Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Fakta Singapura, Desa Nelayan Kecil yang Kini Menjelma Jadi Negara Maju

Panorama Marina Bay Sands, Singapura (pexels.com/Ravish Maqsood)
Panorama Marina Bay Sands, Singapura (pexels.com/Ravish Maqsood)

Singapura adalah sebuah negara yang terletak di ujung selatan Semenanjung Malaka, Asia Tenggara. Tepatnya di antara Selat Johor yang memisahkannya dari Semenanjung Malaysia, dan Selat Singapura yang memisahkannya dari Kepulauan Riau, Indonesia.

Negara ini terdiri dari Pulau Singapura utama dan sekitar 60 pulau kecil.

Singapura juga merupakan pelabuhan terbesar di Asia Tenggara dan salah menjadi satu yang tersibuk di dunia. Pelabuhan yang mendominasi Selat Malaka ini sangat strategis sebagai rute maritim penting yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Laut Cina Selatan.

Namun sebelum menjadi negara modern, Singapura memiliki sejarah panjang yang belum banyak diketahui. Ingin tahu? Simak, yuk!

1. Pusat perdagangan yang diperebutkan oleh berbagai kerajaan

Panorana Gardens by the Bay, Singapura (pexels.com/Cyrill)
Panorana Gardens by the Bay, Singapura (pexels.com/Cyrill)

Menurut sejarah Melayu, Pangeran Sriwijaya, Sang Nila Utama, konon melihat singa di pulau ini yang dianggap sebagai pertanda baik dan keberuntungan yang luar biasa. Lantas, Sang Nila Utama menamai pulau tersebut “Singapura” yang berarti "Kota Singa". Nama ini berasal dari kata Sanskerta, yaitu “simha” yang berarti “singa” dan “pura” yang berarti “kota”. Menurut Prasasti Jawa dan catatan Cina akhir abad ke-14, pulau ini lebih dikenal dengan nama Tumasik atau Temasek, yang berasal dari kata Jawa, yaitu “tasek” yang berarti “laut”.

Jauh sebelum menjadi negara modern, Singapura dikenal sebagai Temasek, sebuah desa nelayan yang strategis di jalur perdagangan maritim Kekaisaran Sriwijaya. Wilayah ini kemudian menjadi rebutan kerajaan-kerajaan lokal seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Kesultanan Melaka, sebelum akhirnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Johor.

Titik balik terjadi pada tahun 1819, ketika Sir Thomas Stamford Raffles dari East India Company (EIC), Britannia tiba, dan melihat potensi besar Singapura sebagai pelabuhan strategis. Melalui perjanjian dengan Sultan Hussein Shah dan Temenggung Abdul Rahman, Raffles berhasil mendirikan pos perdagangan Inggris tanpa sepengetahuan Belanda, yang saat itu juga memiliki kepentingan di wilayah tersebut. Pada 1926, Singapura menjadi bagian dari Negeri-Negeri Selat bersama Penang dan Melaka di bawah pemerintahan kolonial Inggris.

2. Jatuh bangun meraih kemerdekaan

Istana Kepresidenan Singapura (commons.wikimedia.org/Elisa.rolle)
Istana Kepresidenan Singapura (commons.wikimedia.org/Elisa.rolle)

Secara mengejutkan Singapura jatuh ke tangan Jepang pada 15 Februari 1942, dan berganti nama menjadi Syonan-to. Namun, periode tersebut hanya berlangsung selama tiga tahun. Lantas, Singapura diserahkan kembali kepada Inggris setelah Jepang mengalami kekalahan telak dalam Perang Dunia II pada 12 September 1945.

Tahun 1955, pemilihan umum Ketua Menteri Singapura pertama dimenangkan oleh David Saul Marshall, seorang pengacara dan negarawan yang aktif menyuarakan kemerdekaan Singapura. Ia pun memimpin misi ke London untuk bernegosiasi mengenai kemerdekaan, meskipun upayanya tidak membuahkan hasil. Hingga pada tahun 1956, David mengundurkan diri dan digantikan oleh Lim Yew Hock. Tiga tahun kemudian, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri, Lee Kuan Yew, Singapura akhirnya memiliki pemerintahan sendiri dan mendapatkan otonomi politik internal, meskipun masih di bawah kendali Inggris.

Pada tahun 1963, Singapura memutuskan untuk berpisah dari Inggris dan bergabung dengan Federasi Malaysia, demi mengharapkan stabilitas ekonomi dan keamanan. Namun, tak lama kemudian, terjadi ketegangan politik, perbedaan ideologi, dan isu rasial, yang berujung pada keputusan pahit. Pada 9 Agustus 1965, Singapura secara resmi berpisah dari Federasi Malaysia dan memproklamasikan kemerdekaannya sebagai negara berdaulat.

3. Singapura pasca kemerdekaan

Marina Bay Sands, salah satu infrastruktur kelas dunia di Singapura (pexels.com/Nguyen Huy)
Marina Bay Sands, salah satu infrastruktur kelas dunia di Singapura (pexels.com/Nguyen Huy)

Pasca kemerdekaan, perekonomian Singapura telah bertransformasi dari negara minim sumber daya alam, pengangguran tinggi, dan kondisi sosial yang rapuh, menjadi salah satu negara paling maju di dunia. Di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, pemerintah menerapkan strategi untuk menarik investasi asing dan fokus pada industrialisasi berorientasi ekspor. Seiring waktu, ekonomi bergeser ke arah jasa bernilai tinggi dan ekonomi berbasis pengetahuan, dengan fokus pada sektor keuangan, bioteknologi, IT, logistik, dan pariwisata.

Pemerintah juga berupaya meningkatkan nilai dan produktivitas tenaga kerja yang didukung oleh komitmen besar dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sebab, pendidikan juga memainkan peran krusial dalam pembangunan ekonomi dan sosial Singapura. Ya, Singapura sangat menghargai pendidikan, sehingga menghasilkan sistem yang terstruktur, mencakup pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, serta menjamin tenaga kerja yang terlatih dengan baik.

4. Terdiri dari etnis dan bahasa yang beragam

Parade Chingay, salah satu festival budaya Singapura (commons.wikimedia.org/Fortresseconomist)
Parade Chingay, salah satu festival budaya Singapura (commons.wikimedia.org/Fortresseconomist)

Singapura memiliki populasi yang beragam akibat migrasi besar-besaran di masa lalu. Etnis Tionghoa paling mendominasi. Lebih dari dua per lima penduduk dari Provinsi Fujian berbicara dengan dialek Amoy (Xiamen), sekitar seperempatnya adalah suku Teochew dari Shantou di Provinsi Guangdong, dan sisanya berasal dari wilayah lain di Guangdong. Suku Melayu adalah kelompok etnis terbesar kedua, mencakup orang Indonesia yang berbicara bahasa Jawa, Boko Haram, dan dialek lainnya. Sedangkan kelompok India terdiri dari suku Tamil, Malayali, dan Sikh.

Singapura juga memiliki empat bahasa resmi, yaitu Bahasa Inggris, Mandarin, Melayu, dan Tamil. Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, serta sebagai media utama untuk administrasi, perdagangan, dan industri.

5. Kisah di balik patung Merlion

Patung Merlion di Merlion Park, Singapura (pixabay.com/StockSnap)
Patung Merlion di Merlion Park, Singapura (pixabay.com/StockSnap)

Nama “Merlion”, berasal dari kata “mer”, yang berarti “mermaid” dan “lion” yang berarti “singa”, yang mencerminkan mitologi dan sejarah Singapura. Merlion adalah makhluk mitologis berkepala singa yang menggambarkan Singapura itu sendiri, mewakili keberanian, ketahanan, serta aspirasi untuk tumbuh menjadi negara yang kuat dan berpengaruh. Tubuhnya adalah ikan, yang melambangkan awal mula Singapura sebagai desa nelayan sederhana, yaitu Temasek. Sedangkan air yang keluar dari mulut Merlion menegaskan peran krusial laut dalam kemakmuran Singapura sebagai pelabuhan dan pusat maritim.

Patung Merlion awalnya diciptakan sebagai maskot dan logo untuk Dewan Pariwisata Singapura, yang dirancang oleh Alec Fraser-Brunner pada tahun 1964. Patung Merlion yang berada di Merlion Park, Singapura, merupakan hasil rancangan Kwan Sai Kheong, dipahat oleh Lim Nang Seng, dan diresmikan pada 15 September 1972 oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Patung ini memiliki tinggi sekitar 8,6 meter dan berat sekitar 70 ton. Awalnya, Patung Merlion ditempatkan di mulut Sungai Singapura. Namun, pada tahun 2002, patung tersebut dipindahkan ke Merlion Park karena reklamasi lahan, tepatnya di samping Jembatan Esplanade, dan menghadap ke Marina Bay.

Perjalanan Singapura dari desa nelayan menjadi pusat global adalah kisah tentang ambisi tanpa batas. Sebuah bukti nyata bahwa keterbatasan geografis dan sumber daya bukanlah halangan untuk mencapai kemakmuran. Kini, Singapura telah berhasil bertransformasi dari negara berkembang menjadi negara maju dengan ekonomi yang sangat kuat dan standar hidup yang tinggi. Tentu disertai kunci keberhasilan meliputi pemerintahan yang stabil dan bebas korupsi, lokasi strategis sebagai pusat perdagangan, investasi berkelanjutan dalam sumber daya manusia, dan kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap perubahan global.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us