TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Misi Inalum Kebut Hilirisasi dan Tantangan Kuasai Pasar Aluminium

Kejar waktu proyek korporasi strategis

Kantor PT Inalum di Kuala Tanjung, Batubara, Sumatra Utara (IDN Times/Doni Hermawan)

Medan, IDN Times- Hilirisasi menjadi kata yang terus diumbar pemerintah Indonesia di berbagai sektor saat ini. Terutama di industri pertambangan. Hadirnya MIND ID yang kini telah resmi menjadi Mineral Industri Indonesia (Persero) menjadi payung besar dalam proses eksplorasi di pertambangan.

Apa sebenarnya hilirisasi yang dimaksud? Ini adalah strategi meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki. Misalnya, selama ini Indonesia kerap mengekspor biji nikel, padahal jika diolah jadi bahan setengah jadi atau jadi nilainya menjadi berkali lipat lebih besar.

Hal itu yang membuat Indonesia memutuskan menyetop ekspor biji nikel sejak 2020. Namun jalan terjal hadir karena digugat Uni Eropa karena dianggap menyalahi General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.

Terbaru sejak Juni 2023 lalu, Jokowi juga melarang ekspor biji bauksit, karena jika diolah bisa menghasilkan bahan baku untuk aluminium. Hal itu yang kemudian memunculkan proyek Pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery di Mempawah kolaborasi Antam dengan PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), anak usaha PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Karena itu sejak menjadi badan yang terpisah dari Inalum setelah resmi split off (pemisahan) pada Maret 2023, MIND ID terus mendorong perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor pertambangan yang berada di bawahnya untuk mengebut program hilirisasi.

Langkah nyata hilirisasi dari MIND ID adalah memerbanyak smelter pengolahan komoditas dari bahan mentah menjadi bahan setengah jadi ataupun produk jadi.

Inalum sendiri langsung memfokuskan diri meningkatkan kapasitas produksinya sejak tak lagi jadi holding pertambangan. Double Capacity itulah misi besar yang diusung Inalum untuk memenuhi tantangan permintaan aluminium dalam negeri yang sebenarnya masih mereka kuasai 25 persen.

Bayangkan saja Inalum saat ini baru sanggup memproduksi 250 ribu ton aluminium per tahun lewat tiga produk aluminium andalannya ingot, billet dan alloy.

"Demand domestik mencapai 1 juta ton/ tahun. Tantangan tersebut menjadi salah satu prioritas kami untuk segera diselesaikan. Selain itu ada juga tantangan mengenai membangun ekosistem industri aluminium nasional yang mandiri, terintegrasi, modern, dan ramah lingkungan," kata Corporate Secretary PT Inalum Mahyaruddin Ende kepada IDN Times, Rabu (13/9/2023).

Geber proyek korporasi strategis demi mengejar permintaan aluminium dalam negeri

Produk ingot aluminium dari Inalum (IDN Times/Doni Hermawan)

Maka, untuk mengejar 75 persen lagi permintaan itu Inalum tak bisa sendirian. Mereka harus melakukan langkah korporasi strategis.

Hal itu masih terus jadi misi besar yang diusung. Mahyaruddin mengatakan di sisa tahun 2023 ini, berbagai proyek strategis yang digarap masih berusaha mereka kerjakan. Misalnya meng-upgrade Teknologi Tungku Reduksi, Optimalisasi Smelter Kuala Tanjung, dan tentunya Pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery di Mempawah.

"Proyek strategis Inalum dalam semester kedua 2023 masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu mempercepat penyelesaian beberapa proyek strategis agar tepat waktu dan sesuai rencana dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi aluminium nasional," tambah Mahyaruddin.

Selain itu Inalum juga mesti meningkatkan lagi teknologi mesin-mesinnya. Ada 510 unit tungku peleburan yang berfungsi mereduksi biji besi memanfaatkan gas alam. Dalam pabrik reduksi ini proses metal tapping dan parameter control juga dilakukan. Untuk itulah program teknologi tungku reduksi di-upgrade dan ditargetkan tuntas tahun 2023 ini.

"Kami memohon dukungan dari semua pihak agar selesai tepat waktu dan sesuai dengan masterplan yang kita miliki. Jika sudah selesai, kita semua berharap produksi double capacity bisa kita lakukan secara bertahap," tambahnya.

Selain itu tantangan lainnya, adalah harga aluminium yang masih turun naik di London Metal Exchange (LME). "Harga aluminium memang bergantung pada kondisi pasar yang tercatat dalam London Metal Exchange. Namun kami tentu saja harus melakukan langkah mitigasi jika harga aluminium tidak terlalu menjanjikan. Karena itu kami menekankan peningkatan nilai tambah dari produk aluminium Inalum sekaligus memberikan bukti bahwa setiap langkah operasional perusahaan memiliki manfaat yang berkelanjutan, tidak hanya dalam sektor industri tapi juga dalam sektor sosial dan kemasyarakatan," kata Mahyaruddin.

Hilirisasi juga dikebut lewat anak usaha IAA

Pabrik Indonesia Aluminium Alloy (IAA) anak usaha PT Inalum yang memproduksi aluminium sekunder (IDN Times/Doni Hermawan)

Selain itu upaya hilirisasi juga dilakukan lewat anak usaha Inalum PT Indonesia Aluminium Alloy (IAA). Tugasnya memproduksi produk-produk aluminium skunder atau mendaur ulang aluminium.

IDN Times memantau langsung proses soft commisioning IAA pada 6 Januari 2023, bertepatan dengan 37 tahun ulang tahun Inalum. Letak pabrik IAA bersebelahan langsung dengan Kantor Inalum di Kuala Tanjung. 

Soft commissioning memastikan mesin-mesinnya siap beroperasi untuk mendaur ulang aluminium. Dipimpin Ricky Gunawan sebagai Dirut IAA yang sebelumnya merupakan Corporate Secretary PT Inalum.

Sejarah IAA dimulai dengan didirikan pada 20 Mei 2020 setelah jual beli aset pada 9 Oktober 2019 dari AAA. Kemudian revamping dimulai 2 Agustus 2021 sehingga saat ini IAA bisa melakukan soft commissioning.

"PT IAA bergerak di sektor midstream dan downstream. Proses repamving memasuki akhir. 60 persen lebih kita perbaharui mesin yang ada karena sejak selesai masa konsumsi pabrik ini sejak 1994 belum pernah dioperasikan. Bisa dibilang 28 tahun pabrik ini mati suri," beber Ricky.

Mulai Maret 2023, IAA pun beroperasi. IAA telah melakukan pencetakan billet dilanjutkan dengan pencetak billet sistem utuh (full system). Visi IAA sejak menjadi bagian dari anak perusahaan Inalum adalah 2030, menetapkan roadmap dengan tiga tahap dengan target produksi 50 ribu ton pada 2025, kemudian penguatan dengan target masuk ke bisnis ekstrusi hingga 2028 dan tahap pengembangan dengan peningkatan hingga 70 ribu ton KTPA dan masuk bisnis alloy tahun 2030.

Ricky mengatakan saat ini sampel produk mulai dipamerkan ke buyers potensial untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

 

Baca Juga: Inalum Dorong Industri di Pesisir Batubara dengan Tanam Mangrove

Berita Terkini Lainnya