- Politik uang atau money politic selama ini erat dikaitkan dengan upaya memenangkan Pemilu ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Politisi asal Humbang Hasundutan Hendri Tumbur Simamora yang sebelumnya turut ikut dalam kontestasi Pilkada Humbahas menyampaikan pokok pikirannya soal politik uang.
Menurutnya politik uang jadi jebakan manis yang menuntun rakyat pada jalan kehancuran. Menurutnya dengan amplop berisi beberapa lembar rupiah, banyak masyarakat terjebak selama lima tahun ke depan.
"Dalam demokrasi sejati, pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan visi mereka. Tapi di bawah bayang-bayang uang, pemilu berubah menjadi pelelangan. Yang berani bayar lebih mahal adalah pemenangnya, bukan karena mereka layak, tetapi karena mereka bisa," kata Hendri dalam pesan tertulisnya, Minggu (8/12/2024).
1. Masyarakat mengabaikan kesempatan mendapat pemimpin yang membangun perubahan nyata

Masyarakat selama ini mengabaikan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membangun dan membawa perubahan nyata. Dia menyebut rakyat harus membayar masa depannya dengan tindakan yang dilakukannya saat in.
"Politik uang adalah investasi. Tetapi investasi siapa? Investasi calon, bukan rakyat. Ketika seorang kandidat mengeluarkan miliaran rupiah untuk membeli suara, siapa yang akan membayar harga sebenarnya? Rakyat. Dalam bentuk proyek fiktif, infrastruktur setengah jadi, dan pelayanan publik yang mandek," ucapnya.
2. Politik uang pintu gerbang menuju korupsi

Menurutnya politik uang justru jadi pintu gerbang menuju korupsi. Pejabat yang terpilih dengan cara itu akan mencari cara memanipulasi anggaran hingga pengusaha yang membayar untuk kebijakan menguntungkan.
Akhirnya rakyat menjadi korban. Uang yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan malah masuk ke kantong pribadi segelintir orang.
Ia merincikan hitung-hitungan jika seorang menerima amplop sebesar Rp500 ribu untuk memilih sebuah pemimpin. Bahkan banyak yang lebih rendah lagi.
"Jika suara anda dihargai Rp500 ribu untuk lima tahun masa jabatan, itu setara dengan Rp273 per hari. Dengan uang sebanyak itu, anda bahkan tidak bisa membeli segelas kopi, tetapi anda menyerahkan masa depan anda untuk itu. Ketika harga suara menjadi serendah ini, apa artinya harga diri Anda?" ujarnya.
Seorang pejabat harus mengeluarkan angka puluhan miliar untuk bisa mengakomodir politik uang. Belum lagi biaya kampanye lainnya. Dia pesimis pejabat dengan pengeluarannya itu memikirkan rakyat.
"Bayangkan sebuah daerah dengan 141 ribu Daftar Pemilih Tetap (DPT), jika seorang kandidat memberi Rp500 ribu kepada 80 ribu pemilih, mereka harus mengeluarkan Rp40 miliar. Biaya ini belum termasuk operasional kampanye lainnya. Dengan pengeluaran sebesar itu, apakah masuk akal jika pemimpin tersebut berfokus pada rakyat ketika mereka menjabat?" katanya.
3. Rakyat akan mendapatkan feedback dari politik uang dalam bentuk kemiskinan

Menurutnya seorang yang tergiur menerima amplop justru akan mendapat feedback dalam bentuk ketidakadilan, kemiskinan dan lainnya. Amplop itu hanya jadi kenikmatan sesaat.
"Uang yang anda terima hari ini untuk memilih seorang pemimpin akan kembali menghantam anda dalam bentuk ketidakadilan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Amplop yang Anda terima hari ini mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan anda sesaat, tetapi biayanya adalah lima tahun penderitaan tanpa akhir," ucapnya.
Hendri mengatakan, masyarakat harus berani menolak politik uang. Hal ini mengembalikan nilai demokrasi sebagai alat perubahan, bukan alat transaksi.
"Dengan memutus mata rantainya, anda membantu menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Memastikan masa depan yang layak
dengan memilih pemimpin yang benar-benar kompeten. Anda memastikan pembangunan yang berkelanjutan untuk anak-anak anda," ujar Hendri.