TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jokowi Harus Sikapi Pembubaran Aksi Damai Tolak Omnibus Law

LBH Medan: Polri telah telah melakukan pengulangan kesalahan

Massa AKBAR Sumut saat berunjuk rasa menolak Omnibus Law di Tugu Pos Medan, Selasa (20/10/2020). Unjuk rasa damai itu berakhir ricuh karena dibubarkan paksa oleh kepolisian. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Medan, IDN Times – Pembubaran unjuk rasa damai penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja oleh kepolisian menuai kritik dari sejumlah lembaga. Pembubaran paksa massa Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR) Sumatra Utara dan Front Suara Rakyat Medan (SURAM) itu dianggap tindakan arogan dan berlebih-lebihan. Karena unjuk rasa berlangsung damai.

Kritik pedas dilontarkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Kepala Divisi Buruh dan Miskin Kota LBH Medan Maswan Tambak mengatakan jika pembubaran paksa itu adalah cara  pemerintah untuk membungkam gerakan rakyat yang mengkritisi kebijakan.

“Aksi massa yang digagas oleh Akbar sumut saat itu dikemas dengan metode pekan rakyat yang akan dijalankan dengan orasi, pembacaan puisi dan teatrikal. Sebelum menggelar aksi tersebut, AKBAR Sumut sendiri sudah memberitahukan agenda tersebut melalui surat yang ditujukan kepada pihak kepolisian. Tapi kenapa dibubarkan paksa,” ungkap Maswan, Rabu (21/10/2020).

Baca Juga: [BREAKING] Lagi Demo, Polisi Tiba-tiba Membawa Paksa Massa Aksi

1. Intimidasi polisi terjadi sejak awal unjuk rasa

Massa AKBAR Sumut berorasi di depan aparat kepolisian saat unjuk rasa menolak Omnibus Law di Tugu Pos Medan, Selasa (20/10/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Maswan menduga, polisi sudah melakukan intimidasi sejak jalannya unjuk rasa. Polisi dengan kekuatan personel yang cukup banyak terus berdatangan ke kawasan unjuk rasa.

Di lapangan memang terlihat aparat kepolisian bermotor trail datang dengan menenteng pelontar gas air mata. Selang beberapa saat, datang juga personel dari korps Brimob beserta armada water canon.

Setelah waktu yang ditentukan kepolisian, kata Maswan, massa cukup kooperatif untuk membubarkan diri. Namun saat dalam perjalanan membubarkan diri kepolisian malah bertindak represif dan intimidatif.

“Saat membubarkan diri massa aksi tetap dikawal oleh polri menggunakan kenderaan khusus. Pada saat massa aksi sampai didepan gedung Bank Mandiri, upaya pembubaran oleh polri justru mulai tidak terkendali. Polri mulai membuat suasana semakin tidak kondusif dengan mengeblar sepeda motor sekencang-kencangngya,” ujar Maswan.

2. Polisi juga diduga melakukan pelecehan verbal terhadap massa perempuan

Salah seorang massa yang ditangkap polisi saat pembubaran paksa unjuk rasa Tolak Omnibus Law di Medan, Selasa (20/10/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Aksi represifitas itu dianggap sebagai arogansi aparat penegak hukum yang harusnya melindungi hak-hak warga dalam menyampaikan pendapat. Bahkan di tengah kericuhan itu, kata Maswan, sejumlah aparat kepolisian diduga melakukan pelecehan verbal terhadap massa perempuan. Beberapa oknum polisi mengolok-olok massa perempuan yang marah karena unjuk rasa itu direpresif.

“LBH Medan menilai Polri telah telah melakukan pengulangan kesalahan-kesalahan dalam menyikapi aksi massa yang sama dengan yang pernah terjadi. Misalnya pada aksi massa menyikapi penolakan UU KPK. Dari peristiwa tersebut dapat dilihat pengulangan kesalahan-kesalahan dengan pola arogansi yang menabrak/menerobos barisan massa aksi dengan kendaraan, menembakkan gas air mata ke arah massa aksi yang tidak melakukan pelanggaran atau perlawanan, melakukan pelecehan verbal kepada massa aksi perempuan melanggar ketentuan hukum yang berlaku,” ungkapnya.

Baca Juga: [BREAKING] Tangkap Paksa Demonstran, Polisi Masih Bungkam

Berita Terkini Lainnya