Kisah Anak CIBI di Medan, Bawa Inovasi Limbah Plastik Sampai Taiwan

- Anak CIBI di sekolah Al Azhar bawa inovasi lingkungan ke ajang internasional
- Daffa si anak CIBI bercita-cita jadi programmer dan manusia yang berada di balik AI
- Kelas anak CIBI di Al Azhar masuk dalam program akselerasi, dihuni oleh anak-anak ber-IQ di atas 130
Medan, IDN Times - Tak ada yang benar-benar mengetahui bahwa di balik diamnya Achmad Daffa, pikirannya begitu riuh. Ia terus-menerus menimbang bagaimana caranya menyusun "teka-teki" untuk menyelesaikan persoalan akademik.
Daffa merupakan anak golongan CIBI (Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa). Kemampuan sekaligus potensinya begitu luar biasa sampai melampaui rekan sebayanya. Biasanya, IQ anak CIBI seperti Daffa berada di atas angka 130.
1. Anak CIBI di sekolah Al Azhar bawa inovasi lingkungan yang terbuat dari sampah dan residu padi ke ajang internasional

IDN Times berkesempatan bertemu dengan anak-anak CIBI di Sekolah Swasta Al Azhar Medan. Karena memiliki bakat istimewa, mereka dikelompokkan secara khusus dalam kelas akselerasi. Achmad Daffa menjadi salah satu yang mencolok. Baru-baru ini ia mengetuai tim sekolahnya dan berhasil mendapat perunggu ajang internasional di Taiwan.
"Di Taiwan saya sama kelompok bawa inovasi sampah daur ulang jadi batu bata paving block. Kami di sana dapat perunggu. Inspirasi awalnya karena melihat tumpukan sampah di kanal. Kayaknya bisa deh buat inovasi batu bata dari sampah," cerita Daffa antusias.
Tiga bulan penuh Daffa dan teman-teman menyiapkan inovasi mereka. Sebelum pada akhirnya ia dan teman-teman resmi menjadi perwakilan Indonesia di kancah internasional.
"Mulanya sampah kami kumpulkan. Sampah itu kan di-press ya di mesin. Kalau kami makai sampah saja, itu gak cukup untuk absorpsi airnya. Maka kami pakai residu padi dan campurkan. Sebagai perekatnya kami pakai oli bekas. Rupanya pas dan cocok. Perhitungannya dari kami sendiri. Mulanya sulit karena tidak bisa menyerap air, makanya kami inisiatif mencampurkan residu gabah," rincinya.
2. Daffa si anak CIBI bercita-cita jadi programmer dan manusia yang berada di balik AI

Seperti anak CIBI yang identik dengan sifat "introvertnya", Daffa pun demikian. Meskipun begitu, ia begitu dekat dan akrab dengan teman-teman sekelasnya. Meski demikian, Daffa mengaku tak pernah diolok-olok karena cenderung kurang bersosialisasi. Mendapatkan stigma pun ia mengaku tak pernah.
"Saya kurang bersosialisasi, sih. Lebih akrab sama kawan-kawan sekolah saja. Biasanya setelah pulang sekolah dan les sampai jam 5 sore, malamnya les lagi. Aktivitas saya sekolah dan les saja. Kalau ada waktu senggang saya berenang," aku Daffa.
Meskipun baru duduk di kelas 9 SMP dan baru berumur 13 tahun, namun Daffa sudah memiliki banyak prestasi. Selain menjuarai event di Taiwan, sejak SD ia pernah meraih 4 medali sekaligus dalam Sentral Olimpiade, hingga menhadi jawara di Festival Olahraga dan Seni (FOSI) nasional.
"Cita-cita saya ingin jadi programmer. Artificial intelligence semakin berkembang pesat ya, dan ada manusia di balik itu. Saya mau jadi manusia di balik itu," pungkasnya.
3. Kelas anak CIBI di Al Azhar masuk dalam program akselerasi, dihuni oleh anak-anak ber-IQ di atas 130

IDN Times menggali informasi soal anak CIBI kepada Kepala Sekolah SMP Al Azhar, Syaiful Anshari. Di sekolah ini, mereka punya program khusus anak-anak CIBI. Bahkan kelas mereka dikhususkan dalam program akselerasi.
"Di Al Azhar ini ada namanya program atau kelas untuk anak Cerdas Istimewa Bakat Istimewa (CIBI). Akselerasi SKS itu adanya di cerdas istimewa. Nah mereka ini adalah anak-anak yang IQ-nya di atas 130. Daffa ini sebelum masuk kelas CIBI, dia ikut tes bakat namanya Stifin. Maka akhirnya dia ikut, dan lolos untuk di kelas CIBI," jelas Syaiful.
Anak-anak CIBI di Sekolah Al Azhar terdiri dari 4 kelas. Sekarang anak kelas 7 SMP ada 30 orang, kelas 9 nya 34 orang. Masing-masing kelas, siswanya tak sampai 20 orang. Kata Syaiful ini merupakan strategi mereka untuk membuat anak-anak CIBI bisa fokus belajar.
"Anak-anak di sini dia anak berkebutuhan khusus tapi bukan yang low, tapi high. Di Al Azhar semua kebutuhan dilayani, inklusif dilayani, reguler juga dilayani, termasuk juga CIBI," ungkapnya.
4. Guru di Al Azhar terapkan metode yang berbeda dalam mengajar anak CIBI

Guru yang masuk untuk mengajar anak-anak CIBI disebut Syaiful juga tak sembarang. Tenaga pendidikan di sana sudah benar-benar mengerti tentang percepatan dan kebutuhan anak CIBI. Bahkan tak jarang mereka menggunakan metode belajar yang berbeda-beda.
"Artinya mereka anak CIBI perlu dimengerti. Kalau kita lihat gaya belajar mereka, akan berbeda. Ada yang lebih pada kinestetik, banyak mainnya, tapi sambil belajar. Ada kelihatan dia tak fokus padahal auditorinya jalan. Jadi kita harus maklumi itu dan gaya belajar seperti itu. Tidak lagi kita harus bilang sama mereka 'hadap depan semua, lihat Bapak/Ibu!' sementara mereka ini punya tingkat kemampuan di atas rata-rata," beber Syaiful.
Gaya belajar anak-anak CIBI harus benar-benar dikaji, termasuk apakah berbasis kinestetik, auditori, atay visual. Di SMP Al Azhar mereka mencoba menyatukannga dengan satu metode pembelajaran dengan pendekatan mendalam. Syaiful menyebut itu sebagai berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.
"Kalau dari sekolah, kita lakukan penjaringan di awal tahun pelajaran. Mereka masuk di situ, psikotest dan akademik. Psikotest kita kordinasi dengan lembaga psikologi dari USU. Akademiknya ialah dari kami, seperti tes matematika, bahasa Inggris, serta IPA," pungkasnya.


















