Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dibungkam Tak Padam, Eksistensi Musik Underground di Indonesia

Cover eksistensi musik underground Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Cover eksistensi musik underground Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)

Sejak dulu suara-suara perlawanan selalu hadir dari 'bawah tanah'. Dari Gigs-gigs atau panggung kecil kolektif yang menghadirkan band-band di luar arus utama atau mainstream. Gerakan musik underground selalu punya caranya sendiri untuk bersuara lewat alunan distorsinya. Melayangkan kritik-kritik sosial hingga protes atas kebijakan pemerintah lewat lagunya. 

-----------------------------

Nama Sukatani mendadak jadi perbincangan hangat selama beberapa pekan terakhir. Band asal Purbalingga Jawa Tengah beraliran new wave Punk ini viral karena video yang mereka unggah Februari lalu. Isinya klarifikasi dan permintaan maaf atas lagu mereka. 

Lagu yang dimaksud berjudul "Bayar Bayar Bayar" memuat kritik kepada polisi dengan cukup pedas. Dalam lagu itu terkandung makna jika mau melakukan berbagai hal terkait pelayanan masyarakat harus bayar ke polisi.

"Mau bikin SIM bayar polisi, Ketilang di jalan bayar polisi, Touring motor gede bayar polisi, Angkot mau ngetem bayar polisi. Aduh aduh ku tak punya uang Untuk bisa bayar polisi." Begitu salah satu penggalan lirik band Sukatani. 

Tiba-tiba band yang berformasikan duet Twisted Angel (vokalis) dan Electro Guy (gitaris) membuka topeng dan membuka identitasnya di media sosial dengan nama Muhammad Syifa Al Lufti dan Novi Citra Indriyati. 

Mereka juga menarik lagunya dari aplikasi pemutar musik online seperti spotify. Dugaan intimidasi pun menyeruak. Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto membenarkan tentang klarifikasi yang dilakukan oleh petugas Direktorat Siber Polda Jawa Tengah terhadap personel band tersebut untuk lagu tersebut. Namun dia membantah soal adanya intimidasi. 

Empat personel polisi reserse siber yang diduga mengintimidasi bahkan sempat diperiksa. "Kami sempat melakukan klarifikasi terhadap band Sukatani. Hasil klarifikasi, kami menghargai kegiatan berekspresi dan berpendapat melalui seni," kata Artanto.

Menurutnya, petugas juga tidak melarang grup musik tersebut menampilkan lagunya saat tampil di atas panggung. Ia menegaskan Polri terbuka terhadap kritik sebagai bukti kecintaan terhadap institusi ini.

Hal ini menimbulkan reaksi publik. Tagar #kamibersamasukatani mendadak hadir dan jadi perbincangan. Lagu "Bayar, Bayar, Bayar" malah makin menyebar masif. Dinyanyikan di setiap unjuk rasa. Para publik figur juga memberikan dukungan. Lagu "Bayar, Bayar, Bayar" tetap bergema.                                                     

Sukatani akhirnya berani mengungkap soal intimidasi

Vokalis Sukatani, Poison Girl, saat tampil di konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Vokalis Sukatani, Poison Girl, saat tampil di konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Dukungan yang menguat itu akhirnya membuat Sukatani yang lama bungkam atas kasus itu bersuara di instagram pada Sabtu (1/3/2025) kemarin. Setelah video pertama yang viral pada 20 Februari 2025 itu, Sukatani akhirnya mengakui jika mereka diintimidasi dari polisi, bahkan sejak Juli tahun lalu. 

"Hallo kawan-kawan, mau mengabarkan bahwa kami dalam keadaan baik namun masih dalam proses recovery pasca kejadian bertubi yang selama ini kami hadapi sejak Juli 2024 lalu. Tekanan dan intimidasi dari kepolisian terus kami dapatkan, hingga akhirnya video klarifikasi atas lagu yang berjudul "Bayar Bayar Bayar” kami unggah melalui media sosial. Kejadian tersebut membuat kami mengalami berbagai kerugian baik secara materiil maupun nonmateriil," ujar unggahan itu.

Sukatani juga menjelaskan soal pemecatan terhadap Novi, salah satu personelnya oleh sekolah tempatnya mengajar. Diketahui Novi mengajar di salah satu sekolah Islam Terpadu d Banjarnegara. 

"Kami meluruskan bahwa Twister Angel benar-benar diberhentikan (Pemutusan Hubungan Kerja) secara sepihak oleh Yayasan tempatnya mengajar dengan alasan 'Twister Angel' termasuk salah satu personel Sukatani Band Punk."

"Berkat dukungan kawan-kawan membuat kami semakin kuat dan tidak menyerah. Setelah video klarifikasi kami unggah, banyak sekali tawaran-tawaran kepada Twister Angel akibat respon dari adanya pemecatan."

"Bahkan, dalam surat pemecatan yang diterima sama sekali tidak menjelaskan apakah keikutsertaan Twister Angel sebagai personel Sukatani sebagai pelanggaran berat," tegas unggahan tersebut.

Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Tengah, Siti Farida mengatakan proses pemecatan semestinya didasari standar operasional prosedur (SOP) dan mengacu pada aturan baku yang tertuang dalam UU guru dan dosen. Pihaknya meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Banjarnegara dan pihak SD IT Mutiara Klampok untuk mengutamakan tahap pemeriksaan yang seadil-adilnya.

"Terkait pemberhentian sebagai guru sebenarnya casenya musti sesuai SOP atau UU guru dan dosen untuk tata cara pemberhentian. Jadi pada intinya bahwa kita mengedepankan pemeriksaan yang adil dan setara," kata Farida di kantornya, Senin (24/2/2025). 

Sebelumnya Kepala Sekolah SDIT Mutiara Hati, Eti Endarwati mengatakan ada kode etik yang dilanggar Novi terkait kegiatannya di luar sekolah. Namun menurutnya keputusan ini belum final dan menunggu klarifikasi Novi.

"Guru adalah figur yang diharapkan memberikan contoh baik kepada siswa, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Kode etik ini berlaku di lingkungan sekolah dan di luar sekolah," kata Eti.

"Pelanggaran yang dilakukan oleh Ibu Novi tidak terkait dengan lagu yang sedang viral atau keterlibatannya dalam grup band. Pelanggaran tersebut lebih terkait dengan perilaku yang tidak sesuai dengan standar SOP yayasan kami, meskipun dilakukan di luar sekolah," jelas Eti.

Selain soal pemecatan, Sukatani juga sempat ditawari jadi Duta Kepolisian oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Namun hal ini ditolak Sukatani.

"Bahkan khususnya kepada Sukatani, tawaran menjadi Duta Polisi dari Kapolri, dengan itu kami menolak dengan tegas tawaran menjadi Duta Kepolisan tersebut," lanjut pernyataan Sukatani.
 
Bahkan kini Sukatani menggandeng Lembaga Bantuan Hukum Semarang-YLBHI. Menegaskan jika mereka kini mereka siap memberikan perlawanan. 

Infografi soal dugaan intimidasi band punk Sukatani (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografi soal dugaan intimidasi band punk Sukatani (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografi soal dugaan intimidasi band punk Sukatani (IDN Times/Mardha Shakti)
Infografi soal dugaan intimidasi band punk Sukatani (IDN Times/Mardha Shakti)

Ada band-band underground lain yang juga mengalami pembungkaman

Filsafatian ketika manggung (dok.Irvankrasta)
Filsafatian ketika manggung (dok.Irvankrasta)

Sukatani bukan satu-satunya band yang mendapat intimidasi. Band-band yang terkenal kritis dengan lirik-lirik yang menyentil memang kerap mengalami ancaman. 

Salah satunya band Filsafatian dari Medan. Band yang terbentuk pada 27 Agustus 2010 ini menjadi salah satu band yang menyampaikan kritik-kritik sosialnya lewat lagu. 

Band yang sudah berusia 15 tahun ini beranggotakan Santus Sitorus (Guitar Vocal), Boim (Guitar Vocal), Restu Purba (Bass), dan Aci Simatupang (Drum). Sejauh ini Filsafatian telah memiliki 3 album dan 4 single. Lagu-lagunya yang masyhur antara lain seperti "Revolusi Mentel", "Negri Kompromi", hingga "Bakar Mati".

"Filsafatian mengedepankan lirik-lirik yang kuat dan berani, yang sering kali membahas isu-isu sosial dan politik yang memang menjadi keresahan banyak orang yang tak memiliki kesempatan atau keberanian untuk mengutarakan. Secara keseluruhan lirik Filsafatian bersumber dari ide dan pembicaraan masyarakat arus bawah, yang dialami dan dirasakan secara nyata. Baik itu kegembiraan, maupun kesakitan akibat penindasan dan ketidakadilan yang benar-benar ada," sebut Santus.

Setelah melihat fenomena yang ada, tak semua orang mau dan tergugah untuk menyuarakan keresahan masyarakat. Terlebih dengan melihat banyaknya jiwa-jiwa apatis dan orang-orang kritis yang hanya sebatas sampai di meja-meja kedai kopi saja.

"Harapan Filsafatian adalah bisa menyampaikannya kepada publik untuk menggugah hati dan perasaan, agar semua orang memiliki kemauan dan daya kritis," katanya.

Karena lirik-liriknya yang berani, tak jarang pula Filsafatian mendapat beragam kecaman. Meskipun tak pernah mendapatkan intimidasi secara fisik, namun mereka pernah beberapa kali dilarang membawakan sejumlah lagu-lagunya.

"Beberapa kali turun panggung ada, mendapat teguran dan sikap arogan juga ada dari pihak keamanan. Beberapa kali kami juga mengalami pelarangan seperti sejumlah lagu yang akan dibawakan. Itu dilarang oleh pihak penyelenggara. Sering sebelum manggung, list lagu yang akan dibawakan dicoret beberapa karena mereka merasa lagu Filsafatian tidak pantas dibawakan," tutur Santus.

Lagu-lagu Filsafatian yang sering dilarang ialah yang berjudul "Revolusi Mentel", "Pening & Berang", "Bakar Mati", dan "Negri Kompromi". Bahkan tidak sampai di situ, sejumlah akun anomim di media sosial yang mengaku aparat juga pernah mengancam mereka.

Apa yang dialami Sukatani sebagai band bawah tanah juga sedikit banyak dialami Filsafatian. Namun perlakuan tidak menyenangkan itu bagi Filsafatian justru menjadi pemicu utama untuk lebih melebarkan lagi area dan kesempatan untuk bersuara.

"Momen seperti yang terjadi sekarang harusnya dipakai untuk memperkuat kemauan dan kesadaran masyarakat untuk berani menyuarakan hak-haknya. Berharap banyak orang menjadi terbuka pikirannya untuk berani speak up dan mendengarkan aspirasi yang selama ini terpendam," katanya.

Dari Lombok, Nusa Tenggara Barat ada Roll With The Punch. Grup asal Kota Mataram yang digawangi oleh Lalu Satria Wira Sahroni berdiri sejak 2009 dan aktif mengisi berbagai panggung hingga 2018. 

Menurut Sahroni, banyak lagu yang mereka ciptakan memuat kritik terhadap berbagai isu sosial. Bahkan, pada Pemilu 2014, band ini merilis mini album yang mengangkat kekhawatiran mereka terkait kemungkinan kembalinya Orde Baru ketika Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai presiden.

"Kami mengkritik sistem yang akan dijalankannya jika terpilih. Mini album kami saat itu menyuarakan ketidaksetujuan kami terhadap Prabowo dan berbagai isu yang berkembang kala itu," ujarnya.

Saat ini, Roll With The Punch tengah bersiap merilis album baru yang tetap mengusung kritik sosial, termasuk menyoroti kasus yang menimpa Band Sukatani baru-baru ini

Sejak 2011 hingga 2014, Roll With The Punch dan beberapa band punk lainnya sempat menghadapi larangan tampil dari aparat. Mereka kerap ditolak ketika hendak mengisi acara karena dianggap dapat memicu kerusuhan.

"Namanya musik keras, penonton menikmatinya dengan cara yang ekspresif. Tapi sebenarnya biasa saja, bahkan dangdut pun sering ada kerusuhan," jelas Sahroni.Bahkan, beberapa band, termasuk Roll With The Punch, sempat "ditandai" oleh aparat agar tidak diizinkan tampil di berbagai acara.

"Kami sudah dicap dan dilarang tampil. Ada intervensi langsung ke penyelenggara acara agar kami tidak diundang," imbuhnya.

Bahkan ia menungkap pada 2007, seorang musisi punk asal Mataram pernah dipenjara selama tujuh bulan setelah menyuarakan kritik terhadap aparat kepolisian dalam sebuah konser di Bali.

"Teman saya dipenjara tujuh bulan hanya karena menyampaikan kritik terhadap polisi saat konser. Begitu turun panggung, dia langsung ditangkap," ungkapnya. 

Gerakan musik underground sudah ada sejak lama

Band Roll With The Punch saat manggung. (dok. Roll With The Punch)
Band Roll With The Punch saat manggung. (dok. Roll With The Punch)

Sukatani, Filsafatian, Roll With The Punch, hanya segelintir dari banyak band underground yang bersuara. Mereka lahir dari gerakan kolektif untuk menghadirkan panggung-panggung musik. Tanpa sponsor dan independen. Sehingga mereka bebas menyuarakan pesan yang mereka ingin sampaikan tanpa terikat. 

Skena ini tumbuh besar di hampir seluruh daerah Indonesia baik kota besar maupun kecil. Band-band seperti Marjinal, Bunga Hitam (Jakarta) Homicide, Jeruji, Burgerkill (Bandung), Navicula (Bali) dan banyak lainnya yang eksis dari skena underground dengan lirik-lirik yang kritis. 

Lalu apa sebenarnya musik underground? dan bagaimana sejarahnya di Indonesia?

Musik underground sering kali dikaitkan dengan kebebasan berekspresi dan kritik sosial. Genre ini mencakup berbagai subgenre seperti punk, metal, rock, dan hardcore yang umumnya memiliki nuansa musik keras dengan penggunaan drum cepat dan distorsi gitar yang dominan.

Tidak hanya sebatas gaya bermusik, underground juga merupakan sebuah gerakan budaya yang menolak komersialisasi dan tetap mempertahankan orisinalitas dalam berkarya.Selain itu, lirik dalam musik underground kerap mengangkat isu-isu sosial, politik, dan ekonomi yang jarang dibahas dalam musik arus utama. Hal ini menjadikan musik underground sebagai wadah bagi mereka yang ingin menyuarakan opini dan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam artikel jurnal dengan judul Underground Rock Music and Democratization in Indonesia yang ditulis Jeremy Wallach, peneliti antropolog dari Bowling Green State University pada 2005, skena musik underground memberikan pengaruh terhadap lahirnya demokrasi di Indonesia khususnya pada 90-a awal hingga pasca reformasi 1998.

Saat itu musik rock Indonesia di arus utama melahirkan band-band seperti Godbless, AKA, Duo Kribo, SAS Group. Saat itu era orde baru itu mereka belum mengeluarkan lirik-lirik kritis. Masih seputar kenakalan remaja, pesta dan fenomena sosial lainnya. Pada tahun 80-an awal, lahir band-band seperti Roxx, Power Metal, Rotor, Suckerhead yang mengusung musik thrash metal dan mulai bercerita tentang kritik sosial-politik.

Di luar arus utama muncul band-band di era awal 90-an seperti Antiseptic hingga Stupid yang semakin vulgar memasukkan lirik--lirik kritisnya. Dari situlah musik underground berkembang. Terutama di era reformasi.

Wallach dalam jurnalnya itu mengatakan, dirinya menemukan jaringan luas di seluruh negeri dari komunitas urban lokal yang didedikasikan untuk genre musik yang dikenal sebagai underground. "Adegan-adegan ini tidak hanya menyediakan tempat penjualan musik rock independen yang esoteris dari seluruh dunia, tetapi juga memproduksi kaset musik dan fanzine mereka sendiri, menyediakan tempat latihan dan studio rekaman, serta menyelenggarakan acara konser besar sepanjang hari yang menampilkan puluhan band lokal yang memainkan lagu-lagu dari grup Barat favorit mereka atau, semakin banyak, komposisi mereka sendiri yang dinyanyikan dalam bahasa Inggris atau Indonesia," tulis Wallach.

"Acara-acara ini—yang diadakan di kampus-kampus universitas, di klub malam, bahkan di lapangan sepak bola di bawah terik matahari—menarik ribuan penggemar dan entah bagaimana ditoleransi oleh rezim otoriter yang represif yang saat itu berkuasa di negara ini," lanjutnya.

Di era itu saat teknologi mulai bisa dijangkau, musik underground merebak ke berbagai kota-kota besar. Kiblatnya ada di Jakarta dan Bandung.

Di Jakarta band-band ini lahir di era Poster Cafe yang melahirkan band-band hardcore dan punk seperti The Idiots, Total Destroy, The End, Stepforward, Straight Answer, Dirty Edge, Cryptical Death dan lainnya. Mereka mulai berani menyuarakan kritik setelah era reformasi. Sebut saja lagu-lagu band The Idiots berjudul Song for Politican, No More Leader, Police Violence.

Kemudian juga ada komunitas Ujungberung Bandung yang melahirkan band-band hardcore seperti Jeruji, Burgerkill, Puppen, Jasad dan banyak lainnya. 

Di Yogyakarta, tahun 1999, gigs-gigs seperti Molotov mengawali era underground di kota Gudeg. Band-band seperti Death Vomit, Mistis, Blackboots, Sabotage hingga Shaggy dog lahir dari skena ini

Sementara skena Bali dipelopori komunitas Metal seperti komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Tahun 1996, ada konser underground terbesar di Bali bertajuk Total Uyut di Gor Ngurah Rai menamplkan band-band Bali seperti SID, Eternal Madness, Lithium, Triple Punk hingga Death Chorus.

Sebagian besar band-band underground saat itu didominasi punk, genre yang dianut band seperti Sukatani, Marjinal, Bunga Hitam dan banyak lainnya. Dikutip dari penelitian Daniar Wikan Setyanto dari Universitas Dian Nuswantoro Semarang yang berjudul "Makna dan Ideologi Punk" pada tahun 2015, dijelaskan bahwa Punk pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1960-an sebagai bentuk pemberontakan di bidang musik.

Seiring waktu, punk berkembang menjadi lebih dari sekadar genre musik. Punk berubah menjadi subkultur yang menentang sistem sosial, politik, dan ekonomi yang dianggap menindas. Dengan slogan “Do It Yourself” (DIY), punk mendorong anggotanya untuk mandiri, baik dalam menciptakan musik, fashion, maupun gerakan sosial.

Fashion punk menjadi simbol perlawanan terhadap kemapanan. Gaya rambut mohawk, pakaian robek, sepatu boots, serta aksesori seperti rantai dan piercing bukan hanya sekadar tampilan, tetapi memiliki makna perlawanan terhadap struktur sosial yang ada.Inti ideologi punk adalah anti-kemapanan dan penolakan terhadap otoritas.

Band-band punk internasional seperti Sex Pistols dan Rancid menjadi inspirasi bagi musisi dan komunitas punk di Indonesia.Seiring berjalannya waktu, punk di Indonesia berkembang menjadi dua kelompok besar: mereka yang benar-benar menganut ideologi punk dan hidup di jalanan (street punk), serta mereka yang hanya mengadaptasi gaya punk tanpa memahami ideologinya (fashion punk).

Masih dalam jurnalnya, Wallach menggambarkan punk adalah kategori yang paling konservatif. Menurutnya Grup punk Indonesia umumnya bersikeras bernyanyi dalam bahasa Inggris dan meniru musik mereka dari suara grup punk klasik tahun 1970-an dan/atau grup pop-punk baru tahun 1990-an dan 2000-an.

"Di sisi lain, musik metal Indonesia terus berkembang sebagai respons terhadap perkembangan pesat dan fragmentasi gaya subgenre underground seperti death metal, black metal, dan grindcore di komunitas metal “ekstrem” internasional. Hardcore, yang awalnya berkembang dari punk AS pada tahun 1980-an, merupakan genre yang terpisah," tulisnya.

Jumppiro salah satu band lawas punk di Palembang, perjalanannya mengenalkan aliran musik ini cukup sulit bagi masyarakat umum. Kata sang vokalis Avir, genre punk lebih mengutamakan opini keras yang menyinggung sebagai bentuk protes.Sehingga, banyak orang yang kurang menyukai aliran punk.

"Punk ini menggambarkan lirik-lirik keras dalam musik dan lagu mengikuti eranya. Keras tapi mengena, menyentuh di hati," jelas Avir kepada IDN Times, Jumat (28/2/2025).

Mengikuti berbagai zaman, aliran punk yang ia suarakan konsisten menunjukan lirik yang sarat perlawanan, terutama terhadap pemerintah.

"Awal mengenal musik punk dari 1991-an. Lagi booming Nirvana, Green Day, dan Rancid. Nah, dari situ mulai tau musisi punk lainnya. Terus makin suka punk karena sudah mengenal musik rock dan trash metal, sejak festival rock di Solo," jelasnya.

Banyak menyukai musisi luar dengan aliran keras, Aviro mulai aktif dan komitmen bermusik punk tahun 1998 hingga membentuk band Jumppiro. Walau tak terlalu banyak soal kritik pemerintah, lirik band Jumppiro kental dengan sarat keras."Lirik lagu kami lebih becerita soal tongkrongan, soal hati, soal sosial, dan soal ketidakberdayaan," kata dia.

Avir mengaku miris melihat musisi saat ini yang mendapatkan tindak kurang baik dari aparat. Apalagi berkaca dari kasus musisi Sukatani dengan lirik lagu melibatkan aparat.

"Kalau di dunia underground, lagu Sukatani yang viral sudah lazim di underground movement. Ada istilah yang gak mati di dunia underground, soal perlawanan underground dengan polisi. Sebenarnya sejak lama, gerakan underground khususnya punk selalu dihadapkan dengan represivitas oleh mayoritas aparat," jelasnya.

Sementara Awan, vokalis Sindikat Sisa Semalam,  sejatinya suatu karya seni termasuk lagu dibuat atau diciptakan dari sebuah keresahan. Penyampaian kritik terhadap lembaga pemerintahan atau pemangku kebijakan melalui karya lagu bukan baru kali ini, melainkan lumrah terjadi. "Saya yakin teman-teman Sukatani paham betul dengan apa yang mereka tulis dan ingin sampai melalui lagu tersebut," lanjutnya.

Oleh karenanya sebagai sesama pegiat musik, ia amat menyayangkan kejadian semacam ini, karena semestinya kritik bukan dimaknai sebagai masukan tapi malah direspons dengan tindakan-tindakan represi aparat.

Di Lampung, Awan mengatakan, belum pernah merasakan atau mendengar kejadian serupa pernah dialami rekan-rekan musisi lokal. Kendati demikian, ia berharap kejadian ini tak mengecilkan suara dalam berkarya, sekalipun bernarasikan kritik terhadap pemerintahan."Tetaplah berkarya sesuai dengan keresahan dan gaya menulis masing-masing. Kami juga meminta pemerintah untuk lebih bijak dalam menangkap suatu karya seni yang memang banyak bentuk dan warnanya tersendiri," tambah dia.

Dari kota besar hingga kecil, musik underground menggeliat

Begundal Lowokwaru saat tampil di panggung-panggung underground. (Instagram/begundallowokwaruofficial)
Begundal Lowokwaru saat tampil di panggung-panggung underground. (Instagram/begundallowokwaruofficial)

Penulis dan Dosen Fakultas Industri Kreatif Telkom University, Idhar Resmadi mengatakan band dengan aliran hardcore, punk, hip hop, hingga band metal di Kota Bandung tumbuh subur. Lirik lagu mereka pun dikemas sedemikian mungkin agar tetap masuk di telinga para penikmat musik, tanpa mengesampingkan kritik sosial tersebut.

“Mungkin liriknya tidak secara eksplisit seperti band Sukatani, tapi tetap ada isi dalam lagu yang mereka ciptakan dan mereka bawakan di setiap penampilannya yang memang menyinggung persoalan sosial,” kata Idhar kepada IDN Times, Sabtu (1/3/2025).

Lirik musik yang memperlihatkan persoalan sosial oleh musisi di kota Bandung memang bukanlah hal baru. Sejak era 90-an Bandung memang sudah dikenal sebagai kiblatnya musik metal dan aliran musik lain yang banyak Menyinggung masalah ini. Tak sedikit pula musisi yang lagunya harus diturunkan atau tidak boleh diperdengarkan lagi karena dianggap menyinggung atau bisa menimbulkan sentimen negatif pada pemerintah.

Salah satu band yang cukup keras juga dalam setiap liriknya adalah Jeruji dan Homecide. Sementara saat ini Dongker jadi band dari Bandung yang liriknya cukup menyentil. “Cuman bedanya mereka tidak viral saja seperti Sukatani,” paparnya.

Menurut Idhar, kritik pada pemerintah pasti ada setiap masanya. Maka, bukan tidak mungkin saat ini pula banyak muncul lagu-lagu yang sebenarnya mewakili ketidakpuasan masyarakat atas kinerja aparat yang seharusnya menaungi.

"Namun, cara mengkritiknya ini kembali lagi ke Bagaimana genre musik itu dibawakan oleh band tertentu atau juga kata-kata yang digunakan. Kalau musik punk memang mayoritas liriknya lebih frontal, Dan ini juga yang dilakukan oleh Sukatani ketika membuat lagu dengan judul ‘Bayar, Bayar, Bayar’.“Jadi memang beda-beda kalau mungkin dulu karena lebih ketat pemerintahnya jadi lirik yang digunakan juga tidak secara langsung ditujukan untuk mengkritisi persoalan sosial. Bisa juga band tersebut menggunakan idiom bahasa Inggris sehingga dianggap biasa saja walaupun liriknya sebenarnya mengkritisi,” ungkap Idhar.

Selain itu di Medan, sebelum Filsafatian, skena ini tumbuh di era 90-an hingga 2000-an saat band-band seperti SPR, Fingerprint, POM, Spinach Popeye, Manifesto, Empatbelas dan banyak lagi. Salah satu komunitas awal yang muncul adalah Inalum Brotherhood. 

Gigs berpindah-pindah dan ada di berbagai tempat mulai dari Gedung Kapendam Jalan Listrik, Taman Budaya, Aek Mual hingga kini di beberapa kafe.

Tak hanya di kota besar, skena underground juga tumbuh di kota-kota kecil. Di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), salah satunya Parsley yang secara lantang menyampaikan keresahan mereka terhadap berbagai isu, salah satunya kebakaran hutan dan lahan yang menjadi bencana tahunan di Kalbar.

“Sejak awal terbentuk, Parsley memang mengusung kebebasan dalam bermusik. Kami menyampaikan pesan lewat lirik-lirik tentang kehidupan, kritik sosial, politik, bahkan percintaan,” ujar Denny, vokalis Parsley Musik, saat diwawancarai, Sabtu (1/3/2025).

Salah satu lagu yang cukup menohok adalah “Bisnis Hutan”, yang diciptakan pada 2018. Lagu ini menggambarkan keresahan mereka terhadap kebakaran hutan yang terus berulang dan menyebabkan kabut asap pekat di Kalimantan.“Kebakaran hutan ini bukan lagi kejadian luar biasa, tapi seolah sudah jadi agenda tahunan. Dampaknya sangat mengganggu, terutama kabut asap yang menyelimuti Kalimantan. Lewat lagu ini, kami ingin menyentil pemerintah agar lebih serius menangani masalah ini,” ungkap Denny.

Denny juga menyoroti polemik yang tengah viral terkait band underground Sukatani.

“Menurut kami, apa yang dilakukan Sukatani keren dan sah-sah saja. Liriknya juga tidak terlalu frontal, justru relate dengan situasi saat ini,” ujar Denny.

Ia menilai kritik lewat musik adalah bentuk ekspresi yang dapat membangun. Oleh karena itu, Parsley Musik berkomitmen untuk terus berkarya dan menyuarakan keresahan masyarakat melalui lagu-lagu mereka.

Meskipun tidak menjadikan musik sebagai pekerjaan utama, Parsley Musik tetap eksis dari panggung ke panggung. Band ini bertahan karena kecintaan mereka terhadap musik dan solidaritas antaranggota.

“Bagi kami, musik adalah hobi yang serius. Kalau ditanya pekerjaan utama kami, jawabannya ya main musik. Kami tidak menjadikan musik sebagai lahan mencari pekerjaan, tapi hidup kami memang dari panggung ke panggung,” ucap Denny.

Dari Kota Malang, Begundal Lowokwaru adalah salah satu band punk legendaris asal kota ini. Lahir sejak 1999 saat skena punk tengah meledak di Indonesia tak terkecuali di Malang. 

Vokalis Begundal Lowokwaru, Ferry Wahyudi alias Ustard Cipeng menceritakan jika band ini terlahir di Singosari, Kabupaten Malang pada 1999 saat Green Day tengah meledak di panggung internasional, membuat skena punk menguasai panggung musik di Malang Raya. Tidak ada satupun personel Begundal Lowokwaru berasal dari Lowokwaru, namun mereka memang sering nongkrong bareng di Mitra 2 atau yang sekarang jadi Hotel Savana yang letaknya di dekat Lapas Lowokwaru, Kota Malang.

Cipeng mengatakan jika mereka justru kurang cocok dengan musik-musik band asal Amerika ini. Mereka justru cocok dengan musik-musik dari band Rancid, Sex Pistols, sampai Dropkick Murphys.

Pria 47 tahun ini mengungkapkan jika perkembangan gigs atau acara musik kecil di Kota Malang kini kian menggeliat, karena skena underground kini semakin banyak peminatnya. Ia mencontohkan acara musik punk di kafe-kafe kian melimpah, bahkan sampai dobel-dobel saat hari Sabtu dan Minggu.

Tapi, ia menyampaikan kalau Begundal Lowokwaru dalam 6 bulan terakhir memang memutuskan untuk istirahat dari panggung dulu. Karena mereka sekarang tengah fokus untuk merilis album baru, sekaligus merayakan 25 tahun album pertama Begundal Lowokwaru bertajuk Street Drunk Rock. Jadi mereka akan membuat album baru yang merupakan rangkuman lagu-lagu Begundal Lowokwaru dar tahuni 2000 sampai sekarang.

Bahkan mereka sebenarnya sudah punya 9 album. "Merangkum ini jadi kendala kita, karena lagu-lagu kita yang dulu masternya masih kaset, sehingga banyak yang tidak terselamatkan. Total kita punya 9 album, jadi kalau yang besok ini sudah rilis jadi album ke-10," tandasnya.

Begundal Lowokwaru memang melewati berbagai metafora dengan pergantian beberapa personil. Kini band beraliran musik punk ini diisi oleh Cipeng sebagai vokalis, Agek pada bassis, Kadek sebagi gitaris, Oky sebagian gitaris, dan Embek sebagai drumer

 

Proses kreatif terciptanya lirik, isu lingkungan juga jadi perhatian

Potret Megatruh Soundsystem dan Sukatani (dok. Megatruh Soundsystem)
Potret Megatruh Soundsystem dan Sukatani (dok. Megatruh Soundsystem)

Kekuatan lirik yang didasari pada fenomena sosial yang ada menjadi kekuatan band-band underground. Seperti lirik lagu band asal Yogyakarta Megatruh Soundsystem berjudul Petrus. 

"Mereka diculik oleh orang tak dikenal. Lalu dibantai. Yang melawan mau tak mau disikat. Langsung ditembak," begitu penggalan liriknya. 

Makna lagunya cukup dalam, yakni tentang keadaan chaos pada tahun 80-an, di mana banyak mayat orang tidak dikenal ditemukan dengan kondisi mengenaskan yang disinyalir, dihabisi oleh penembak misterius atau petrus. Tanpa takut, band yang berkembang di masa pandemi ini terus menyuarakan keresahan mereka, terutama mengenai isu sosial dan politik di Indonesia yang gelap. Dan melalui lagu, Megatruh Soundsystem menunjukkan keberpihakannya pada rakyat meski kini tengah marak karya seni yang dibungkam

Megatruh Soundsystem merupakan proyek musik dari Ari Hamzah, Arumtaka, dan Kiki Pea. Ketiga nama tadi bukan sosok baru di industri musik Jogja sebab sebelumnya mereka telah bermain dengan beberapa grup yang berbeda. "Ari Hamzah adalah drummer band Pop Punk, Fun As Thirty yang juga mantan personel Endank Soekamti.

Kiki Pea dikenal sebagai vokalis band Rockabilly, Kiki & The Klan, dan band Rock bernama Roket. Sementara Arumtaka, selain jadi DJ di beberapa tempat Ago-Go, juga bermain kibor di Danger Stranger dan ERWE," ujar Manajer Megatruh Soundsystem, Deni Adit, saat diwawancarai IDN Times Jogja pada Kamis (27/2/2025).

Meski ketiga personilnya berakar dari musik cadas, Megatruh Soundsystem justru mengadopsi elemen musik Jamaika, yakni reggae, ska, hingga dub untuk eksplorasi bunyi beserta teks-teks yang ingin disampaikan ke publik.

Berita tentang pembredelan ruang bersuara lewat seni dan budaya telah didengar oleh Megatruh Soundsystem. Namun mereka tak takut tetap kritis.

"Sebagai manusia pasti ada kekhawatiran, tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah keadaan negara kita saat ini yang semakin tidak baik-baik aja," tutur Deni.

Namun alih-alih diam, mereka tetap bersuara lewat jalur musik ini. Beberapa contoh lagu yang terang-terangan mengkritisi pemerintah adalah 'Sikut' dan 'Balada Jelata'. 'Sikut' mengisahkan tentang manusia-manusia egois yang rela menjadi penjilat hingga menghancurkan sesamanya demi atensi plus kenyangnya perut sendiri. Sedangkan lagu 'Balada Jelata', Megatruh Soundsystem dengan lantang mengaku engap dengan janji politik yang manis di awal tapi tragis di akhir. 

Proses kreatif dari Megatruh Soundsystem dilakukan secara gotong royong. Deni menjelaskan bahwa biasanya Ari Hamzah adalah yang pertama ambil peran. Ia akan menyusun guide musik, menciptakan kerangka awal dari sebuah lagu, baik itu berupa tema melodi, progresi chord, atau struktur dasar lagu.

Setelah dasar musik terbentuk, Kiki Pea masuk dengan mengisi lirik. la menangkap energi dan atmosfer dari guide musik yang telah dibuat, kemudian menuangkannya dalam kata-kata yang menggambarkan pesan atau emosi yang ingin disampaikan.

Lirik-lirik Megatruh Soundsystem umumnya memiliki muatan yang kuat, baik secara sosial, spiritual, maupun reflektif, sehingga lirik bukan sekadar kalkmat pelengkap musik, tetapi juga sebagai media ekspresi yang dalam. Dan menurut Deni, Kiki Pea sebagai penulis lirik di proyek ini selalu meluapkan apa yang menjadi kegelisahan di masyarakat.

"Musik itu netral, tapi setelah diisi lirik ia jadi berpihak, dan keberpihakan yang paling mulia adalah ikut berjuang di garis massa," tegas Deni mewakili ketiga personel Megatruh Soundsystem. Setelah musik dan lirik menyatu, tahap akhir dilakukan oleh Arumtaka, yang bertanggung jawab untuk memoles lagu hingga siap dipublikasikan. 

Isu lingkungan juga jadi perhatian band-band underground. Kritik sosial lewat lagu menjadi cara Band Hutan Tropis dalam menyuarakan isu lingkungan kepada masyarakat luas mengenai kondisi Sumatra Selatan.

Lirik lagunya sebagian besar merupakan gambaran kondisi Sumsel; mulai dari maraknya tambang, pembabatan hutan, hingga perusakan cagar budaya menjadi konsen mereka dalam menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan.

Sang vokalis kepada IDN Times, Jemmie Delvian menyebutkan, proses kreatif Hutan Tropis dalam bermusik diawali oleh keresahan hati para personelnya. Hutan Tropis melihat beragam kerusakan lingkungan dipertontonkan di sekitar mereka, sehingga muncul semangat membawa isu ini menjadi kampanye agar masyarakat luas lebih sadar mengenai dampak kerusakan lingkungan.

"Sumatra Selatan ini menjadi tempat yang marak bagi eksploitasi alam. Kondisi ini yang membuat kami resah. Kondisi eksploitasi lingkungan tersebut marak terjadi pascareformasi dimana banyak illegal logging utamanya wilayah Hulu Sumsel. Setelah illegal logging muncul juga tambang yang kian marak," ungkap Jemmie Delvian yang akrab disapa Jimi, Jumat (28/2/2025).

Jemmie menjelaskan, proses kreatif dalam bermusik sudah dilakukan dirinya sejak kecil. Bermusik menjadi cara dirinya untuk menyuarakan keresahan hati, hingga akhirnya membentuk band medio 2011-2012.

"Saya memilih bermusik untuk menyuarakan apa yang ingin disuarakan. Musik yang dipilih pun memang isinya sebagai kampanye tentang lingkungan, makanya dipilih namanya Hutan Tropis," jelas dia.

Dirinya baru memulai proses kreatif membuat lagu pada tahun 2015 dan merilis album pada 2018 silam. "Saya prihatin dengan kondisi yang terjadi di Hulu Sumsel di kawasan Bukit Barisan. Sebagai orang yang lahir di sekitar Gunung Dempo, saya merasa prihatin dengan kondisi pembalakan liar yang semakin masif. Hal ini menumbuhkan kegelisahan yang mana semakin ke sini semakin rusak," jelas dia.

Dirinya pun merasa kerusakan lingkungan mulai berdampak pada dirinya saat menyaksikan jalanan lintas Sumatra di Sumsel mulai dipenuhi oleh kendaraan yang mengangkut hasil tambang.

"Kondisi inilah yang membuat saya semakin gelisah. Setelah marak pembalakan liar, makin ke sini kok muncul pertambangan yang juga akhirnya membuat saya sumpek menyaksikan hal itu. Setiap akan pulang kampung terpaksa mengalah melihat kendaraan tambang di sepanjang jalan," jelas dia.

Jemmie mengatakan, lirik-lirik lagu yang dikeluarkan Hutan Tropis kebanyakan adalah buatannya. Liriknya pun menggambarkan kondisi yang nyata dirasakan masyarakat dengan tujuan kritik dan membangun kesadaran mengenai dampak buruk dari kerusakan lingkungan.

"Sebagai band yang konsen dengan isu lingkungan lirik-lirik lagu yang tercipta merupakan penggambaran untuk mengajak orang peduli terhadap lingkungan. Liriknya bukan yang verbal menghujat tapi memang murni mengkampanyekan isu lingkungan di Sumsel," jelas dia

Kesadaran akan isu lingkungan ini menurutnya harus dibangun secara kolektif tidak hanya disuarakan oleh musisi saja. Kerja kolektif ini juga dibangun bersama teman-teman dari Non Goverment Organization (NGO), aktivis, hingga seniman lainnya yang peduli terhadap lingkungan.

"Kerja-kerja dalam menyuarakan isu lingkungan ini sekarang lebih efektif dimana banyak entitas yang terlibat. Menurut saya ini pekerjaan ini semakin efektif dan menyenangkan karena bukan hanya dikerjakan satu orang saja melainkan kerja sama dalam menumbuhkan kesadaran. Industri pun mendukung sehingga kerja menyuarakan isu sosial dan lingkungan menjadi konsen bersama," jelas dia.

Menurutnya, isu lingkungan melalui musik memiliki spektrum tersendiri yang bisa menjadi bagian dari kampanye tentang kondisi sosial yang ada. Dirinya pun kerap bekerja sama dengan beragam aktivitas aktivisme dalam menyuarakan isu yang ada.

"Saya melihat bagaimana kampanye soal lingkungan yang dibawa oleh teman-teman aktivis memiliki irisan yang sama dengan perjuangan yang kami lakukan," jelas dia.

Kini Band Hutan Tropis terus melakukan proses kreatif dengan mengeluarkan lagu-lagu terbarunya dengan isu yang sama. Dirinya berharap, mereka dapat terus produktif dalam mengeluarkan karya agar semakin banyak orang yang akhirnya sadar dan bergerak bersama. 

Tak hanya band, tapi musisi tunggal juga hidup di skena underground

Musisi asal Kediri yang suarakan kondisi pertanian hari ini, Rianto Daffa. (Instagram/@riantdaffa)
Musisi asal Kediri yang suarakan kondisi pertanian hari ini, Rianto Daffa. (Instagram/@riantdaffa)

Tak hanya band yang hidup di skena underground. Ada juga musisi tunggal. Sebut saja Iksan Skuter hingga Jason Ranti yang aktif melayangkan kritik lewat lagu-lagu.

Di Kota Kediri, ada Riant Daffa. Berbekal sebuah gitar dan harmonika, pria 27 tahun ini bernyanyi dari panggung ke panggung di Kabupaten Kediri. Keresahannya soal masalah pertanian membuatnya tak ragu menyuarakan lewat lagu.

Riant Daffa sudah berkarya sejak 2020 lalu dan kini telah memiliki album berjudul "Pertanian Hari Ini". Albumnya itu berisi 13 lagu yang mayoritas menggambarkan kondisi pertanian hari ini. 

Salah satu lagunya berjudul "Hijau Kini Hilang ke Mana" misalnya, menggambarkan tentang alih fungsi lahan pertanian, pesatnya pembangunan di pulau Jawa membuat lahan pertanian semakin menyempit. Lagu tersebut merupakan kritikan kepada pemerintah yang terus menggerus lahan pertanian, padahal lahan pertanian sangat penting untuk produksi pangan.

"Alih-alih kritik, kebanyakan laguku pemaparan fakta. Seperti (lagu berjudul) 'Gubuk Harapan' terdapat (lirik) namun harapan tinggal harapan, kuhanya penggarap di ladang orang, merupakan cita-cita buruh tani yang tercekik oleh kebutuhan hidup," ujar pria yang akrab disapa Daffa ini kepada IDN Times, Sabtu (1/3/2025).

"(Lagu) 'Oh Tuan, Oh Nona' merupakan berbagai tanya, apakah petani kecil dilarang kaya jika tidak memiliki lahan berhektar-hektar?, Mengingat petani gurem yang memiliki lahan terbatas dan hasil bertani jika baik cukup untuk hidup satu musim tanam (kalau tidak gagal panen)," imbuh alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) ini. 

Daffa mengatakan, semua lagu-lagunya itu berangkat dari keresahannya soal masalah pertanian yang selama ini dihadapi Indonesia. Terlebih, pertanian adalah hal yang dekat dengan kehidupannya. 

"Semasa kuliah, simpang siur yang didengar mengenai beberapa masalah pertanian menjadi pemantik untuk mulai menggarap album 'Pertanian Hari Ini'. Kalau ditanya kenapa lewat lagu, karena media musik ini lebih mudah dinikmati daripada koran surat kabar dan peredarannya bisa lebih luas," ujar Daffa.

Lagu yang dia buat dilakukan dengan beberapa proses, mulai dari riset data pertanian, nada dia dapat saat berada di jalan hingga merekam sendiri lewat handphone. Kemudian ia ajukan ke dapur rekaman. 

"Untuk penyebarannya sebenarnya saya titip edarkan ke agregator atau pihak ketiga sebagai distributor ke berbagai digital platform seperti spotify, youtube, apple music dan lain-lain," ungkapnya.

Walau Daffa cukup menggemari kegiatan bermusik ini, ia menyadari bahwa di Kota kecil seperti Kediri, selain lagu dangdut, lagu seperti yang dia ciptakan tak terlalu punya pasar besar. Untuk itu, musisi underground dan reguleran seperti dirinya masih harus banyak berjuang memperkenalkan karya.

"Kiranya sudah bukan rahasia bahwa musik merupakan komoditas industri yang butuh modal dan nekat yang besar. Apalagi dicap seniman di kota kecil yang jauh dari kultur kesenian. Jadi untuk tetap eksis, perlu setidaknya hadir di tengah-tengah gigs atau setidaknya terus memproduksi lagu aja sih," ungkap Daffa.

Pengamat: Di era medsos, praktik pelarangan justru akan menyebar dan menimbulkan solidaritas yang kuat

Band Dazzle manggung di gigs underground (Instagram.com/dazzleworlddd)
Band Dazzle manggung di gigs underground (Instagram.com/dazzleworlddd)

Intimidasi band memicu diskusi luas mengenai kebebasan berkesenian di Indonesia. Apakah hanya sekadar omong kosong dan memang musisi dan seniman tak pernah benar-benar bebas?

Salah satu Pengamat Musik di Pontianak, Arbian Oktora menanggapi kasus yang tengah viral tersebut. Bian menuturkan, kejadian yang dialami Band Sukatani tersebut sedikit banyak tentu berdampak dengan teman-teman musisi lainnya yang ingin memberikan kritik, atau pesan lewat musik.

“Kemungkinan dampaknya akan ada kekhawatiran teman-teman pelaku musik akan terjadi pengulangan kasus seperti ini semoga aja tidak, tapi tetap ada kekhawatiran,” ungkap Bian, Jumat (28/2/2025).

Bian mengatakan, menyampaikan pesan atau kritik lewat karya bukanlah hal yang baru. Musik menurutnya bukan hanya sekadar hiburan namun juga sebagai media penyampai pesan.Apa yang ditulis oleh Sukatani dalam lirik lagunya, kata Bian, mungkin berasal dari pengalaman mereka sendiri atau orang-orang terdekat.

“Musik bukan sekadar hiburan tapi juga menyampaikan pesan, musik sebagai kritik sosial. Kalau kita dengar dari era Iwan Fals dari era musik 70-80 an mereka sudah melakukan kritik sosial terhadap pemerintah. Memang musik tidak cuman dijadikan hiburan semata tapi juga punya pesan tersirat,” tukasnya.

Pengamat musik asal Makassar Zulkhair Burhan menyebut dampak kasus Sukatani pada kebebasan kesenian tidak terlalu besar. Era media sosial memungkinkan informasi menyebar dengan cepat dan memicu reaksi publik nan masif dalam waktu singkat. Beda ceritanya jika ini terjadi di Orde Baru, di mana seorang musisi akan benar-benar merasa sendirian.

"Tapi kalau di era media sosial seperti sekarang. Praktik-praktik pembatasan atau pelarangan seperti itu akan segera tersebar informasinya, dan kemudian mendapatkan solidaritas yang luas. Ini justru akan menjadi serupa semangat untuk tetap bertahan, tetap menghasilkan karya-karya yang kritis terhadap pemerintah," kata Zulkhair.

Lebih jauh, Zulkhair menyebut lagu "Bayar Bayar Bayar" dengan cepat menjadi anthem dalam aksi mahasiswa karena lagu tersebut relevan apa yang masyarakat hadapi sehari-hari. Tak cuma karena liriknya dikemas secara jenaka dan mudah dihapal.

"Saya kira lagu ini relate dengan banyak orang. Relate dengan keseharian kita, sehingga kemudian sangat mudah untuk menjadi nyanyian bersama," ungkapnya.

"Kata-katanya lugas, langsung ke realitas sosial, sehingga tidak heran kalau lagu ini tidak hanya menjadi anthem dalam aksi mahasiswa dalam waktu singkat dan protes sosial, tapi dalam keseharian bahkan anak-anak menyanyikan itu karena relate dengan kehidupan sehari-hari," sambung Zulkhair.

Untuk menjelaskan fenomena tersebut, Zulkhair menyitir dua konsep penting dalam hubungan antara musik dan politik yaitu "politics of sound" dan "sound of politics." "Politics of sound" merujuk pada karya musik yang mungkin tidak bermuatan politis secara terang-terangan, tapi berbeda ceritanya ketika didalami."Jadi banyak karya-karya (kategori "politics of sound") yang secara lirik sebenarnya tidak bermuatan politis, tapi ketika coba didalami, dia punya implikasi politik," katanya.

Sementara itu, "sound of politics" adalah karya musik yang secara langsung diarahkan untuk mengkritik kebijakan atau rezim yang berkuasa. Karya-karya ini biasanya memiliki lirik yang tajam dan provokatif, serta bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat.

"Karya-karya awal Iwan Fals, Marjinal dan banyak karya band-band punk termasuk Sukatani menurut saya masuk dalam kategori itu. Jadi karya, lagu, dan sound yang dihasilkan memang diarahkan untuk kepentingan politik. Dalam hal ini kritik terhadap rezim, kritik terhadap kebijakan," jelas Zulkhair.

"Jadi karya-karya itu dalam dua konsep tadi, sangat mungkin bisa mengganggu atau diarahkan untuk kritik sosial. Sangat mungkin memberikan tekanan kepada pemerintah," sambungnya.K

Khusus di skena musik Kota Daeng, Zulkhair mencatat banyak karya yang mengangkat isu sosial, kondisi masyarakat terkini, serta kebijakan pemerintah. Umumnya mereka mengusung hardcore dan punk yang kerap beririsan dengan isu sosial-politik.

"Di Makassar sendiri saya pikir cukup banyak karya-karya yang kemudian diarahkan untuk mengkritik kebijakan pemerintah, Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Seperti misalnya lagu milik Build Down to Anathema yang mengkritik praktek reklamasi pantai," jelasnya.

Lantas bagaimana dengan Streisand effect dari pelarangan lagu Sukatani dan respons di media sosial? Media sosial disebut Zulkhair beperan penting dalam menyebarluaskan karya-karya kritik sosial. Ia bahkan menyebut label "musik bawah tanah" sudah tidak cocok era digital karena bebas diakses.

"Saya pikir kategori ini juga di era seperti sekarang jadi tidak terlalu relevan karena hampir tidak ada karya-karya sekarang yang hanya dikonsumsi circle tertentu," jelas sosok yang juga menjadi dosen ilmu sosial di salah satu perguruan tinggi di Makassar tersebut.

Sementara Pengamat Sosial UIN Raden Fatah Palembang, Profesor Abdullah Idi.

"Mungkin bisa kita lihat sebagai reaksi dari pada kondisi sosial atau kritik sosial terhadap persoalan di negeri ini, utamanya kinerja polisi. Sebenarnya ini juga harus dipandang jadi masukan untuk pemerintah dan kepolisian untuk memperbaikan kinerja polisi sendiri," ungkap Pengamat Sosial UIN Raden Fatah Palembang, Profesor Abdullah Idi.

Abdullah Idi menilai, kritikan sosial merupakan suatu keresahan yang dirasakan masyarakat dan disampaikan lewat medium kesenian. Dari musik ini banyak penyanyi yang sudah lebih dulu memberikan kritikan terhadap pemerintah atau aparat penegak hukum seperti Iwan Fals, Roma Irama dan sebagainya.

"Namun dalam kritik itu juga perlu disampaikan dengan memperhatikan etika, dan disampaikan secara substantif. Saya kira kepolisian akan memaklumi bila kritikan itu bukan diarahkan ke pribadi tetapi pada institusi," pungkasnya.

Sementara Akademisi FISIP Universitas Lampung (Unila), Fuad Abdulgani, respons negatif kepolisian menyikapi kemunculan lagu bernarasi kinerja minor anggotanya ini bukan sekadar upaya represi maupun pembungkaman kebebasan berpendapat. Melainkan lebih mencerminkan antipati pemegang kekuasaan negara terhadap kritik masyarakat.

"Kalau semakin banyak orang kritis dan bersuara, pemegang kekuasaan merasa dapat digoyang, dalam tanda kutip. Ini menunjukan kekuatan karya seni itu sendiri, jadi sebelum keberanian tersebut semakin besar hingga direpresi cepat-cepat," ujarnya dikonfirmasi, Jumat (28/2/2025).

Alih-alih membungkam penyampaian narasi kritik, lagu Bayar Bayar Bayar justru menjadi simbol perlawanan masyarakat bersatu dalam gerakan protes Indonesia Gelap beberapa waktu kebelakang. Situasi ini titik balik penyatu gerakan sipil dalam merespons kondisi sosial yang terjadi di tanah air.

Ditambah, gerakan sipil menentang kebijakan pemerintah dalam rentan waktu beberapa tahun kebelakang cukup masif semisal Indonesia Darurat, Reformasi Dikorupsi, penolakan Undang-Undang Cipta Kerja hingga pelemahan KPK, dan lain-lain.

"Jadi represi lagu Sukatani ini makin menemukan momentumnya, bukan terjadi secara kebetulan. Sebab, kecenderungan antara masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan semakin kuat dan sewenang-wenang dalam banyak hal," pungkas Fuad.

Meskipun masih sering disalahpahami sebagai musik “keras” yang identik dengan kekerasan atau pemberontakan, musik underground tetap memiliki tempat di hati para penggemarnya. Genre ini terus berkembang dengan berbagai inovasi tanpa harus mengorbankan nilai-nilai independensi yang menjadi ciri khasnya.

Dengan semakin mudahnya akses terhadap musik digital, masa depan musik underground tampaknya semakin cerah. Para musisi dan komunitas underground dapat terus berkarya dan menyebarkan pesan mereka tanpa harus bergantung pada industri musik besar. Meski tantangannya dibungkam, underground tak akan pernah padam.

Tim penulis Bandot Arywono, Cokie Sutrisno, Dhana Kencana, Fariz Fardianto, Muhammad Nasir, M Iqbal, Khusnul Hasana, Ahmad Hidayat Alsair,Rizal Adhi Pratama, Tri Purnawati, Feny Agustin, Muhammad Rangga Erfizal, Tama Wiguna, Eko Agus Herianto, Debbie Sutrisno.

Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Infografis sejarah perkembangan musik underground di Indonesia (IDN Times/Mardya Shakti)
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Umi Kalsum
Doni Hermawan
Umi Kalsum
EditorUmi Kalsum
Follow Us