Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

6 Tempat Bersejarah di Sumut, Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan RI

Potret Lapangan Merdeka Medan pada 1880 dan 2020 (Dok. Gedung Arsip Pemko Medan, IDN Times/Indah Permata Sari)
Potret Lapangan Merdeka Medan pada 1880 dan 2020 (Dok. Gedung Arsip Pemko Medan, IDN Times/Indah Permata Sari)

Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia! Hari ini, di setiap sudut jalan, bendera Merah Putih berkibar dengan gagah. Semangat perayaan, mulai dari upacara khidmat hingga riuhnya suara perlombaan, terasa begitu hidup dan hangat di sekitar kita.

Di tengah semua kemeriahan ini, pernahkah kamu berhenti sejenak untuk merenung? Kemerdekaan yang kita rayakan dengan penuh suka cita ini lahir dari pengorbanan yang luar biasa. Khususnya di tanah Sumatra Utara, banyak bangunan yang kini berdiri kokoh pernah menjadi saksi bisu pertaruhan nyawa para pahlawan kita.

Maka, di momen yang sangat istimewa ini, mari kita merayakannya dengan cara yang sedikit berbeda. Bukan hanya dengan sorak-sorai, tapi juga dengan menelusuri kembali jejak perjuangan mereka.

Yuk, kita kunjungi tempat-tempat yang menjadi panggung utama di mana sejarah kemerdekaan di tanah Sumatra ditulis.

1. Lapangan Merdeka, Medan

KPOTI lakukan keseruan dengan 11 permainan tradisional di Lapangan Merdeka Kota Medan (Dok. Istimewa)
KPOTI lakukan keseruan dengan 11 permainan tradisional di Lapangan Merdeka Kota Medan (Dok. Istimewa)

Siapa sangka, alun-alun ikonik di titik nol Kota Medan ini adalah pusat salah satu momen terpenting dalam sejarah kemerdekaan di Sumatra. Jauh sebelum kita kenal ruang publik dimasa kini.  Di area ini, pada masa lalu hanyalah kebun tembakau yang dimiliki perusahaan Belanda, Deli Maatschappij. Pemerintah kolonial kemudian mengubahnya menjadi alun-alun kota yang megah dengan nama De Esplanade.

Suasananya kembali berubah saat Jepang mengambil alih, dan namanya pun berganti menjadi Fukuraido. Puncak sejarahnya terjadi pada 6 Oktober 1945. Di depan ribuan rakyat, Gubernur Sumatra pertama Teuku Muhammad Hasan, dengan lantang membacakan teks proklamasi. Momen inilah yang secara resmi membawa kabar kemerdekaan ke seluruh penjuru Sumatra.

Tiga hari setelah peristiwa itu, Wali Kota Medan Luat Siregar meresmikan dan memberi nama tempat itu menjadi Lapangan Merdeka. Nama ini menjadi penegasan simbolis atas kedaulatan bangsa yang baru saja diraih. Kini, Lapangan Merdeka telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan terus direvitalisasi untuk mengembalikan pesonanya sebagai ruang publik yang penuh kenangan.

2. Rumah Pengasingan Soekarno

Rumah Pengasingan Bung Karno di Prapat, Simalungun (Dok. IDN Times)
Rumah Pengasingan Bung Karno di Prapat, Simalungun (Dok. IDN Times)

Setelah Agresi Militer Belanda II pada akhir 1948, para pemimpin bangsa seperti Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim ditawan. Mereka kemudian diasingkan ke dua lokasi terpisah di dataran tinggi Sumatra Utara, jauh dari pusat pergerakan. Lokasi pertama adalah sebuah pesanggrahan di Desa Lau Gumba, Berastagi.

Pada masa itu, Belanda mencoba melancarkan perang psikologis. Menurut kesaksian para pelayan, mereka pernah mencoba menyogok Bung Karno, dengan memberikan setumpuk uang serta pakaian yang mewah, bahkan merencanakan pembunuhan dengan racun. Namun, semua upaya itu gagal total berkat keteguhan hati sang proklamator dan loyalitas para pelayan pribumi yang melindunginya.

Khawatir para pejuang akan membebaskan Soekarno, Belanda memindahkannya ke tempat yang lebih terisolasi di Parapat, tepat di tepi Danau Toba. Tapi di sini, kecerdikan Bung Karno justru semakin terasah. Ia berhasil mengirim pesan rahasia kepada para gerilyawan dengan cara yang unik, seperti menyelipkannya di dalam tulang paha ayam atau batang sayur kangkung yang dikirim keluar.

3. Gedung Juang 45, Pematangsiantar

Gedung Juang 45, Pematangsiantar (instagram.com/tentangsiantar)
Gedung Juang 45, Pematangsiantar (instagram.com/tentangsiantar)

Sebuah gedung bergaya Eropa di Jalan Merdeka Pematangsiantar ini dulunya adalah dunia yang sama sekali berbeda. Sebelum kemerdekaan, tempat ini merupakan klub malam eksklusif bagi para pejabat dan bangsawan perkebunan Belanda. Di sinilah mereka menghabiskan waktu untuk bersantai, berpesta, dan berdansa.

Namun, semua kemewahan itu sirna ketika api revolusi berkobar antara tahun 1945 hingga 1949. Ruang hiburan kaum kolonialis ini berubah fungsi menjadi markas komando yang sangat penting bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gedung ini menjadi pusat strategi bagi beberapa divisi penting, tempat taktik perlawanan terhadap agresi Belanda dirumuskan.

Dari lantai dansa menjadi pusat komando, gedung ini adalah saksi bisu bagaimana TNI lahir dan tumbuh di Sumatra Utara. Sayangnya, kini bangunan bersejarah yang menyimpan begitu banyak cerita ini kurang terawat dan tampak telantar.

4. Batu Lobang & Tangga Seratus

Gua batu lubang ini merupakan salah satu peninggalan sejarah di Kabupaten Tapanuli Tengah (IDNTimes/Hendra Simanjuntak)
Gua batu lubang ini merupakan salah satu peninggalan sejarah di Kabupaten Tapanuli Tengah (IDNTimes/Hendra Simanjuntak)

Kisah perjuangan tidak hanya datang dari gedung-gedung di pusat kota. Di pesisir barat Sumatra Utara, ada dua peninggalan yang menjadi monumen bisu atas kekejaman kerja paksa (kerja rodi) di masa kolonial. Keduanya dibangun dengan keringat, darah, dan air mata rakyat.

Yang pertama adalah Batu Lobang di Tapanuli Tengah. Terowongan yang menembus bukit cadas di jalan lintas Sibolga-Tarutung ini dibangun oleh para pekerja paksa. Sebagian besar dari mereka adalah tawanan pejuang. Dengan peralatan seadanya, mereka dipaksa melubangi batu dalam kondisi yang tidak manusiawi. Konon, pekerja yang sakit atau kelelahan akan langsung dibuang ke jurang.

Tak jauh dari sana, ada Tangga Seratus di Sibolga. Walau namanya "seratus", jumlah anak tangganya mencapai 298. Tangga ini dibangun atas perintah Belanda untuk mencapai puncak bukit yang dijadikan pos pengintaian. Penderitaan rakyat selama pembangunan inilah yang akhirnya menyulut api perlawanan dari pahlawan-pahlawan lokal seperti Dr. F.L. Tobing.

5. Segitiga Kekuasaan di Titik Nol Medan

Pos Bloc Medan (Mangara wahyudi )
Pos Bloc Medan (Mangara wahyudi )

Di sekeliling Lapangan Merdeka, berdiri tiga bangunan yang dulunya menjadi pilar kekuasaan kolonial: pusat administrasi, komunikasi, dan ekonomi. Perebutan kendali atas gedung-gedung ini menjadi medan pertempuran simbolis yang tak kalah pentingnya dengan pertempuran fisik.

Yang pertama adalah Balai Kota Lama (kini bagian dari Hotel Grand Inna) sebagai pusat administrasi, dan Kantor Pos Medan sebagai pusat komunikasi. Setelah proklamasi, para pemuda dengan gagah berani mengambil alih kedua gedung ini dari tangan Jepang. Menguasai Balai Kota berarti merebut pemerintahan, sementara menguasai Kantor Pos berarti memegang kendali atas arus informasi untuk para pejuang.

Pilar ketiga Gedung Bank Indonesia, dulunya tempat ini bernama De Javasche Bank, simbol kekuatan finansial kolonial. Selama masa revolusi, gedung ini menjadi arena "perang mata uang" antara uang NICA milik Belanda dan Oeang Republik Indonesia (ORI). Gedung ini akhirnya resmi menjadi milik bangsa pada tahun 1953.

6. Museum Djoeang '45

Museum Djoeang '45(tiktok com/D'buan)
Museum Djoeang '45(tiktok com/D'buan)

Agar semua kisah kepahlawanan ini tidak lekang oleh waktu, berbagai peninggalan dari masa revolusi kini disimpan dengan rapi di Museum Djoeang '45. Museum ini menjadi tempat kita bisa melihat dan merasakan kembali betapa beratnya perjuangan di masa lalu.

Di dalamnya, kamu bisa menemukan koleksi otentik yang menyentuh hati. Ada senjata hasil rampasan, alat komunikasi sederhana, mata uang darurat yang dicetak di tengah keterbatasan, hingga sepeda tua yang menjadi andalan para kurir pejuang. Banyak dari koleksi ini disumbangkan langsung oleh para veteran.

Mengunjungi museum ini bukan sekadar melihat benda-benda tua. Ini adalah cara kita untuk terhubung langsung dengan sejarah dan menghormati pengorbanan para pahlawan yang telah memberikan kita kemerdekaan.

Setiap sudut bangunan dan monumen di atas menyimpan cerita tentang keberanian, penderitaan, dan kecerdikan para pendahulu kita. Mengunjungi tempat-tempat ini bukan sekadar berwisata, tetapi sebuah perjalanan napak tilas untuk lebih menghargai arti sebuah kemerdekaan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us