KontraS Sumut: Sesat Pikir Direktur PUSHAM USU Menyoal Kasus Munir

Medan, IDN Times - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara melontar kritik pedas terhadap pernyataan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Sumatera Utara (PUSHAM USU) Alwi Dahlan Ritonga dalam menyoal kasus pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis HAM.
KontraS menyebut, pernyataan yang disampaikan di berbagai media massa keliru dan menyesatkan publik. KontraS juga menyesalkan pernyataan itu justru muncul dari ranah akademisi sebesar USU.
Sampai sekarang misteri kasus pembunuhan Munir masih menjadi misteri. Meski sudah ada yang diadili, dalangnya belum juga terungkap.
Menurut Kepala Operasional KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti, pernyataan Pusham USU menciderai semangat para pegiat selama ini yang terus mendorong pengungkapan kasus itu.
“Saya melihat ini merupakan sesat pikir PUSHAM USU dalam memahami dan menelaah kasus pembunuhan Munir,” kata Dinda, Rabu (27/11/2025).
1. Pernyataan PUSHAM USU keliru dan terkesan melindungi dalang pembunuhan Munir

KontraS Sumut menilai pernyataan Direktur PUSHAM USU mengenai kasus Munir sangat bermasalah. Mereka menegaskan bahwa komentar tersebut tidak sejalan dengan spirit pengungkapan kebenaran.
Dalam pernyataannya, Direktur PUSHAM USU itu menyebut tiga alasan mengapa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) salah menafsirkan kasus Munir. Pertama, asas ‘ne bis in idem’. Kedua, tidak terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat, yaitu sistematis dan meluas. Ketiga, pernyataan Ketua Komnas HAM Anis Hidayah pada 8 September 2025, yang menyatakan akan mengundurkan diri jika kasus Munir tidak diselesaikan, merupakan indikasi kegamangan.
“Saat Komnas HAM mulai mengusut kembali kasus Munir, pernyataan Pusat Studi HAM sebuah Universitas sebesar USU justru kontra produktif dengan spirit pengungkapan kasus dan cenderung mengarah pada sikap melindungi para dalang di balik kasus ini,” ujar Dinda –sapaan akrabnya--.
2. KontraS jelaskan mengapa ‘Ne Bis In Idem’ dan unsur sistematis-meluas tidak tepat dipakai

Dinda menjelaskan, bahwa penting untuk mempelajari dan membaca lebih dalam lagi penggunaan prinsip ‘ne bis in idem’ dalam konteks kasus Munir. Dorongan masyarakat sipil bukanlah untuk mengadili kembali mereka yang bertindak di lapangan yang telah diadili dan telah berkekuatan hukum tetap. Namun, mendorong negara mengadili aktor intelektual yang hingga saat ini belum tersentuh.
Ia juga mengkritisi pemaknaan sempit terkait unsur pelanggaran HAM berat yang meluas dan sistematis. Menurutnya, kasus Munir memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Pengadilan HAM.
“Silakan baca kembali Statuta Roma, Pasal 7, tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan, menyatakan serangan bersifat meluas atau sistematis, bukan meluas dan sistematis,” tambah Adinda.
masyarakat sipil, dan yang lebih parah; telah sesat pikir terkait instrumen HAM,” pungkas Dinda.
3. KontraS ingatkan bahaya penggunaan instrumen HAM secara sembarangan

Menurut Dinda, komentar Direktur PUSHAM USU memperlihatkan masalah serius dalam cara membaca sejarah pelanggaran HAM. Ia menilai akademisi tersebut gagal melawan lupa dan justru memberikan pembacaan hukum yang melemahkan upaya pengungkapan kebenaran.
Ia menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi ruang akademik yang berpihak pada korban dan penegakan HAM, bukan sebaliknya.
Dinda mengingatkan bahwa pelanggaran HAM berat tidak mengenal kedaluwarsa dan keadilan bagi keluarga Munir belum pernah benar-benar dipenuhi negara. Baginya, langkah Komnas HAM mengusut kembali kasus ini adalah kebutuhan moral setelah 20 tahun kegagalan negara mengungkap dalang pembunuhan.
“Bukan Komnas HAM yang salah kaprah, tetapi Direktur PUSHAM USU sebagai akademisi yang kurang membaca, jarang berdiskusi dengan kelompok


















