Kisah Kemala di Pesisir Timur Sumatera, Dua Anaknya Divonis Stunting
Miris, gizi buruk di tengah lubuk ikan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times - Kemala Sari (39), warga lingkungan 5 Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, yang tidak mampu membayangkan masa depan tujuh anaknya. Putri sulungnya Sofie, 15 tahun, hanya tamat SD seperti dirinya dan sekarang tidak bersekolah.
Anak kedua, Bayu, 13 tahun, juga hanya tamat SD dan tidak melanjut ke SMP. Rafina (11 tahun), Dina (8 tahun) dan Puja (7 tahun) lah yang masih bersekolah. Itupun dia tidak tahu apakah tiga anaknya ini akan bisa bersekolah lebih tinggi dari SD. Dua anaknya yang kecil, Viki (2 tahun 10 bulan), dan Fajar (7 bulan), mengalami hambatan pertumbuhan.
Sebenarnya tidak jauh beda dengan kakak-kakak dan abangnya yang lain, tubuhnya kecil, tidak sesuai dengan usia.
Viki Wahyudi sudah divonis Dokter Gizi Puskesmas Medan Belawan menderita stunting karena di usianya ini tinggi badannya sekitar hanya 50 cm, padahal untuk tinggi normal anak-anak seusianya adalah 92,5 cm dengan berat badan ideal 14 Kg.
Sementara Fajar, dikhawatirkan Ratni Erwinda, Ketua TPKK Kelurahan Belawan Sicanang, akan menyusul kondisi stunting jika pemenuhan gizinya tidak terpenuhi.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen. Sebanyak 5,33 juta balita yang kekurangan gizi parah!
Kondisi menjadi ironi karena negara adalah negara kaya akan sumber daya alam, baik darat maupun lautan. Beberapa daerah di tanah air bahkan menjadikan ekspor ikan menjadi sumber devisa, sementara di sisi lain, stunting justru masih ada salah satunya Kota Medan, Sumatera Utara.
Berikut IDN Times rangkum kisah Kemala Sari bersama keluarganya dalam berjuang untuk hidup sebagai nelayan, dan dua anaknya divonis stunting. Yuk simak:
Baca Juga: Perjalanan Femas Crespo, Merantau dari Medan hingga Juara AFF U-16
1. Faktor ekonomi menjadi hambatan untuk kebutuhan gizi
Penghasilan Kemala dari menjual 5 Kg pucuk daun nipah yang setiap hari ia kumpulkan di muara, hanya sebesar Rp10ribu, tak cukup untuk membeli sekilo beras. Untuk itu tiga hari sekali Kemala akan mencari botol-botol yang mengapung di laut untuk dijual ke pengepul barang bekas. Ia bisa mendapat 6 Kg botol, yang dihargai Rp2ribu perkilonya. Artinya, faktor ekonomi menjadi hambatan mereka untuk kebutuhan gizi.
"Ya kadang-kadang cari duitnya dengan pucuk nipah lah dapat Rp10ribu," ucapnya pada IDN Times.
Sementara itu, untuk membantu keuangan, sesekali anaknya Sofie meminjam perahu milik pamannya untuk mencari kepiting di muara. Jika beruntung dia bisa mendapatkan 3 sampai 4 ekor kepiting berukuran sekepal tangan anak kecil. Empat ekor kepiting tersebut bukan untuk dimakan.
Tapi dijual dengan harga Rp8ribu dan uangnya untuk jajan Sofie dan sebagian diberikan kepada ibunya, Kemala, yang akan pembeli keperluan rumah tangga. Sesekali mereka makan ikan, jika ada tetangga yang melaut dan membagikan hasil tangkapannya kepada mereka.
Baca Juga: Sekolah Kopi, Jurus TPL Berdayakan Para Petani Kopi Kawasan Danau Toba