TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Warga Minta LSM Jangan Lagi Provokasi Petani dengan Isu Tanah Adat

Konflik tidak akan terjadi jika tidak diboncengi LSM

Bentrokan antara masyarakat dan PT TPL pecah di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, Selasa (18/5/2021). (Dok AMAN Tano Batak)

Humbahas, IDN Times - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di sekitar Toba diimbau tidak lagi melakukan provokasi para petani dan masyarakat dengan isu tanah adat.

Hal ini disampaikan Pinus Sitanggang melihat kondisi masyarakat dan petani desa Natumingka Kecamatan Bobor, Kabupaten Toba, yang berselisih paham dengan perusahan pulp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). Ia juga pernah didampingin oleh LSM di sekitar Toba untuk menentang PT TPL. 

“Menurut saya isu tanah adat yang selalu dibawa hasilnya tidak pernah selesai dan tuntas. Cukuplah saya yang merasakan kerugian ini. Hampir 10 tahun LSM mendampingi kelompok tani kami, isunya selalu soal tanah adat tapi tidak pernah tuntas hasilnya. Masyarakat yang akhirnya selalu menjadi korban, bahkan dengan sengaja dibentrokkan kepada pihak swasta yakni TPL,” ungkap Pinus Sitanggang ketika dikonfirmasi, Kamis (10/6/2021).

Baca Juga: 7 Upacara Adat Batak yang Harus Diketahui Milennials

1. Selalu berakhir dengan konflik

Beberapa warga adat Kajang Ammatoa sedang beraktivitas di kawasan hutan adat Kajang Ammatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Pius Sitanggang mengaku tahun 2009 adalah awal mula dirinya membentuk Kelompok Tani Hutan Marsada, Desa Simataniari Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).

Saat itu kelompok tani mereka didampingi oleh pihak ketiga yakni LSM. Menurutnya kelompok tani hutan dibentuk untuk mempertahankan tanah adat tanpa bukti kepemilikan lahan yang sah.

Lebih jauh Pius Sitanggang mengungkapkan isu soal tanah adat memang menjadi fokus LSM ketika itu. Hanya dengan mengandalkan bukti dari peninggalan eks tanaman secara turun temurun, petani dan masyarakat diajak untuk melakukan penolakan kehadiran perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam hal ini TPL, dan berakhir dengan konflik.

2. Konflik antara masyarakat dan perusahaan tidak akan terjadi, bila tidak diboncengi oleh pihak tertentu

IDN Times/Arifin Al Alamudi

Bahkan pada tahun 2016 atas arahan dari LSM, Pius Sitanggang dan kelompok tani yang dibentuknya pernah memberikan sejumlah berkas kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), namun hasilnya belum dapat dipenuhi.

Kemudian tahun 2018 dipanggil kembali untuk menerima Surat Kepemilikan lahan tanah adat, ternyata itu hanya kabar bohong untuk menyenangkan hati para petani.

“Kami pernah dipanggil lagi ke Jakarta oleh Kementerian LHK untuk membahas penyelesaian konflik masyarakat mengenai tanah adat. Ada sekitar 5 komunitas petani yang dihadirkan. Namun anehnya pada pertemuan tersebut tidak ada yang membahas tentang permasalahan tanah adat desa kami. Atas dasar itulah akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari pendampingan LSM, karena menurut saya hanya membuang waktu, tenaga dan biaya. Pada dasarnya prinsip kami para petani adalah dapat menjalani hidup dengan baik dan benar, bukan dengan cara kekerasan dan konflik yang berkepanjangan,” tegas Pius Sitanggang.

Menurutnya konflik antara masyarakat dan perusahaan tidak akan terjadi, bila tidak diboncengi oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan.

Baca Juga: Kadis Kehutanan Tak Tahu Dasar Masyarakat Natumingka Klaim Tanah Adat

Berita Terkini Lainnya