TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dugaan Dosen USU 'Gerayangi' Mahasiswinya, PHI: Ini Bukan Hal Baru

Korban takut ungkap kasus karena khawatir masalah akademis

IDN Times/Prayugo Utomo

Medan, IDN Times - Beberapa waktu lalu kasus dugaan pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswa di Universitas Sumatera Utara kembali menjadi sorotan publik. Melihat hal itu, sejumlah aktivis perempuan turut memberikan tanggapan. Salah satunya, Lusty Malau, aktivis perempuan dari Komunitas Perempuan Hari Ini (PHI).

Menurut Lusty, kasus ini merupakan pertimbangan yang sangat panjang dari bujuk sahabat korban untuk bersuara.

"Ini proses yang sangat panjang, dia dibujuk si R, R adalah sahabat korban, R menyarankan korban agar bersuara dan tak perlu takut, kata R lagi, ayo kita laporkan bapak itu, kalau seperti ini terus kau bisa dilecehkan, biar bagaimanapun dosen itu harus dihadapi, aku dapat informasi dari R di Februari lalu," ujar Lusty kepada IDN Times.

R juga mengatakan bahwa korban awalnya tak berani untuk bersuara walau sudah dibujuk. "Bahwa korban mengkhawatirkan nilai akademis di kampus, orang tua hingga perkataan 'ayam kampus' dari orang-orang, jadi banyak stereotipe-stereotipe," ujarnya.

Baca Juga: Dosen ‘Predator’ Masih Bebas Berkeliaran di Kampus USU

1. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi di berbagai kampus, tidak hanya di USU saja

IDN Times/Prayugo Utomo

Lusty juga mengatakan, bahwa kasus seperti ini sudah banyak terjadi di berbagai kampus, tidak hanya di Universitas Sumatera Utara (USU) saja.

"Ini bakal muncul fenomena gunung es. Tapi gitu-gitu doang sampai akhirnya gak jadi meledak. Ada juga kasus pelecehan di Jawa tapi yang terungkap mana. Aku bisa pastikan kampus-kampus di Sumatera Utara ini dari teman-temanku bahwa dosen seperti itu pasti ada," katanya.

2. Sesama perempuan harus saling support, gak harus atas nama komunitas

IDN Times/Prayugo Utomo

Lanjut Lusty, karena ia sudah pernah mengalami sehingga ia mengerti psikologi korban yang mengalami kejadian yang sama, semisal karena takut nilai, teman-teman dan juga tanggapan orang tua.

Melihat kasus seperti itu, ia mengajak, agar sesama perempuan harus saling support, gak harus atas nama komunitas.

"Kitakan bisa, ketika ada teman yang percaya sama kita, terus cerita sama kita, seperti si R tersebut. Si R kemudian menyampaikan ke aku. Disitu kan kemudian si R dan teman-temannya sudah mengupayakan adanya pemulihan kepada si korban dengan mengajak dia untuk bersuara," tuturnya.

3. Tidak semua perempuan teredukasi secara penuh dalam hal pelecehan

Kedua, sambung Lusty, hal itu bisa terjadi kepada siapapun dikarenakan tidak semua perempuan teredukasi secara penuh dalam hal pelecehan.

Kita merasa hal itu adalah kewajaran, ketika dipegang saja kita masih menganggap itu masih kewajaran.

"Kan ketika kita tahu kultur kita apakah sebenarnya wajar orang yang tidak berhubungan darah sama kita misalnya mengajak kita ke hotel, mengajak kita mengerjakan tugas di ruang privasi hanya berdua dan menyentuh bagian tubuh kita. Apakah itu sebuah kewajaran."

"Banyak juga yang beranggapan, udahlah jangan kepedean, mungkin dosen itu sibuk, mungkin dosen itu hanya punya waktu di situ. Sayangnya hal-hal seperti itu tidak teredukasi kasih kepada masyarakat," ujar Lusty.

4. Dukungan yang paling efektif saat ini adalah kampanye media sosial

IDN Times/Prayugo Utomo

Kata Lusty, dukungan yang paling efektif saat ini adalah kampanye media sosial.

Menurutnya, banyak isu yang layak dikampanyekan di media sosial tapi tetap memperhatikan keamanan korban.

"Edukasi kepada masyarakat melalui media sosial itu penting. Dan satu lagi, okelah kita serukan perempuan berani bersuara. Tapi kita tidak pernah menyatakan wadah riilnya. Misalnya kita dari Komunitas PHI wadah real agar perempuan bersuara kita buat wadah kempo misalnya, tapi masalahnya antar satu pribadi dengan pribadi lainnya kan acuh," ujarnya.

Baca Juga: Tuntut Pemecatan Dosen Cabul di USU, Mahasiswa Pajang Celana Dalam

Berita Terkini Lainnya