TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Demo Damai Omnibus Law Dibubarkan Paksa, KontraS: Kemunduran Demokrasi

Polisi dianggap menggunakan kekuatan berlebihan

Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Medan, IDN Times – Unjuk rasa damai menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di Medan dibubarkan paksa oleh polisi, Selasa 21 Oktober 2010 petang. Polisi membubarkan dengan cara merangsek masuk ke dalam barisan massa yang sedang melakukan longmarch untuk menuntaskan aksi.

Polisi juga menembakkan gas air mata untuk memecah konsentrasi massa. Satu orang terluka terkena peluru gas air mata yang melesat kearah kerumunan massa.

Sejak awal, massa yang tergabung dalam Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR) Sumatra Utara dan Front Suara Rakyat Medan (SURAM) berunjuk rasa dengan damai. Mereka berorasi dan menggelar seni lesehan di depan tugu pos atau titik nol Kota Medan.

Pembubaran paksa yang dilakukan kepolisian memantik komentar berbagai pihak. Tindakan itu sangat disayangkan. Karena tindakan itu hanya menunjukkan arogansi dari aparat kepolisian yang tengah membangun citra baik di tengah masyarakat.

“Massa aksi yang sedang longmarch malah di pukul mundur, dipecah hingga ditembak gas air mata. Tindakan demikian jelas menjadi bukti bahwa demokrasi dan HAM di Republik ini sedang berjalan mundur,” ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara Amin Multazam, Rabu (21/10/2020).

Baca Juga: Massa Demo Omnibus Law Kecam Intimidasi Polisi Bubarkan Aksi Damai

1. Aturan internal kepolisian sudah banyak mengatur soal implementasi standar HAM

Polisi ber-trail yang mengikuti massa saat melakukan longmarch untuk membubarkan diri setelah berunjuk rasa, Selasa (20/10/2020) petang. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kata Amin, tindakan pembubaran paksa ini tidak bisa dimaklumi. Tindakan ini harus menjadi evaluasi besar kepolisian.

Pascareformasi, lanjut Amin, ada begitu banyak aturan internal kepolisian yang menjamin penghormatan HAM. Seperti Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang prinsip dan implementasi standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian.

“Bahkan jika kita mengacu pada Perkap Nomor 7 tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat dimuka umum, dalam pasal 9 ditegaskan bahwa polri memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan secara profesional, menjunjung tinggi HAM dan lain sebagainya,” ujarnya.

2. Polisi mengunakan kekuatan berlebih dalam penanganan unjuk rasa

Massa AKBAR Sumut berorasi di depan aparat kepolisian saat unjuk rasa menolak Omnibus Law di Tugu Pos Medan, Selasa (20/10/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS menyoroti, dalam penanganan massa, polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan. Padahal, kata Amin, kepolisian harus selalu proporsional dalam penggunaan kekuatan. Menyesuaikan dengan tingkat dan eskalasi ancaman.

“Lantas ancaman apa yang dilakukan massa aksi tadi malam? Kalau memang mereka bertindak brutal dan anarkis, barangkali tindakan polisi bisa dimaklumi. Tapi jelas-jelas aksi tadi kemarin berlangsung dengan tertib,” tukasnya.

Menyampaikan pendapat di depan umum menurut aturan yang berlaku bukan merupakan tindak kejahatan. Harusnya, petugas keamanan dalam hal mengamankan aksi massa melakukan perlindungan.

“Polisi harus menjamin terpenuhinya hak yang berunjuk rasa, maupun hak yang tidak berunjuk rasa. Jangan digiring wacana seolah pengunjuk rasa pasti akan membuat gaduh dan onar, sehingga layak dibubarkan. Teman-teman tadi malam itu sedang menjalankan hak konstitusionalnya yakni dengan cara menyampaikan pendapat dimuka umum,” katanya.

Baca Juga: Catat! Ini Tanggal Debat Calon Wali Kota-Wakil Wali Kota Medan

Berita Terkini Lainnya