Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Tradisi Komunikasi Batak yang Wajib Ditiru dalam Menjalani Hidup

Rumah Bolon, rumah adat tradisional suku Batak Toba. (pexels.com/Nabihah Bazli)
Rumah Bolon, rumah adat tradisional suku Batak Toba. (pexels.com/Nabihah Bazli)

Sering dengar kalau orang Batak itu keras dan blak-blakan? Tunggu dulu. Di balik intonasi yang tegas, Suku Batak punya budaya komunikasi yang canggih, penuh filosofi, dan sangat mengedepankan rasa hormat.

Tradisi lisan mereka bukan sekadar obrolan biasa, melainkan sebuah seni untuk membangun hubungan, berdiplomasi, dan menjaga keharmonisan.

Di zaman digital yang serba cepat ini, komunikasi kita sering kali terasa dangkal. Uniknya, kearifan lokal dari tanah Batak ini justru bisa menjadi panduan berharga. Yuk, kita intip lima tradisi komunikasi mereka yang akan membuat caramu berinteraksi jadi lebih bermakna!

1. Martarombo: Jalin Koneksi Dulu, Baru Bicara Lainnya

ilustrasi dua wanita ngobrol dekat api unggun(pexels.com/Alex P)
ilustrasi dua wanita ngobrol dekat api unggun(pexels.com/Alex P)

Pernah bertemu orang baru dan bingung mau bicara apa selain basa-basi soal kerjaan? Orang Batak punya solusinya, Martarombo. Ini bukan sekadar tanya nama, melainkan sebuah ritual untuk menelusuri silsilah (tarombo) demi menemukan titik kekerabatan. Pertanyaan sederhana seperti, "Marga apa?" menjadi pintu untuk memetakan hubungan keluarga.

Tujuannya jelas, membangun koneksi dan solidaritas. Begitu hubungan kekerabatan ditemukan, obrolan pun langsung hangat dan penuh rasa persaudaraan. Tradisi ini terbukti menjadi penyelamat, terutama bagi para perantau yang membutuhkan jaringan sosial dan rasa aman di tempat baru.

Di dunia modern, networking sering terasa transaksional. Martarombo mengajarkan kita untuk fokus pada pertanyaan, "Bagaimana kita terhubung?" sebelum "Apa yang bisa aku dapatkan darimu?". Coba, deh, saat berkenalan, carilah kesamaan yang otentik. Hubungan yang tulus akan jauh lebih kuat.

2. Dalihan Na Tolu: Memahami Posisi, Komunikasi Jadi Lancar

ilustrasi kumpul keluarga besar(pexels.com/Ngọc Anh Nguyễn)
ilustrasi kumpul keluarga besar(pexels.com/Ngọc Anh Nguyễn)

Inilah "GPS Sosial" orang Batak Toba, fondasi dari semua interaksi, Dalihan Na Tolu. Filosofi "tungku berkaki tiga" ini membagi hubungan sosial ke dalam tiga pilar yang menentukan cara kita berkomunikasi:

Hula-hula (pihak keluarga istri): Dianggap sumber berkat, sehingga harus diajak bicara dengan sikap somba (hormat dan menjunjung tinggi).
Dongan Tubu (saudara semarga): Dianggap setara, komunikasinya harus manat (hati-hati dan saling menjaga).
Boru (pihak keluarga yang menikahi perempuan darimarga kita): Harus dilindungi, maka komunikasinya memakai sikap elek (membujuk dengan lembut).

Sistem ini menjadi kontrol sosial yang menjaga interaksi tetap seimbang dan harmonis. Nilai-nilainya bahkan terbukti masih relevan untuk menyelesaikan konflik keluarga modern.

Komunikasi kita, apalagi di media sosial, sering kali "datar" dan mengabaikan konteks. Dalihan Na Tolu mengingatkan pentingnya "membaca situasi". Caramu bicara dengan atasan, rekan kerja, atau anak magang idealnya berbeda, kan? Menyesuaikan gaya komunikasi adalah cerminan kecerdasan emosional dan rasa hormat.

3. Umpasa: Menyampaikan Nasihat Tanpa Menggurui

ilustrasi berkumpul dengan keluarga (pexels.com/RDNE stock project)
ilustrasi berkumpul dengan keluarga (pexels.com/RDNE stock project)

Ingin memberi nasihat tapi takut dianggap sok bijak? Coba pakai gaya Umpasa. Ini adalah seni puisi lisan khas Batak Toba yang isinya penuh doa, restu, dan petuah bijak.

Umpasa menjadi "jiwa" dalam setiap upacara adat, membuatnya terasa lebih khidmat dan sarat makna.
Contohnya: "Jolo nidilat bibir asa nidok hata, asa unang haccit rohani donganmu." Artinya, "Jilat dulu bibir sebelum berkata, agar tidak sakit hati kawanmu." Nasihatnya dalam, namun penyampaiannya elegan. Hebatnya, tradisi ini terus hidup dan beradaptasi di era digital.

Daripada memberi kritik pedas, cobalah "membungkus" pesanmu dengan analogi atau cerita. Umpasa mengajarkan seni berkomunikasi yang halus (soft power). Pesan yang disampaikan dengan indah dan positif akan lebih mudah diterima dan dihargai.

4. Mandok Hata: Semua Suara Berhak Didengar

ilustrasi diskusi keluarga (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi diskusi keluarga (pexels.com/cottonbro studio)

Di sebuah diskusi, sering ada satu-dua orang yang mendominasi percakapan sementara yang lain diam? Tradisi Mandok Hata punya solusinya. Artinya sederhana: "mengungkapkan kata". Praktiknya adalah setiap perwakilan kelompok kekerabatan diberi kesempatan terhormat untuk berbicara secara bergiliran.

Ini adalah wujud demokrasi lokal yang memastikan semua suara didengar dan dihargai. Setiap pendapat menjadi bahan pertimbangan bersama untuk mencapai mufakat, sekaligus berfungsi sebagai perekat hubungan di tengah masyarakat.

Ciptakanlah ruang yang inklusif dalam setiap diskusi. Pastikan semua orang, tak peduli jabatan atau senioritasnya, merasa nyaman untuk berpendapat. Keputusan yang lahir dari beragam perspektif tentu akan lebih kaya dan komprehensif.

5. Marhata Sinamot: Seni Negosiasi yang Membangun Hubungan

ilustrasi memasangkan cincin ke jari (unsplash.com/G Singh)
ilustrasi memasangkan cincin ke jari (unsplash.com/G Singh)

Mahar (sinamot) dalam pernikahan Batak bukanlah tentang tawar-menawar harga. Prosesi yang disebut Marhata Sinamot ini adalah sebuah diplomasi tingkat tinggi antara dua keluarga. Tujuannya bukan untuk "menang" dalam negosiasi, melainkan untuk membangun hubungan kekeluargaan yang solid dan terhormat.

Prosesnya sangat terstruktur. Dipimpin oleh juru bicara ahli (Raja Parhata), diplomasinya menggunakan bahasa kiasan yang halus. Nilai kesopanan, keadilan, dan keterbukaan dijunjung tinggi, karena yang dibangun adalah fondasi sebuah keluarga baru.

Negosiasi tak harus menjadi ajang adu urat. Marhata Sinamot mengajarkan bahwa proses yang adil dan penuh hormat sama pentingnya dengan hasil akhir. Fokus pada tujuan bersama dan menjaga hubungan baik akan menghasilkan kesepakatan win-win yang langgeng.

Di tengah dunia yang serba cepat dan sering kali dangkal, kearifan lokal ini hadir sebagai pengingat. Ia mengajak kita untuk sedikit melambat, untuk lebih banyak mendengar, dan untuk selalu menempatkan hubungan antarmanusia di atas segalanya.

Prinsip-prinsip ini bukanlah sekadar tradisi kuno, melainkan panduan yang tak lekang oleh waktu. Siap membuat setiap interaksimu jadi lebih bermakna?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us