TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini Penyebab Fluktuasi Harga Obligasi di Pasar Modal

Outlook obligasi, fluktuasi untuk dicermati

Ilustrasi pergerakan pasar modal di galeri investasi. (IDN Times/Holy Kartika)

Medan, IDN Times- Kepala Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Provinsi Sumatra Utara (Sumut), Muhamad Pintor Nasution menyampaikan, memasuki semester kedua tahun 2022, investor di pasar modal, baik investor saham, maupun investor obligasi tengah menyusun strategi investasi yang tepat untuk mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko, di mana kondisi pasar obligasi Indonesia diproyeksikan masih akan bergerak fluktuatif hingga akhir tahun.

Ia mengatakan, penyebab fluktuasi harga obligasi di pasar modal karena ancaman tingginya inflasi serta tren kenaikan suku bunga negara-negara maju. Namun, kondisi ekonomi domestik yang terjaga menjadi katalis positif dalam menahan tekanan eksternal tersebut.

"Risiko utama pasar global adalah keputusan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan secara agresif untuk meredam tingginya inflasi yang kemudian menimbulkan risiko stagflasi," ujarnya, Sabtu (2/7/2022).

1. SBN akan dipandang punya risiko yang tinggi

Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pintor menjelaskan, kondisi perekonomian global yang melambat ini dapat memicu risiko resesi ekonomi di Amerika Serikat, maupun beberapa negara maju lain. Berdasarkan Outlook Pasar Obligasi Semester II yang dirilis oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), kenaikan suku bunga akan memicu naiknya yield US Treasury.

Berdasarkan outlook ini, The Fed masih bisa menaikkan suku bunga secara agresif sekitar 50 bps-75 bps di empat pertemuan bulan yang tersisa. Kenaikan yield US Treasury akan membuat spread antara yield SBN dengan yield US Treasury juga akan semakin menyempit.

"Secara tren, pergerakan spread yield US Treasury dengan yield SBN acuan 10 tahun memang terus menyempit. Pada 2021, spread masih berkisar 500 bps, namun, saat ini spread sudah menjadi 425 bps," ujarnya.

"Dengan kondisi ini, investor akan cenderung  memilih US Treasury karena jauh lebih menarik. SBN akan dipandang punya risiko yang tinggi, sementara US Treasury yang merupakan safe haven, juga menawarkan yield yang tidak kalah tinggi," tambahnya. 

Baca Juga: Sekolah Pasar Modal untuk Millennial, Ini Programnya

2. Risiko pasar obligasi dari dalam negeri yakni tekanan inflasi

Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dikatakan Pintor, hingga pertengahan Juni 2022, kinerja pasar obligasi dalam negeri yang tercermin dari Indonesia Composite Bond Index (ICBI) turun -1,80 persen yoy dari level 332,8078 menjadi 326,8177.

"Indonesia Government Bond Return Index (INDOBeXG-Total Return) turun -2,09 persen yoy dari 326,1186 menjadi 319,2893. Indonesia Corporate Bond Return Index (INDOBeXC-Total Return) naik +2,56 persen yoy dari 367,9748 menjadi 377,3892. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penguatan sebesar +6,47 persen ytd dari level 6.581,48 menjadi 7.007,0," jelasnya.

Menurut PHEI, risiko pasar obligasi dari dalam negeri yakni tekanan inflasi. Kondisi tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi yang tercermin dari peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen yang dapat mendorong kenaikan inflasi inti. Tekanan inflasi juga bersasal dari penyesuaian tarif yang diatur pemerintah, kenaikan harga energi dan beberapa komoditas, dan kenaikan biaya transportasi.

3. Pendorong kenaikan inflasi yang bisa dicermati investor di pasar obligasi

ilustrasi menghitung uang (pexels.com/Yan Krukov)

Ada beberapa pendorong kenaikan inflasi yang bisa dicermati investor di pasar obligasi. Pertama, daftar golongan tarif listrik yang naik mulai 1 Juli 2022, kenaikan tarif listrik dari 1.444, 7 per kwh menjadi Rp1.699 per kwh atau naik 17,64 persen.  Kedua, harga cabai meroket karena produksi anjlok 60 persen. Kenaikan harga cabai merah disebabkan pasokan ke pasar berkurang drastis akibat imbas gagal panen.

Ketiga, harga tiket pesawat naik, contohnya tarif penerbangan Batam - Singapura juga naik yang ikut mendorong kenaikan tarif kapal feri penyebrangan dari Batam ke Singapura dan sebaliknya. Keempat, harga minyak naik di tengah perkiraan kenaikan  suku bunga AS.

Harga minyak naik di perdagangan Asia, di tengah kekhawatiran atas permintaan bahan bakar. Kelima, isu kenaikan BBM hingga detergen bakal dikenai cukai, meskipun Askolani Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan menegaskan pihaknya tidak ada rencana menjadikan bahan bakar minyak (BBM), ban karet, dan detergen sebagai barang kena cukai (BKC).

Sementara itu katalis bagi pasar obligasi yakni konsolidasi fiskal dengan tren defisit APBN mengalami penurunan, pemulihan ekonomi yang berlanjut, dan dipertahankannya sovereign rating Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional.

Baca Juga: Investasi atau Trading Saham, Mana yang Lebih Menguntungkan?

Berita Terkini Lainnya