TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dua Mahasiswa Tewas, KontraS: Ongkos yang Mahal untuk Demokrasi

Penanganan massa sarat pelanggaran

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

Medan, IDN Times – Represifitas aparat dalam penanganan massa dalam sejumlah unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa terkait undang-undang bermasalah terus menuai polemik. Apalagi sampai ada korban yang kehilangan nyawa.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan perhatian serius terhadap pelanggaran yang dilakukan kepolisian. Bagi KontraS, ini adalah luka yang cukup berat di era penegakan demokrasi di Indonesia.

Sebelumnya, Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) Immawan Randy, 21 yang tewas tertembak peluru tajam di dada saat ricuh unjuk rasa, Kamis (26/9). Lalu ada Muhammad Yusuf Kardawi, 19 mahasiswa Diploma III, Fakultas Teknik di universitas yang sama. Dia mendapat luka pada bagian kepala. Meski sempat dirawat, nyawanya tak terselamatkan.

Kemudian, insiden mahasiswa terlindas mobil barakuda milik Polisi saat terjadi kericuhan di Jalan Urip Sumoharj, Makassar, Jumat (27/9) malam. Korban terlindas mobil bernama Dicky Wahyudi merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bosowa angkatan 2018. Dicky mendapat luka di bagian bibir, dada, dan paha.

Gerakan mahasiswa Indonesia pun berduka. Kedua korban tewas disebut sangat pantas dianggap sebagai pahlawan demokrasi.

Baca Juga: Korsleting, SMP Negeri di Tanjung Balai Ludes Dilahap Si Jago Merah

1. Tewasnya dua mahasiswa dalam unjuk rasa menunjukkan mahalnya ongkos demokrasi

ANTARA FOTO/Jojon

Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumatera Utara Amin Multazam menyampaikan duka mendalam atas kejadian ini. Selain korban tewas, korban luka akibat represifitas aparat juga menjadi perhatian serius bagi KontraS. Apa yang dilakukan kepolisian untuk meredam massa dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Korban sudah berjatuhan. Sungguh ini merupakan ongkos yang sangat mahal bagi demokrasi kita. Kami sangat mengutuk cara-cara kepolisian dalam melakukan pengendalian massa,” ungkap Amin, Minggu (29/9) petang.

2. Polisi belum berubah secara watak di tengah perbaikan citra

IDN Times/Prayugo Utomo

Amin kembali menegaskan jika dalam penanganan massa, cukup banyak pelanggaran yang dilakukan kepolisian. Padahal dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 sudah cukup banyak mengatur hal dalam pengendalian massa.

Bahkan dalam salah satu pasal menunjukkan jika polisi tidak boleh menggunakan kekuatan yang berlebih. Misalnya saja penggunaan peluru tajam.

“Ini menunjukan sekalipun regulasi terkait standar prosedur pengendalian massa hingga penggunaan kekuatan sudah dirancang untuk melindungi prisnsip HAM dalam berbagai kerja-kerja kepolisian, nyatanya praktek-praktek (kekerasan) tersebut masih terus berulang,” tukas Amin.

“Artinya kepolisian hari ini belum berubah secara watak dan kultur, hanya berubah dari sisi regulasi,” tegasnya.

Baca Juga: [BREAKING] Aristides Katoppo, Tokoh Pers Sahabat Soe Hok Gie Berpulang

Berita Terkini Lainnya