Fakta Tersembunyi di Balik Uap Vape
Langit jingga di luar kamar indekos Nina (bukan nama sebenarnya) mulai menjadi gelap ketika ia merebahkan tubuh di tepi ranjang. Perempuan 23 tahun itu mencoba untuk memejamkan mata sebentar setelah sejak siang hingga magrib memelototi tugas akhir di laptop.
Namun, dering ponsel di atas meja, membuat Nina bangkit. Ia meraih ponsel dan melihat sekilas layar ponselnya, tertera nama teman lamanya, sesama anggota komunitas pengguna vape (rokok elektronik). Ia menerima panggilan. Di ujung telepon, suara temannya terdengar lirih dan cukup terburu-buru.
“Dadaku sering sering sesak akhir-akhir ini. Sepertinya karena merokok. Bagaimana caranya berhenti merokok?” ujar temannya di ujung telepon.
Nina menahan napas dan membiarkan keheningan malam terlewat sesaat sebelum mampu menjawab. Pertanyaan itu mengingatkannya pada peristiwa beberapa tahun lalu, ketika ia bolak balik menjadi pasien spesialis THT karena sinusitis kronis. Vape menjadi salah satu pemicunya.
Sepanjang tahun 2021 hingga akhir 2022, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Medan tersebut merupakan perokok vape aktif. Hampir setiap hari, pod vape menjadi teman setianya untuk sekadar menenangkan diri atau melepas penat sebentar dari tugas-tugas kuliah. Lebih dari alasan tersebut, Nina percaya, bahwa vape merupakan produk yang lebih aman digunakan dibanding rokok biasa (konvensional).
“Tak seperti rokok biasa yang kadang-kadang mengeluarkan asam hitam dan ada bau penyengatnya, vape justru hanya mengeluarkan uap yang kesannya manis,” kata Nina, pertengahan Agustus lalu.
Sebenarnya, Nina sudah merokok sejak duduk di kelas 1 SMA. Ia bercerita, pergaulan menjadi satu penyebabnya. Ia mengenal rokok dari teman-temannya. “Akhirnya saya ikut-ikutan merokok. Setiap nongkrong, kami pasti merokok. Kalau stres di sekolah, kami merokok. Kalau bolos sekolah pun, kami merokok,” katanya.
Sekitar dua tahun menjadi perokok tembakau, Nina berusaha untuk menghentikan kebiasaannya. Kepindahannya ke Medan untuk kuliah di tahun 2021 menjadi titik baliknya karena ia sudah jauh dari teman SMA di Aceh. Nina berjanji pada diri sendiri untuk berhenti merokok, walaupun ia tahu sebenarnya janjinya itu sulit ditepati. Dari beberapa teman kuliahnya yang merokok, Nina mendapat informasi, satu cara berhenti merokok tembakau adalah dengan menggunakan vape.
“Kata teman-teman, vape ada rasanya, asapnya lebih wangi, punya bentuk seperti pulpen dan lucu-lucu. Jadi lebih sehat dan tidak seberbahaya rokok biasa. Dengan ngevape, katanya kita bisa mengontrol sendiri nikotinnya. Akhirnya lama-lama bisa hilang ketagihan dengan rokok biasa. Ya sudah, akhirnya saya pilih vape,” ujarnya.
Alih-alih mengontrol nikotin, Nina mengaku menjadi pengguna vape yang sangat aktif, bahkan lebih aktif dibandingkan saat ia mengisap rokok tembakau. Tak cuma ngevape di kampus dan di kamar indekos setiap hari, Nina juga bahkan ikut komunitas vape di Medan. Dari komunitas ini, Nina menyadari bahwa vape dianggap biasa saja di Medan, termasuk jika penggunanya adalah perempuan berhijab seperti dia.
“Di sini (Medan), biasa saja kalau perempuan berhijab menggunakan vape di tempat umum. Hal ini membuat saya makin percaya diri. Bahkan alat vape, saya gantungkan saja di leher. Tak terhitung bentuk pod dan aneka liquid yang sudah saya gunakan. Pokoknya saya yakin saja kalau vape membantu mengurangi ketagihan rokok biasa,” katanya.
Namun semua keyakinannya itu runtuh pada suatu sore di akhir tahun 2022. Saat berada di kamar indekos, hidungnya mengeluarkan darah (mimisan). Nina tak menaruh curiga. Ia menduga, mimisan tersebut karena faktor cuaca Kota Medan yang panas dan khawatir ia terkena Covid-19 yang masih marak kasusnya saat itu. Nina pun mengabaikan mimisannya.
“Saya hanya berpikir mungkin karena kurang istirahat atau kurang minum air putih. Saya masih tetap pakai vape. Tapi lama kelamaan, keluhan saya tidak hilang, justru bertambah. Kepala pusing dan sering flu. Saya coba minum obat yang dibeli di warung, tapi tak sembuh-sembuh. Oleh mama, saya disarankan berobat ke dokter. Pertama ke dokter umum dan diberikan obat. Tapi tak sembuh juga. Karena tak sembuh, saya dirujuk ke spesialis THT. Berdasarkan pemeriksaan lengkap, saya terkena sinusitis kronis,” terangnya.
Nina menyatakan kaget saat diberitahu terkena sinusitis. Menurutnya, ia tak memiliki kebiasaan yang membuatnya harus terkena sinusitis. Saat berkonsultasi dengan dokter dan menuding dirinya merokok, ia membantah. Ia menyebut, sudah berhenti merokok dua tahun terakhir dan beralih menggunakan vape. “Saya dicereweti dokter dan bilang bahaya asap rokok dan vape itu sama saja. Bahkan asap vape lebih parah dari asap rokok biasa,” kata dia mengenang ucapan dokter.
Nina menyatakan, hanya bengong saja waktu itu. Bingung mau mengatakan apa untuk membela diri. Dokter bilang kalau sinusnya mau sembuh, ia harus berhenti ngevape. Kalaupun sinus sembuh dan kembali ngevape, pasti sinusnya kambuh lagi. Syukurlah Nina tak opname, tapi harus minum obat yang tak sedikit selama berbulan-bulan. "Terus terang, waktu itu saya khawatir juga, apalagi aktivitas kuliah sedang padat-padatnya. Saya berusaha untuk mengikuti saran dokter, berhenti vape. Akhirnya bisa. Saya tidak ngevape lagi dan sinus saya sudah sembuh total,” kata Nina.

Berbeda dengan Nina, Nofa (21) bahkan tidak pernah mengisap apalagi memegang rokok, baik tembakau maupun elektronik. Namun, ia merasa tubuhnya ada masalah akibat dari kebiasaan merokok orang-orang di sekitarnya, baik di rumah dan di tempatnya bekerja. Nofa sempat bekerja sebagai pelayan (waiter) di sebuah kafe.
Setahun lalu, Nofa pernah mengalami sesak napas yang tak kunjung reda. Awalnya, ia mengira sesak napas tersebut karena faktor kelelahan bekerja serta terpapar debu dan asap kendaraan di Kota Medan. Ia lalu mencoba menggunakan masker. Bukannya sembuh, ia merasakan dadanya semakin berat dan sesak. Nofa memeriksakan diri ke dokter. Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen, terlihat ada penumpukan cairan di paru-paru Nofa.
Nofa menyatakan kaget karena tak merasa melakukan aktivitas yang mengarah ke kondisi tersebut. Tapi ketika ia menceritakan kondisinya yang berada dalam lingkungan perokok, dokter menyebut, cairan di paru-paru bisa jadi akibat terlalu sering mengisap asap rokok, termasuk uap vape dari teman kerja dan pengunjung kafe yang merokok. “Jujur kaget karena saya tidak pernah merokok. Memegang rokok atau vape pun tidak. Tapi setelah mendengar penjelasan dokter dan melihat aktivitas saya, saya jadi percaya,” katanya.
Khusus untuk vape, Nofa awalnya berpikiran tidak seberbahaya asap rokok tembakau karena uapnya yang wangi. Nofa pun mengabaikannya. “Menurut dokter, uap wangi yang saya hirup sebenarnya mengandung partikel-partikel halus dan zat kimia yang masuk ke paru-paru tanpa kita sadari,” kata dia.
Menurut Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), spesialis paru dari RS Persahabatan Jakarta, kasus seperti Nina dan Nofa memberi gambaran bahwa bahaya vape tidak hanya mengancam penggunanya, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Bahkan sampai muncul anggapan, bahwa asap vape adalah “versi bersih” dari rokok tembakau, vape lebih aman dari rokok tembakau, atau vape merupakan solusi untuk berhenti merokok.
Agus membantah semua anggapan ini. Ia menyebut, di balik uap vape beraroma manis tersebut, para dokter spesialis paru melihat sebuah fakta tersembunyi berupa ancaman kesehatan ancaman kesehatan yang jauh lebih licik dan gelap. "Anggapan versi bersih, lebih aman, dan solusi tentu saja tidak benar," kata Agus, Jumat (19/9/2025).
Baginya, vape bukan solusi, melainkan sebuah bentuk adiksi baru yang membawa bahaya laten. Ia menyebut, sering kali masyarakat tidak memahami bahwa di balik uap beraroma manis, tersembunyi tiga kesamaan bahaya antara vape dan rokok biasa. Agus menguraikan, ada tiga "dosa" utama vape yang setara dengan rokok tembakau, yaitu memiliki adiksi yang sama, mengandung karsinogen, dan menghasilkan partikel-partikel halus.
Pertama, nikotin menginduksi aterosklerosis yang berisiko menyebabkan stroke dan penyakit jantung koroner. Kedua, studi terbaru menunjukkan vape mengandung bahan karsinogen, seperti akrolein, aldehid, dan kelompok logam yang terlarut pada cairannya. Ketiga, produk menghasilkan particulate matter (PM), yang bersifat merangsang peradangan atau inflamasi ketika terhirup dalam jangka panjang.
Menurutnya, dampak kesehatan dari vape bukan lagi ancaman teoritis. Sebagai klinisi, ia dan sejawatnya di Indonesia sudah menemukan kasus-kasus nyata. Risiko yang paling sering ditemui adalah peningkatan infeksi paru seperti pneumonia, iritasi yang memicu batuk kronis, hingga serangan parah pada pasien yang sudah memiliki asma atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis). Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah kasus-kasus akut dan parah, yaitu penyakit perlukaan paru akut bernama EVALI (e-cigarettes atau vaping product use-associated acute lung injury) yang sempat menjadi epidemi di luar negeri. Kasus ini menyebabkan gagal napas hingga kematian.
"Apakah kasus ini terjadi di Indonesia? Kami pernah menemukan kecurigaan EVALI. Sejumlah sejawat spesialis paru sudah melaporkan ada kasusnya di Medan. Ada juga kasusnya di Yogyakarta," papar Agus.
"Saya punya satu kasus, pneumotoraks atau paru-parunya bocor. Dicari penyebabnya tidak ketemu, tidak ada infeksi, tidak ada TB, tidak ada kanker, tapi parunya bocor. Dia punya riwayat pakai vape selama dua tahun. Setelah dioperasi dan diminta berhenti menggunakan vape, sakitnya tidak kambuh lagi," lanjut Agus.
Hingga kini, argumen umum yang diajukan oleh para pengguna rokok elektrik adalah vape berfungsi sebagai alat transisi atau "jembatan" untuk menghentikan kecanduan nikotin sepenuhnya juga dibantah Agus. "WHO sendiri menyatakan bahwa vape ini tidak memenuhi kaidah-kaidah NRT (Nicotine Replacement Therapy)," tegasnya.
Agus menilai, vape bukan merupakan alat terapi melainkan sekadar pengalihan konsumsi nikotin. Menurutnya, jika sebuah alat bantu penghentian rokok berhasil, maka alat tersebut harus dihentikan pemakaiannya secara bertahap. Namun sebaliknya, pengguna vape hanya memindahkan sumber nikotin dari tembakau ke uap dan cenderung mempertahankan kebiasaan tersebut.
"Terapi medis yang benar harus dimulai dengan dosis tinggi lalu diturunkan (step down) secara bertahap. Sebaliknya, pengguna vape cenderung menaikkan dosis (step up) cairannya, karena didorong oleh adiksi nikotin atau rasa kurang puas," katanya.
Senada dengan Agus, Nina yakin bahwa cara terbaik untuk berhenti merokok tembakau bukanlah beralih menjadi pengguna vape, melainkan berhenti merokok secara bertahap. Saran ini jugalah yang ia sampaikan kepada teman-temannya yang meminta saran tentang bagaimana cara terbaik untuk berhenti merokok vape.
“Berhentilah merokok dengan melakukan langkah-langkah yang diniatkan dari diri sendiri seperti menghindari pemicu kebiasaan merokok, mengisap permen, berolahraga, hingga mengonsumsi makanan sehat,” kata Nina.

Uji Lab: Kemasan Liquid Tak Cantumkan Kandungan Sebenarnya
LIQUID (cairan vape) yang mengandung perisa dan mengeluarkan uap wangi ketika diisap, sering dianggap tidak seberbahaya rokok biasa. Tapi ternyata, liquid vape juga mengandung zat adiktif berbahaya seperti nikotin. Bahkan ada kandungannya yang lebih besar dibandingkan yang terkandung pada rokok tembakau.
Penelusuran yang dilakukan tim liputan ini menunjukkan bahwa semua rokok tembakau yang dijual resmi di pasaran mencantumkan kandungan nikotin dalam setiap batang rokok yang diperjualbelikan. Misalnya merek AM dan MFH, masing-masing mencantumkan mengandung 1.0 Mg nikotin per batang. Salah satu yang cukup besar kadar nikotinnya adalah rokok MR dengan rata-rata 10.9 mg nikotin per batang.
Tim kemudian melakukan uji laboratorium secara mandiri terhadap liquid vape untuk melihat seberapa besar kandungan zat adiktif nikotin. Uji lab dilakukan pada bulan September-Oktober 2025 di sebuah laboratorium pengujian di Indonesia yang sudah terakreditasi ISO/IEC 17025 oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Terdapat lima merek liquid yang menjadi sampel pengujian dengan indikator pemilihan sampel adalah produk cukup banyak dibeli pengguna vape (berdasarkan informasi dari toko), kemasan liquid warna warni, dan memiliki citarasa buah-buahan.
Hasil uji lab yang dilakukan terhadap lima merek liquid vape menunjukkan bahwa terdapat kandungan nikotin liquid vape yang lebih besar dibanding yang terkandung dalam tiap batang MR. Namun informasi sebenarnya terkait jumlah kandungan nikotin ini tidak dicantumkan dalam botol liquid vape.
Salah satu merek liquid vape yang diuji, GGS menunjukkan jumlah kandungan 16.08 mg nikotin dalam tiap gram liquid (16.08 mg/g). Dalam kemasannya yang penuh warna, liquid bergambar pria seperti komik dan sedang menyantap anggur ini mencantumkan informasi 3 persen salt nikotin. Tidak ada informasi jumlah kandungan nikotin yang sebenarnya dalam angka pecahan.
Spesialis paru RS Haji Medan, Dr. dr. Sri Rezeki Arbaningsih, Sp.P(K), FCCP menjelaskan, informasi mengenai komposisi dan jumlah kandungan nikotin merupakan satu bentuk informasi yang tersembunyi dari liquid vape. Misalnya, kemasan dibalut dengan warna-warni dan citarasa buah-buahan yang menarik, namun tidak mencantumkan peringatan bahaya seperti rokok tembakau seperti yang diamanatkan dalam PP Nomor 28 tahun 2024.
"Karena target mereka adalah Gen Z. Perusahaan vape ingin membuat narasi bahwa vape lebih aman dari rokok biasa, tidak membuat kecanduan, dan mendukung gaya hidup anak muda. Padahal faktanya vape jauh lebih berbahaya dibanding rokok biasa," kata Sri, Senin (20/10/2025).
Sri menjelaskan lebih jauh informasi yang tersembunyi tersebut. Pertama, salt nikotin yang terkandung dalam liquid vape merupakan nikotin yang diekstraksi dari tanaman tembakau dan ditambahkan ke dalam liquid vape sebagai pengganti asupan nikotin yang dibutuhkan perokok biasa (tembakau).
Salt nikotin punya sifat yang sama dengan nikotin, yakni mengendap dalam kerongkongan hingga paru-paru. Vape menghasilkan asap karena ada cairan yang dipanaskan jadi uap. Ketika jadi asap, vape mengeluarkan TAR dan karbon monoksida (CO). Ketika pemanasan terjadi, maka akan menghasilkan logam berat yang bisa terhirup dan masuk ke kerongkongan, dan bahkan jatuh ke paru-paru.
Kedua, liquid vape mengandung perisa atau formaldehida. Perisa itu, menurut Sri, juga berbahaya. Ketika dipanaskan dan diisap, akan berubah menjadi partikel yang sangat kecil. Partikel kecil itu kemudian makin jauh jatuhnya atau jangkauannya ke paru-paru, bahkan berpotensi masuk ke pembuluh darah.
Kalau sudah masuk ke pembuluh darah, maka partikel kecil itu akan menjadi endapan yang tidak bisa disingkirkan. Lama-lama endapan itu akan semakin banyak jumlahnya. Sewaktu-waktu endapan itu bisa lepas dari dinding pembuluh darah hingga terbawa aliran darah dan membuat sumbatan dalam aliran darah dari dan ke jantung.
“Salt nikotin dan perisa itu merupakan komposisi pada liquid vape yang sama berbahayanya dengan rokok tembakau. Pengguna bisa kena serangan jantung, tiba-tiba colaps. Kalau tidak ke arah jantung, bisa ke aliran darah yang lain, maka bisa menyebabkan stroke karena aliran darahnya terhambat. Artinya, potensi bahaya vape ini bisa lebih besar ketimbang rokok tembakau," terangnya.
Sri mengaku terkejut melihat hasil uji laboratorium lima sampel liquid vape. Pasalnya jumlah nikotinnya ada yang lebih besar dibanding sebatang rokok tembakau. Jumlah nikotin inilah yang menjadi fakta yang tersembunyi di balik uap vape. “Hal ini tidak diketahui pengguna vape dan perokok pasif karena informasinya tidak tercantum dengan jelas di kemasan,” katanya.
Pertama, merek GK, tidak mencantumkan informasi tentang nikotin di kemasan, namun ternyata mengandung 7.87 Mg/g nikotin. Merek ini hanya mencantumkan 15 MG di bagian bawah botol. Di atas angka 15 MG tertulis VG50 dan PG50. Kedua, merek TMEI tidak mencantumkan informasi tentang nikotin di kemasan. Hanya tercantum tulisan “Salt Nic/25MG” di satu sisi kemasan. Sedangkan di sisi lain tercantum: 30ML/VG50/PG50. Dari hasil uji lab, TMEI ternyata mengandung 9.55 Mg/g nikotin.
Ketiga, BSG juga tidak mencantumkan informasi tentang nikotin pada kemasan indah berwarna pink ini. Sama dengan merek TMEI, BSG mencantumkan Salt Nic 30MG, PG50%, VG50%. Hasil uji lab menunjukkan BSG mengandung 5.06 mg/g nikotin.
Sampel keempat, ReLSS. Mengusung kata “susu” dan “strawberry”, liquid ini mengandung 14.95 mg/g nikotin. Padahal dalam kemasannya, hanya mencantumkan informasi 3 persen salt nikotin (30MG). Tidak jelas 3 persen ini apakah dari tiap tetes atau 3 persen dari 30 ML isi cairannya.
Sampel kelima, GGS yang mengandung 16.08 mg/g nikotin. Namun dalam kemasannya, hanya mencantumkan informasi 30MG (3 persen). Persentase ini tidak sesuai perbandingannya dengan hasil uji lab. Artinya ada informasi yang tersembunyi.
Dua sampel terakhir yakni ReLSS dan GGS memiliki kandungan nikotin yang lebih besar dibandingkan tiga sampel lainnya yakni 14.95 mg/g nikotin dan 16.08 mg/g nikotin. Sedangkan rokok tembakau merek MR mengandung 10.9 mg nikotin per batang. Ilustrasinya, jika mengisap vape merek GGS dan ReLSS sebanyak 1 mg, maka nikotinnya lebih besar dibanding satu batang rokok merek MR.
"Semakin sering merokok vape, potensi endapan di pembuluh darah semakin besar. Itulah terkadang jadi misteri, masih muda tapi sudah stroke dan sakit jantung bahkan kanker. Sebaliknya, ada yang sudah tua tetapi masih sehat padahal rutin merokok. Ini sinyal bahaya bagi para anak muda, jangan percaya begitu saja dengan vape dan kampanye positif tentang vape. Itu semua soal waktu saja, tidak ada yang benar-benar bebas dari ancaman bahaya, baik itu rokok tembakau maupun vape," ujar Sri.
Zeyni selaku Tim R&D MAG_JUICE yang memegang merek GK berdalih kalau produk liquid mereka tidak mencantumkan informasi nikotin dan jumlahnya. Menurutnya, satuan nicotine adalah MG (miligram) dan satuan volume liquid adalah ML (mililiter). “Artinya tanpa menuliskan ‘nicotine/nikotin’ di kemasan liquid, semua pengguna vape paham kalau angka 15 mg adalah kadar kandungan nikotin,” kata Zeyni ketika dikonfirmasi, Senin (17/11/2025).
Namun, informasi tersebut hanya di label kemasan lama. Pada kemasan yang baru, pihaknya sudah melakukan pembaruan informasi dan mencantumkan jumlah volume liquid dan persentase kadar nikotin. “Artinya, kalau berdasarkan label kemasan lama sudah tidak relevan lagi,” ujarnya.
Sedangkan Regional Manager RELX Indonesia Sumatera, Rian Sibuea saat dikonfirmasi mengatakan, hasil uji lab 14,95 mg/g nikotin pada produk merek ReLSS konsisten dengan formulasi yang berlabel 3% nicotine salt. Temuan tersebut tidak menunjukkan adanya ketidaksesuaian label maupun pengurangan kandungan nikotin.
“Keterangan 3% ‘Salt Nic’ pada kemasan produk RELX merujuk pada total konsentrasi senyawa nicotine salt di dalam e-liquid. Penandaan seperti ini merupakan praktik umum yang digunakan baik di industri vape Indonesia maupun internasional,” kata Rian, Senin (17/11/2025).
Tim liputan juga berupaya melakukan konfirmasi terkait hasil uji lab kepada tiga distributor produk liquid lainnya (BSG, TMEI, dan GGS). Namun, hingga tulisan diterbitkan, permohonan konfirmasi belum mendapat tanggapan.

Ketua Perkumpulan Produsen Eliquid Indonesia (PPEI), Daniel Boy Purwanto mengatakan, satu persoalan paling mendasar dalam industri vape yang membuat bingung adalah terkait kadar nikotin. Berdasarkan penelusuran pihaknya di berbagai vape store, kata Daniel, ditemukan beberapa produk yang mencantumkan kadar nikotin, sementara produk lain tidak mencantumkan sama sekali, bahkan beberapa produk tidak cocok antara label kemasan dan hasil uji laboratorium.
Daniel berdalih, kebingungan ini terjadi karena pemerintah belum menetapkan batas aman nikotin maupun metode pengujiannya. Dari tiga laboratorium terakreditasi yang selama ini dipakai produsen, hasil pengujian nikotin bisa saling berbeda karena metode yang tidak seragam.
“Jujur saja bingung. Jadi saya mau mengujikan kadar nikotin di e-liquid ini ke lab yang mana yang bener? Karena lab-lab ini beda metodenya, hasilnya pun beda. Kondisi ini membuat produsen rentan disalahkan meskipun berusaha mencantumkan informasi seakurat mungkin,” kata Daniel, Jumat (14/11/2025).
Menurut Daniel, hingga saat ini, belum ada aturan resmi dari pemerintah tentang komponen apa saja yang wajib dicantumkan dalam kemasan liquid. Akibatnya, produsen mengadopsi standar global, terutama yang berasal dari Inggris, negara yang dianggap paling maju dalam regulasi rokok elektronik. PPEI juga secara mandiri menyarankan anggotanya mencantumkan peringatan seperti “21+” dan “tidak untuk ibu hamil”, meskipun tidak diwajibkan pemerintah. Namun, di luar keanggotaan PPEI, produk-produk tanpa informasi yang memadai masih beredar luas.
“PPEI patokannya global. Karena konsumen butuh informasi, jadi kita mengikuti apa yang secara internasional dianggap standar,” kata Daniel.
Sedangkan External Affairs PPEI, Ray Naga Fajar Jessica mengatakan, selain masalah kandungan dan informasi di kemasan, publik masih dibanjiri klaim bahwa vape bisa membantu berhenti merokok. Namun berdasarkan data yang dikumpulkan pihaknya secara internal, justru menunjukkan sebaliknya. Dari 100 responden, hanya 1 persen yang benar-benar berhenti merokok setelah memakai vape. Mayoritas kembali ke rokok tembakau. “Pemerintah tidak pernah meluruskan narasi ini, sehingga produsen kerap dituduh seolah-olah menjual alat terapi, padahal kami sendiri tidak pernah mengkampanyekan vape sebagai alat berhenti merokok,” ujarnya.
Ray menambahkan, isu soal bahaya perisa juga belum pernah dijelaskan secara terang. Berulang kali ada pernyataan bahwa flavoring berbahaya jika dihirup, tetapi sampai hari ini tidak ada batas aman atau daftar bahan yang boleh digunakan. “Produsen memakai perisa makanan, tetapi tetap dianggap berpotensi berbahaya tanpa ada parameter yang jelas. Diskusinya akhirnya hanya menjadi peringatan umum tanpa arah,” katanya.
Terkait kandungan nikotin yang tidak sesuai antara hasil uji lab dengan informasi di kemasan liquid, Ketua Tim Kerja Penanggulangan Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Benget Saragih. M.Epid mengatakan, terdapat potensi melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada pasal 441 disebutkan: “setiap orang yang memproduksi dan latau mengimpor rokok elektronik wajib mencantumkan informasi pada label setiap kemasan dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca dengan ketentuan pada ayat (a) pernyataan "mengandung nikotin".
Beberapa pasal dalam PP ini juga memberi aturan yang jelas dalam pengamanan zat adiktif pada rokok elektronik. Misalnya melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan TAR (pasal 431), dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan (pasal 432), pencantuman peringatan kesehatan (pasal 437), dan larangan mencantumkan keterangan atau tanda apa pun yang menyesatkan atau kata yang bersifat promotif (pasal 441).
Meski demikian, kata Benget, PP ini baru akan diberlakukan dua tahun setelah diundangkan yakni Juli 2026 mendatang. Turunan dari PP ini pun sedang dalam pembahasan. “Karena peraturannya belum berlaku, jadi memang belum ada sanksi bagi produsen atau distributor yang melanggar,” kata Benget dalam wawancara, Kamis (6/11/2025).
Benget menjelaskan, ketika ditemukan informasi yang tidak sesuai antara kandungan liquid dan kemasannya, masyarakat atau pihak-pihak berkepentingan dapat melaporkannya ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Meskipun PP belum berlaku, kata Benget, pihaknya tetap memberikan pemberitahuan kepada produsen liquid agar memperhatikan aturan-aturan yang harus ditaati terkait informasi kandungan dalam liquid.
“Semua produk dari rokok tembakau maupun vape harus sudah melakukan upaya-upaya pengendalian seperti yang diamanatkan dalam PP. Contohnya pencantuman kadar nikotin di kemasan dan penambahan bahan tambahan liquid harus mengikuti PP,” ujar Benget.
“Kami mengimbau kepada produsen liquid, meskipun peraturannya memang belum berlaku, tapi sejak saat ini sudah mulai menerapkannya. Dengan begitu, ketika peraturan sudah resmi berlaku pada Juli 2026, semua pihak yang terkait dalam PP ini tidak panik lagi,” katanya.
Benget mengakui, PP ini memang tidak bisa berjalan dengan segera (ketika diundangkan), karena banyak pihak seperti kementerian dan lembaga yang punya kepentingan. Artinya, perlu ada harmonisasi antarlembaga, melakukan uji publik, hingga diseminasi. “Saat ini turunan dari PP ini masih dibahas. Mudah-mudahan segera selesai dan dapat segera dijalankan. Meskipun masing-masing pihak yang terkait dalam PP ini memiliki argumentasi, tapi kami dari Kementerian Kesehatan tetap memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya rokok baik tembakau maupun vape,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi mengatakan, pihaknya biasanya akan meneruskan laporan ke lembaga terkait ketika menemukan produk-produk vape yang melanggar ketentuan. Misalnya melapor ke Kemenkes jika ada produk vape atau liquid yang tidak mencantumkan peringatan kesehatan bergambar. Padahal ketentuan tersebut sudah diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024. Tak hanya itu, liquid di pasaran yang berperisa juga melanggar aturan karena dinilai menjadi daya tarik utama, khususnya anak muda.
Pihaknya juga melapor ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) untuk mentake down iklan rokok yang ditayangkan di media digital. “Pelanggaran banyak terjadi pada sektor promosi dan iklan utamanya di media digital. Padahal ada banyak anak kecil yang terpapar lewat media tersebut,” kata Tulus, Kamis (13/11/2025).
Tulus memperingatkan perusahaan yang melanggar aturan ini dapat dikenakan sanksi berat, meliputi hukuman pidana, perdata, dan administratif. Salah satu hukuman terberatnya bisa mengakibatkan dicabutnya izin usaha. "Bagi perusahaan yang melanggar, bisa dicabut izin usaha, tergantung keberanian regulatornya," kata Tulus.

Berhenti, Bukan Beralih
JUMLAH perokok di Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, khususnya di kelompok anak remaja dengan rentang usia 10-18 tahun. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), jumlah perokok usia 10-18 tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Data Riskesdas 2013 menunjukkan, jumlah perokok ada di angka 2 juta orang. Angka ini meningkat pesat pada tahun 2018 menjadi 4,1 juta orang, dan naik lagi pada tahun 2023 menjadi 5,9 juta. Prevalensi perokok usia dewasa (usia lebih dari 15 tahun) juga menunjukkan peningkatan meskipun awalnya di tahun 2013 dan 2018 memperlihatkan angka yang sama, yakni 57,2 juta orang. Jumlah ini meningkat di tahun 2023 yang menapai 63,1 juta orang.
Sedangkan berdasarkan Laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia Report 2021 menunjukkan bahwa 34,5 persen orang dewasa, atau 70,2 juta orang menggunakan rokok tembakau. Persentase penggunaan tembakau pada laki-laki adalah 65,5 persen dan pada perempuan 3,3 persen. “Sementara, penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun, dari 0,3 persen pada 2011 menjadi 3 persen pada 2021,” kata Benget Saragih.
Benget mengatakan, meskipun jumlah perokok meningkat, namun prevalensinya menunjukkan penurunan. Menurut Survei Kesehatan Nasional (Riskesdas 2018 dan SKI 2023), prevalensi merokok di kalangan anak-anak usia 10-18 tahun mengalami penurunan dari 9,1 persen menjadi 7,4 persen. Namun perlu diingat bahwa angka tersebut belum memenuhi target global penurunan konsumsi rokok sebesar 30%.
Ditambah lagi dengan maraknya penggunaan rokok elektronik, sehingga meningkatkan angka penggunanya menjadi dua kali lipat pada tahun 2023. “Ambil contoh untuk Provinsi Jawa Tengah. Prevalensi perokok elektronik pada penduduk umur 10-18 tahun melebihi prevalensi nasional,” kata Benget.
Berbagai upaya pengendalian konsumsi tembakau dan rokok elektronik pun dilakukan berbagai pihak, baik secara individu oleh pengguna rokok dan yang dilakukan lembaga yang berwenang. Nina misalnya. Mantan perokok biasa dan vape ini mengatakan, ia berhenti vape setelah mengalami sinusitis kronis. Sesuai anjuran dokter, ia berupaya menghentikan kebiasaan ngevape dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang mengalihkan perhatian dari vape. “Saya alihkan dengan aktivitas berolahraga, lari keliling-keliling kampus tiap sore. Saya juga mengurangi nongkrong bersama teman-teman yang masih ngevape,” katanya.
Koordinator Ketua North Sumatera Youth Tobacco Control Movement (NSYTCM), Zulqadri mengatakan, sebagai sebuah komunitas pengendalian tembakau, pihaknya menilai bahwa kampanye rokok elektronik di Indonesia sangat manipulatif, karena dikemas seolah-olah lebih sehat dari rokok biasa. Kemasannya yang berwarna-warni,dan menggunakan rasa buah-buahan sangat potensial memengaruhi kesadaran anak dan remaja. “Akhirnya memicu stigma anak dan remaja kalau vape itu aman, tidak berbagaya, dan tidak membuat kecanduan seperti rokok biasa,” kata Zulqadri, Sabtu (20/9/2025).
Saat ini di kota-kota besar seperti Medan, kata Zulqadri, dapat dilihat anak-anak dan remaja baik laki-laki dan perempuan terang-terangan merokok vape di depan umum. Dari kebiasaan inilah, relawan NSYTCM bertemu cukup banyak pengguna vape yang memiliki niat untuk berhenti merokok. Tapi, sebelum bertemu NSYTCN, kebanyakan dari mereka mendapat pemahaman yang keliru, bahwa dengan beralih ke vape, mereka akan berhenti merokok tembakau.
“Kami harus meluruskan pandangan-pandangan ini terlebih dulu. Setelah itu, kami mengajak mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang sehat seperti berolahraga dan mengikuti kegiatan yang dilakukan NSYTCM seperti diskusi. NSYTCM bermitra dengan lembaga-lembaga lain agar para pengguna vape dapat terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang produktif,” katanya.
Ia menambahkan, untuk melawan kampanye terkait vape, NSYTCM selalu gencar dengan tagline adalah "berhenti" bukan "beralih". Menurutnya, berhenti merokok biasa dan beralih ke vape bukanlah solusi. “Kalau beralih dari rokok biasa ke vape maka sebenarnya tidak ada perubahan apa-apa, bahkan sakit yang lebih parah berpotensi dialami penggunanya,” kata Zulqadri.
Dokter spesialis paru dari RS Persahabatan Jakarta, Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp.P(K) menegaskan, narasi yang menyebutkan bahwa vape adalah alat transisi untuk berhenti merokok tak sejalan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan hasil yang berkebalikan bahwa pengguna vape malah menjadi "perokok ganda".
"Banyak orang malah kombinasi vape sambil rokok. Akibatnya, mereka justru terkena paparan zat kimia seperti nikotin hingga dua kali lipat. Oleh karena praktik yang merugikan ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri sudah mencabut rekomendasi penggunaan vape sebagai alat bantu berhenti merokok," ujar Erlina.
Sementara itu, Benget mengatakan, pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024. Pencegahan dan pengendalian tersebut adalah: pengujian kadar nikotin dan TAR (pasal 431), larangan bahan tambahan (432), larangan menjual rokok pada usia di bawah 21 tahun, penjualan eceran per batang radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat anak bermain (pasal 434), pengaturan peringatan kesehatan bergambar atau Pictorial Health Warning (PHW, pasal 435-437), pengawasan (439-440). Selain itu penerapan kawasan tanpa rokok atau KTR (pasal 442-443), pengendalian iklan (pasal 446-447), dan penyediaan layanan upaya berhenti merokok (UBM).
Benget menegaskan, di dalam PP Nomor 28 tahun 2024 dan turunan yang sedang dibahas, telah diatur seperti apa peran kementerian dan lembaga di Indonesia dalam pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik. Misalnya, Kementerian Kesehatan melalui peningkatan upaya promosi kesehatan melalui pemanfaatan berbagai media dan skrining perilaku merokok dan tindaklanjutnya melalui akses klinik UBM. Kementerian Dalam Negeri dengan menetapkan kebijakan yang mendorong pemerintah daerah untuk menyelaraskan kebijakan terkait penerapan KTR dan penanggulangan tembakau.
Selanjutnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berperan melakukan penerapan kebijakan KTR di lingkungan lembaga pendidikan, menggiatkan promosi dampak negatif rokok di lembaga pendidikan, dan memfasilitasi layanan berhenti merokok bagi anak sekolah yang sudah merokok. Serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang melakukan pengawasan PHW, melakukan pengujian kadar nikotin dan TAR, dan membantu dalam hal penarikan penjualan rokok apabila terjadi pelanggaran secara terus menerus.
“Ada banyak lembaga lain yang terlibat. Pastinya, diperlukan komitmen, kerjasama serta dukungan lintas kementerian dan lembaga dalam mengimplementasikan PP No 28 Tahun 2024 dan peraturan turunannya melalui Peraturan Presiden yang masih dalam tahap finalisasi,” ujarnya.
Benget menegaskan, bahwa dampak kesehatan yang diakibatkan rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok tembakau. Karena itu, masyarakat diminta berpikir ulang untuk mengonsumsinya. Dampak merokok tidak langsung dialami saat merokok, melainkan pada 10 hingga 20 tahun ke depan.
“Saat ini banyak penyakit tidak menular di sekitar kita seperi kanker, stroke dan jantung. Berdasarkan hasil penelitian yang kami kumpulkan, satu faktor risiko utama penyakit ini karena merokok. Bahkan, sebanyak 86,3 persen penyakit kanker paru pada laki-laki disebabkan memiliki perilaku merokok,” katanya.
Benget juga mengajak anak muda untuk tidak merokok. Menurutnya ketika sudah terkena penyakit yang diakibatkan rokok seperti kanker atau jantung, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kalau BPJS tidak mengcover semua pembiayaan. “Kalau sudah menderita kanker atau jantung, tak bisa kerja lagi dengan maksimal. Hidup harus disubsidi, harus berobat, harus antre di rumah sakit, dan berpotensi kehilangan pekerjaan. Memang ketika merokok tidak langsung mati, tapi dampaknya akan terlihat 10 hingga 20 tahun lagi,” ujarnya.
TULISAN ini merupakan hasil fellowship dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dengan Tema "Peliputan Investigasi Kolaborasi antar Media" IDN Times Sumut bersama Tribun Medan dan iNews.ID.


















