TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Massa Tolak BBM Naik Diduga Dipukuli, KontraS: Polisi Harusnya Malu

KontraS buka layanan bantuan hukum korban demo BBM

Seorang mahasiswa diamankan Polisi (IDN Times/Gideon Aritonang)

Medan, IDN Times – Aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang digelar di depan Gedung DPRD Kota Pematangsiantar, diwarnai kericuhan, Senin (5/9/2022). Sejumlah mahasiswa diduga dipukuli polisi yang terlibat dalam bentrokan.

Kericuhan terjadi saat massa dari mahasiswa kelompok Cipayung hendak membakar ban bekas. Polisi kemudian mencoba memadamkan api. Saat itu bentrokan terjadi.

Aksi represifitas aparat terhadap massa ini mendapat kritik keras dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara. KontraS mengecam tindakan represif yang diduga dilakukan aparat terhadap massa. Apa yang dilakukan aparat dinilai jauh dari prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

1. Kekerasan masih terjadi, bukti ruang kebebasan sipil kian sempit

Polisi amankan seorang mahasiswa (IDN Times/Gideon Aritonang)

Bagi KontraS ini apa yang dilakukan aparat adalah bentuk kesewenangan kepolisian dalam melakukan pengamanan. Ini juga sekaligus menjadi bukti, semakin sempitnya ruang kebebasan sipil dalam menyampaikan pendapat.

“Kepolisian menjadi alat yang digunakan negara untuk mengekang kemarahan rakyat atas situasi saat ini,” ungkap Kepala Operasional Badan Pekerja KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti, Senin malam.

Kata perempuan yang akrab disapa Dinda ini, aksi unjuk rasa jelas dilindungi dan dihormati oleh  Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 5 UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Dalam aturan tersebut bahkan dijelaskan siapapun yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka Umum dapat dikenakan pidana,” tegas Dinda.

Baca Juga: [BREAKING] Demo BBM di Siantar Ricuh, Polisi Diduga Pukul Mahasiswa

2. Polisi harusnya malu berulang kali langgar aturan

Teatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Jumat (26/6). KontraS menyoroti, masih banyak penyiksaan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dinda melanjutkan Indonesia juga telah meratifikasi instrumen internasional terkait Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta UU Nomor 39 Tahun 1999 yang menjamin hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi. Berbagai aturan tersebut harusnya menjadi acuan kepolisian untuk tidak bertindak sewenang-wenang.

Sayangnya, aturan-aturan  tersebut justru terdegradasi lewat pasal 273 RKUHP yang saat ini juga tengah ditolak oleh mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil. 

“Bayangkan, belum ada pasal tersebut saja kepolisian kerap melakukan tindakan represif terhadap massa aksi. Bagaimana pula jika aturan ini ditetapkan? Jelas penyempitan ruang sipil ada di depan mata,” ungkapnya.

Lanjut Dinda, Kepolisian harusnya malu karena bahkan telah berkali-kali mengangkangi aturan-aturannya sendiri terkait prinsip dalam dalam setiap kerja-kerja kepolisian.

3. Aksi represif menambah citra buruk polisi saat ini

Dalam Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) Nomor 1 tahun 2009 penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian bertujuan untuk mencegah, menghambat, dan menghentikan tindakan yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum. Namun kepolisian kerap kali bertindak tidak sesuai dengan prinsip nesesitas dan proporsionalitas.

“Bagi kami tindakan kepolisian justru menambah citra buruk kepolisian di mata publik,” tukasnya.

4. KontraS buka ruang aduan bagi korban kekerasan aparat saat demo tolak BBM

Massa memegang poster kritik di tengah aksi aksi Hari Anti Penyiksaan Internasional , Jumat (26/6). (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS Sumut menilai mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk mengevaluasi jajarannya dalam hal pengendalian masa aksi. KontraS juga menuntut polisi agar menjunjung tinggi semangat HAM dalam penyelenggaraan tugas-tugasnya.

“Jangan sampai ini hanya wacana-wacana belaka. Walhasil, kepercayaan publik terhadap kepolisian semakin runtuh. Kapolri harus turun tangan dengan memberikan instruksi pada jajaran di bawahnya untuk memastikan penerapan prinsip HAM dalam pengendalian massa aksi. Mengingat peristiwa ini bukan hanya terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Jangan sampai preseden buruk banyaknya korban pada aksi ‘Reformasi Dikorupsi’ pada 2020 terulang kembali,” tegasnya.

KontraS juga menuntut agar para korban diberikan akses keadilan. KontraS juga membuka hotline pengaduan bagi orang-orang yang menjadi korban penggunaan kekuatan secara berlebihan oleh kepolisian. Kanal pengaduan dibuka pada nomor WhatsApp 0822 3331 1967.

“Kami akan melakukan advokasi kepada para korban,” pungkasnya.

Baca Juga: Demo BBM Ricuh, Mahasiswa di Siantar Dilarikan ke Rumah Sakit 

Berita Terkini Lainnya