Pilkada Sumut 2024, Isu Lingkungan Hingga Gender Masih Terlupakan

Medan, IDN Times – Masa kampanye pemilihan kepala daerah segera berakhir. Berlanjut dengan masa tenang hingga pencoblosan pada 27 November 2024 mendatang.
Dua bulan terakhir, publik dipertontonkan dengan kampanye dari semua calon pemimpin daerah. Mulai dari tingkatan kabupaten hingga provinsi.
Di Sumatra Utara, dua kandidat pasangan calon gubernur dan pasangan calon bupati/wali kota akan bertarung merebut simpati masyarakat. Namun muncul pesimistis di kalangan pegiat. Selama ini para calon kepala daerah dinilai hanya memanfaatkan masyarakat sebagai lumbung massa. Mereka dinilai belum menyentuh sejumlah isu yang menjadi permasalahan pelik bagi daerah.
Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil Sumatra Utara (JAMSU) membedah sejumlah isu yang dinilai belum disentuh oleh para calon kepala daerah. JAMSU merupakan koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu sosial, politik, hukum, lingkungan, hingga gender.
1. Belum ada program konkret yang dikampanyekan untuk persoalan lingkungan

Bagi JAMSU, belum ada kandidat di Sumatra Utara yang benar – benar memahami persoalan lingkungan. Dalam debat kandidat, mayoritas calon tidak memberikan gambaran jelas akan isu lingkungan dan solusi pengentasan masalahnya.
“Yang sedang dipertontonkan oleh calon-calon bupati dan laki-laki bupati kita pada hari ini Tidak melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM Rocky Pasaribu dalam pertemuan di Medan, Jumat (23/11/2024) petang.
Rocky menyontohkan dalam Pilkada di kawasan Danau Toba. Isu kerusakan lingkungan nyaris tidak disentuh. Apalagi persoalan kriminalisasi terhadap masyarakat adat sebagai pejuang lingkungan.
Catatan KSPPM, ada sekitar 70 puluhan ribu hektare deforestasi hutan yang terjadi di kawasan Danau Toba karena ekspansi perusahaan pulp di sana. Berbagai bencana ekologis yang terjadi menjadi dampak nyataa akibat deforestasi itu. Namun tidak satu pun calon kepala daerah yang memberikan perhatian dalam isu itu.
“Isu pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagai penjaga hutan juga tidak masuk menjadi agenda dari kabupaten-kabupaten di kawasan Danau Toba. Termasuk di Pemerintahan Sumut. Dua pasangan calon gubernur tidak menyentuh isu itu. Padahal sudah jelas, masyarakat adat telah terbukti sebagai penjaga hutan,” ujar Rocky.
Sementara itu Wakil Direktur Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Iswanka Putra menyoroti soal potensi kerusakan lingkungan akibat politik dalam kontestasi Pilkada. Potensi korupsi Sumber Daya Alam (SDA) sering kali menjerat para pemimpin yang terpilih.
Eksploitasi lingkungan lewat kebijakan pembangunan masih terus terjadi di Sumut. Izin pertmabangan, konsesi perusahaan dan lainnya terkadang tidak dipertimbangkan dengan matang.
“Tentu ini akan memberikan dampak negatif pada lingkungan kita. Deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya habitat satwa liar berpotensi masih akan terjadi,” katanya.
Politik pilkada memiliki potensi untuk merusak sumber daya alam dan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Kata Iswan, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa proses Pilkada tidak mengorbankan lingkungan demi kepentingan politik jangka pendek.
“Dengan pengawasan yang ketat, pendidikan lingkungan, dan penegakan hukum yang tegas, kita dapat melindungi sumber daya alam untuk generasi mendatang,” katanya.
2. Politik identitas masih menjadi ancaman

Sementara itu, Juniaty Aritonang dari Bakumsu memaparkan soal ancaman penggunaan politik identitas dalam kontestasi pilkada. Kata Juni, isu-isu identitas seperti suku, agama, dan ras untuk meraih dukungan menjadi ancaman serius dan berpotensi menjadi konflik.
“Hal ini dapat memperburuk polarisasi sosial dan merusak kohesi masyarakat. Ketika kampanye politik lebih fokus pada perbedaan daripada kesamaan, masyarakat cenderung terpecah dan konflik sosial meningkat,” katanya.
Dia juga menyoroti soal diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Menurut dia, calon kepala daerah yang menggunakan strategi ini mungkin mengabaikan atau bahkan mengeksklusif kelompok-kelompok tertentu dari proses politik dan pengambilan keputusan, yang dapat memperburuk ketidak-setaraan sosial.
“Calon kepala daerah harus menghindari penggunaan isu-isu identitas yang memecah belah dan fokus pada kampanye yang inklusif. Mereka harus menekankan isu-isu substantif yang menyatukan masyarakat dan memajukan kepentingan bersama,” katanya.
Masyarakat, lanjut dia, perlu diberi pendidikan tentang pentingnya keberagaman dan kohesi sosial. Dengan demikian, mereka dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dalam memilih pemimpin yang peduli terhadap keberagaman.
Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik diskriminasi dan ujaran kebencian juga harus dilakukan. Ini akan memberikan efek jera bagi calon kepala daerah yang berniat menggunakan strategi politik identitas yang merusak.
3. Isu gender, HAM dan kelompok rentan juga masih terlupakan

Lesmawaty Peranginangin dari YAK memberikan sorotan pada isu gender, hak asasi manusia dan kelompok rentan. Menurut dia, para calon kepala daerah juga masih mengesampingkan isu-isu ini. Padahal, di Sumatra Utara, masih begitu banyak persoalan pada isu tersebut.
Data mereka menunjukkan, ada 42 kaus kekerasan terhadap pembela Hak Asasi Manusia dalam kurun waktu Januari – November 2024. Kemudian ada 1.518 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada 2023. Bagi JAMSU, ini menunjukkan masih minimnya keberpihakan pemerintah pada isu gender.
Partisipasi perempuan dalam kontestasi pilkada di sumut juga masih rendah. Tercatat, hanya ada 11 dari 166 calon kepala daerah yang maju ddalam Pilkada di Sumut.
“Jauh dari target 30 persen keterwakilan perempuan menurut Undang-undang 12 tahun 2023,” katanya.
Bagi JAMSU, Pilkada bukan hanya tentang memilih pemimpin. Lebih jauh lagi, ini merupakan proses masa depan Sumut untuk menjadi daerah yang inklusif, adil dan berorientasi pada HAM.