TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021, COVID-19 Alarm Kerusakan Alam

Emisi gas rumah kaca jadi ancaman serius

Kegiatan penanaman 100 batang jenis Multi Purpose Trees Spesies (MPTS) di Lahan Adat BPRPI, Kampung Tanjung Gusta, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sabtu (5/6/2021). (Dok WALHI Sumut)

Deli Serdang, IDN Times – Menjaga lingkungan harus dimulai dari langkah kecil. Namun langkah kecil ini juga harus dibarengi oleh konsistensi dan berkelanjutan.

Tanggal 5 Juni, ditetapkan menjadi Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Restorasi Ekosistem menjadi tema besar peringatan pada 2021.

Saat ini, emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi ancaman serius bagi dunia. Akumulasi GRK di atmosfer menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Kondisi ini juga  mengakibatkan pergeseran musim yang menciptakan anomali iklim dan peningkatan badai cuaca seperti El-Nino. Dampaknya adalah musim kemarau (kekeringan) berkepanjangan, sementara musim hujan menjadi lebih pendek dengan intensitas curah hujan tinggi.

Tercatat, El-Nino pada 1997-1998 adalah yang terburuk sepanjang 50 tahun terakhir. Kondisinya membuat 1998 menjadi tahun dengan El-Nino terburuk. Sumatera Bagian Selatan, Kalimantan, Jawa dan Bagian Timur Indonesia mengalami kekeringan di luar musim kemarau.

Kekeringan yang berkepanjangan berdampak terhadap penurunan produksi atau kegagalan panen tanaman pangan terutama padi dan palawija, dan krisis air bersih.

Baca Juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Jurnalis Harus Aktif Dalam Konservasi

1. Perambahan hutan berkontribusi buruk pada keberlangsungan lingkungan

Ilustrasi kebakaran hutan (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Peningkatan emisi gas rumah kaca juga dipicu oleh populasi dan aktifitas manusia. Peningkatannya semakin signifikan saat revolusi industri pada medio abad 19. GRK utamanya dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri.

Selain itu aktifitas perambahan hutan juga memberikan kontribusi signifikan. Jenis GRK yang terbanyak memberikan sumbangan pada peningkatan emisi GRK adalah CO2, CH4, dan N2O.

2. Menanam pohon jadi langkah kecil kurangi emisi GRK

Kegiatan penanaman 100 batang jenis Multi Purpose Trees Spesies (MPTS) di Lahan Adat BPRPI, Kampung Tanjung Gusta, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sabtu (5/6/2021). (Dok WALHI Sumut)

Melakukan penanaman pohon menjadilangkah kecil untuk mengurangi emisi GRK. Kampanye soal penanaman pohon ini juga terus dikampanyekan oleh sejumlah lembaga yang fokus pada konservasi lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara (Sumut), Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia dan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) melakukan upaya penghijauan/reboisasi dan pengendalian ekosiste. Mereka menanam 100 batang jenis Multi Purpose Trees Spesies (MPTS) di Lahan Adat BPRPI, Kampung Tanjung Gusta, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sabtu (5/6/2021). Kegiatan ini mengusung tema, “Pulihkan Indonesia dengan Memperluas Gerakan Ruang Hijau di Perkotaan”.

Dalam keterangan resminya, Direktur BITRA Indonesia Rusdiana mengatakan, penanaman pohon ini dilakukan sebagai bentuk penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan.

“Ini merupakan upaya kita memulihkan kondisi iklim yang semakin hari semakin buruk. Selain itu BITRA juga berupaya turut berkontribusi dalam pengendalian iklim dalam bentuk program perluasan dan memasyarakatkan pertanian organik selaras alam di Sumatera Utara. Juga membumikan faham pengelolaan pekarangan rumah dengan pola pertanian ramah lingkungan permakultur dan memasyarakatkan pemanfaatan tanaman herbal berkhasiat obat, serta penyehatan tradisional kepada masyarakat. Upaya itu semua dalam rangka kehidupan yang ramah lingkungan menuju keadilan iklim,” kata Rusdiana.

3. Kerusakan lingkungan adalah bom waktu bencana alam

Ilustrasi kawasan mangrove yang rusak di kawawasan Lubuk Kertang, Kabupaten Langkat. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Diana melanjutkan, dengan ekosistem yang baik dan sehat kita dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengendalikan perubahan iklim, dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati di Indonesia. Bitra mendorong wilayah urban dan pinggiran perkotaan untuk melakukan penghijauan secara masif.

Langkah kecil yang bisa dilakukan adalah menanam pohon di pelataran rumah masing-masing atau media lainnya.  Selain memberikan dampak pada lingkungan, cara ini bisa berimbas positif pada perekonomian.

“Kami menemukan fakta bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) global telah meningkat selama tiga tahun terakhir berturut-turut, ini berpotensi membawa bencana. Potret bencana yang terjadi di Sumatera Utara seperti banjir bandang di Parapat, Simalungun dan Deli Serdang, Longsor di lokasi PLTA Batang Toru, serta intensitas hujan yang tidak menentu menjadi indikasi bahwa perubahan atau anomali Iklim itu benar adanya dan harus segera dikendalikan,” terang Doni Latuparisa, Direktur Eksekutif WALHI Sumut.

4. COVID-19 harusnya menjadi alarm hidup soal kerusakan lingkungan

Pedagang yang tidak mengenakan masker melintas, di depan mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona, di kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (8/9/2020). ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat

Kata Doni, tidak hanya kerusakan bentang alam, bencana juga muncul lewat wujud pandemik COVID-19. Bagi dia, ini adalah konsekuensi dari kerusakan lingkungan yang kian terlihat.

“Kehidupan di dalamnya tidak seimbang dan tidak harmoni lagi! Menghancurkan ekosistem dan area habitat alami hewan, maka manusia telah menciptakan kondisi yang sangat ideal bagi patogen untuk menyebar dengan cepat dan luas termasuk penyebaran virus corona yang pada awalnya, diberitakan berasal dari kelelawar yang menjangkiti tubuh manusia,” lanjut Doni.

Baca Juga: Masih Alami Banget, Wisata Gajah di Hutan Belantara Aceh

Berita Terkini Lainnya