TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dilema Memotret Kerusuhan Demo di Mata Jurnalis Foto Dedi Sinuhaji

Dedi Sinuhaji bikin pameran foto "Omnibus Law in my Eyes"

Dedi Sinuhaji (tengah) Jurnalis Foto yang merupakan anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan (Dok. IDN Times)

Medan, IDN Times – Karya seorang fotografer memang bisa menimbulkan banyak makna dan sudut pandang, bahkan tidak jarang menuai pro dan kontra. Salah satu contohnya jepretan Dedi Sinuhaji saat meliput unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di Medan pada Kamis (8/10) lalu.

Foto kerusuhan antara demonstran dengan polisi di Kantor DPRD Sumut, yang diunggah di akun facebook pribadinya menuai komentar tidak sedap dari akun milik Barita News Lumbanbatu. Dedi dituding sengaja mengabadikan momen kericuhan yang hanya menitik beratkan kepada salah satu pihak. Komentar tersebut dengan cepat mendapat respon dari akun lainnya. Dikarenakan media sosial tidak efektif membahas visual jurnalitik, Dedi menyarankan agar pembahasan dibuat dalam bentuk diskusi sekaligus pameran foto.

“Dalam komentarnya, Barita menyebutkan visual yang saya buat framingnya berat sebelah, dan ada cerita apa dibalik foto itu,” kata Dedi membuka diskusi bertema Omnibus Law in my eyes yang menghadirkan dua narasumber yaki Darma Lubis dan Barita di Literacy Coffee, Jalan Jati II Medan, Minggu (18/10) malam.

“Karena persoalan inilah kita berkumpul di diskusi dan pameran foto ini. Semoga dapat mencerahkan kita semua bagaimana melihat visual dari sudut pandang jurnalistik,” tambah Dedi.

Baca Juga: [BREAKING] Aksi Damai Tolak Omnibus Law Dibubarkan Paksa Polisi

1. Dalam situasi kerusuhan unjuk rasa, jurnalis tulis maupun foto berada pada posisi dilema

Dedi Sinuhaji, Fotografer European Pressphoto Agency (EPA) yang juga anggota PFI Medan (Dok. IDN Times)

Menanggapi komentar Barita, Dedi menceritakan, waktu unjuk rasa 8 Oktober 2020 pecah, dia berada tepat di barisan polisi. Sehingga dia hanya bisa mengambil gambar pada posisi tersebut. Menurutnya, memilih bertahan di situ adalah salah satu strategi paling aman untuk menyelamatkan diri.

Usai meliput, hasil jepretan kerusuhan itu dikirim ke kantor medianya. Setelah di-publish, kemudian dia memposting di akun medsos pribadi. Tak lama Barita memberi komentar terkait hasil jepretannya.

“Karena sebagai pewarta foto, aku menjawab komentar Barita dari sudut pandang framing visual, dan aku tegaskan foto itu sudah berimbang. Alasannya, pada visual itu aku sudah memberikan frame yang seimbang. Antara demonstran sedang melakukan pelemparan batu dan setengahnya lagi polisi yang sedang bertahan. Secara visual foto ini sudah berimbang,” tegas pewarta foto yang bekerja di European Pressphoto Agency (EPA) itu.

Dedi juga menjelaskan, dalam situasi kerusuhan unjuk rasa, jurnalis tulis maupun foto berada pada posisi dilema. Dilematisnya seperti apa? jika diibaratkan seperti telenan dan pisau. Andaikata polisi sebagai telenan dan demonstran adalah pisaunya, maka jurnalis berada di tengah yang akan dipotong, begitu juga sebaliknya.

“Kenapa saya bilang seperti itu, karena keberadaan kami (jurnalis) selalu dianggap salah. Berada di pihak demonstran dianggap bagian dari pemerintah, di pihak polisi dianggap mata-mata demonstran. Berada di antara dua kubu ini jurnalis berpotensi kena imbasnya, kena gas air mata dan lemparan batu,” ucapnya.

2. Lebih baik diintimidasi polisi dibanding massa aksi

Demo mahasiswa di Jombang ricuh. IDN Times/Zainul Arifin

Nah, lanjut Dedi, berdasarkan pengalaman itulah dia lebih cenderung mengambil posisi di balik polisi meskipun di situ rentan juga terkena tindak kekerasan. Alasannya, jika terjadi kekerasan atau intimidasi yang dilakukan oleh polisi, maka dia tahu ke mana akan menuntutnya.

“Tapi, kalau di dekat massa aksi dan mendapat tindakan kekerasan, kami tidak tau menuntutnya ke pada siapa. Bisa dipastikan semua ketua kelompok massa akan buang badan,” jelas pria yang bergabung jadi Staff di EPA sejak 2016 silam ini.

Pada kesempatan ini, Barita menyebutkan bahwa dia memang melihat karya Dedi tidak dari sudut estetik, karena menurutnya estetik itu lebih subjektif.

“Bagiku tidak terwakilkan moral publiknya ketika melihat foto itu. Jadi tujuan teman-teman jurnalis ini memang mengambil spot untuk keosnya saja. Sementara, kita harapkan jangan ada yang keos,” ucapnya sembari mengatakan di situlah mungkin peran kawan-kawan terlepas pandangan politik dan lainnya bahwa segala sesuatu bisa dihindari.

“Mohon maaf, aku cuma melihat dari dua sudut pandangan itu. Tapi, framingnya tetap kekerasan sehingga melupakan hal subtansi yaitu Omnibus Law, dan ini tidak dimunculkan. Maksudku, keberimbangan itu bukan dari sudut estetik atau etika saja. Tapi moral publiknya, ayo loh, diceritakan juga,” sambungnya.

Baca Juga: [BREAKING] Tolak Omnibus Law, Massa Orasi di Tugu Pos Medan

Berita Terkini Lainnya