TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

FJL Aceh Catat Beberapa Kasus Satwa Mangkrak dan Lemah Putusan Hukum

Aparat penegak hukum harus berkomitmen menyelesaikan semua

Petugas BBKSDA Riau berusaha membuka sling jeretan dari kaki Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) yang mati terjerat saat akan dilakukan nekropsi di Kantor BBKSDA Riau di Pekanbaru, Riau, Minggu (17/10/2021). Harimau Sumatera berjenis kelamin betina ini ditemukan mati dengan kaki terjerat di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman)

Banda Aceh, IDN Times - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh mencatat, ada 19 perkara kasus perburuan dan perdagangan satwa ditangani oleh aparat penegak hukum di Aceh, sepanjang 2020-2021.

Dari seluruh perkara tersebut, beberapa kasus justru masih mangkrak. Selain itu putusan hukuman terhadap tersangka selalu lebih rendah di banding tuntutan jaksa.

Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021, pada Kamis (24/02/2022).

Baca Juga: KPPU Tetap Usut Temuan Minyak Goreng 1,1 Juta Kilogram di PT SIMP

1. Masih banyak kasus mangkrak, aparat harus komitmen menyelesaikan

FJL Aceh gelar konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021. (Dokumentasi FJL Aceh untuk IDN Times)

Koordinator FJL Aceh, Zulkarnaini Masry mengatakan, ada beberapa kasus perburuan dan perdagangan satwa di Aceh yang masih mangkrak. Di antaranya dua kasus kematian harimau serta penembakan orang utan Kabupaten Aceh Selatan, kematian anak gajah di Kabupaten Aceh Jaya, dan ada beberapa lainnya.

Perlu komitmen aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut agar ada kepastian hukum melindungi satwa. Sebab, masih ada pelaku yang buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO)

"Kami mencatat masih ada 9 orang DPO dari 19 kasus tersebut," kata Zulkarnaini.

"Kami bukan bermaksud meminta warga untuk ditangkap, namun perlu ada kepastian hukum, agar memberikan efek jera bagi yang lain," imbuhnya.

2. Putusan hukuman untuk pelaku selalu lebih rendah

FJL Aceh gelar konferensi pers Publikasi Hasil Pemantauan Penegakan Hukum, Perburuan dan Kematian Satwa di Aceh Selama 2020-2021. (Dokumentasi FJL Aceh untuk IDN Times)

Dia menyampaikan, hasil analisis tim riset FJL, tuntutan tertinggi dalam kasus kematian satwa adalah empat tahun enam bulan yaitu pada kasus kematian gajah di Aceh Timur. Sementara itu, tuntutan maksimal dalam Undang-Undang Konservasi Nomor 5 Tahun 1990 adalah lima tahun kurungan penjara. 

"Undang-undang ini sudah tidak kontekstual lagi dengan kondisi sekarang. Kondisi di mana satwa semakin terancam, deforestasi semakin tinggi, perburuan semakin banyak, tapi ancaman tertinggi itu masih lima tahun. Kami berpikir undang-undang ini perlu direvisi," ujar koordinator FJL Aceh itu.

Alasan jaksa menuntut para pelaku lebih rendah dari UU Konservasi dikatakannya, karena selama ini merupakan sebuah pertimbangan kemungkinan terjadinya kasus yang lebih besar dari kasus-kasus sebelumnya. 

Tujuannya, agar nanti jika ada kasus lain yang lebih berat, kejaksaan bisa menuntut pelaku dengan tuntutan maksimal, lima tahun penjara. 

"Hingga saat ini belum ada kasus di Aceh yang pelakunya dituntut lima tahun penjara, bahkan dalam kasus Gajah Bunta yang dibunuh dengan cara diracun, dan gadingnya dipotong  pakai kapak pun tuntutannya tidak maksimal," tambah Zulkarnaini.

Baca Juga: Gajah Sumatra Jantan Ditemukan Mati di Hutan Produksi Aceh Utara

Berita Terkini Lainnya