TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ahli Hukum: Jika Penyerang Novel Gak Sengaja Seharusnya Dituntut Bebas

Hakim bisa adili di luar tuntutan

Ahli Hukum Pidana Mahmud Mulyadi (dok Pribadi)

Medan, IDN Times – Novel Baswedan dan frase tidak sengaja terus viral di jejaring media sosial. Menyusul tuntutan kepada Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, dua polisi aktif, pelaku penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan yang dituntut dengan hukuman satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan beberapa waktu lalu.

Tuntutan ringan itu lantas dihujani kritik dari berbagai lini. Hujatan juga bermunculan terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai tidak profesional. Karena harusnya, dua pelaku itu dihukum berat merujuk pada kasus lain yang serupa.

Novel sendiri pun bergidik soal tindakan yang dianggap tidak sengaja itu. Dalam cuitannya, Novel mengatakan jika para penegak hukum harus belajar lagi dasar hukum pembuktian. Terutama pengertian kalimat ‘tidak sengaja’ melukai bagian wajahnya.

"Pengertian SENGAJA adalah pelajaran dasar hukum pembuktian. Kalo penegak hukum nggak paham, barangkali ada mahasiswa hukum yg berkenan mengajari??," ujarnya melalui akun Twitternya dikutip, Jumat (12/6).

Ahli Hukum Pidana Mahmud Mulyadi pun turut mengomentari tuntutan ringan yang diberikan JPU. Kata dia perbuatan pelaku tergolong pelaku penganiayaan berat. Sehingga hukumannya harusnya lebih tinggi.

1. Jaksa disebut kurang tepat dalam membuat konstruksi tuntutan

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan. ANTARA FOTO/Aprilio Akbar

Mahmud yang terkenal dengan penampilan eksentriknya itu mengatakan, kasus tersebut menggunakan dakwaan berlapis. Disusun dari yang terberat hingga yang paling ringan.

Dakwaan dalam bentuk subsideritas ini, kata Mahmud, disusun supaya tindak pidana yang dilakukan tidak bisa lepas. Namun kata dia ada kontruksi yang kurang tepat dalam tuntutan kasus tersebut.

Ada 3 pasal yang didakwakan terhadap para pelaku, mulai dari Pasal 355 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Kemudian Pasal 353 ayat 1 dan 2 KUHP yang masing-masing berbunyi, Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun (Ayat 1) dan jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun (Ayat 2).

Terakhir adalah Pasal 351 ayat 1 dan 2 KUHP tentang, penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (ayat1) dan Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (ayat 2).

“Jadi unsur-unsur itu konstruksi pasalnya seharusnya bukan 351 ayat 1 dan 2 . Seharusnya. Mungkin Pasal 355 KUHP yang paling berat. Ini menjadi heboh di republik ini melihat kejadian Pak Novel. Karena biasanya kalau kasus penyiraman air keras ini, pelaku sudah merencanakan terlebih dahulu. Dia sudah lakukan pemetaan dan mengetahui kapan posisi korban lengah. Kejadiannya kan ini selesai salat subuh. Secara awam orang sudah tahu ini sudah direncanakan. Ini kan penganiayaan berat karena menyram air keras,” tegas Mahmud kepada IDN Times, Senin (15/6).

2. Jika dianggap ada unsur ketidaksengajaan, terdakwa bisa dituntut bebas

Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis bersiap menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (19/3/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Ahli hukum berambut Mohawk ini pun memberikan sindiran pedas terkait viral alasan JPU soal ketidaksengajaan para pelaku yang awalnya hanya berniat menyiram badan namun mengenai mata kiri novel yang kini buta permanen. Tiga pasal dalam dakwaan memang tidak dengan tegas terdapat kata dengan sengaja. Namun kata penganiayaan menjadi kalimat aktif yang menyirat unsur kesengajaan.

“Dalam konteks ini kan kesengajaan. Jadi harusnya JPU menuntut bebas, kalau dia konsekuen dengan mengatakan tidak sengaja. Menyiram badan kena mata. Itu dari sisi teorinya,” tukasnya.

Mahmud juga menyindir soal profesionialisme Jaksa yang menangani kasus tersebut. Masih menjadi pertanyaan besar, mengapa jaksa hanya menuntut terdakwa dengan hukuman 1 tahun penjara dengan berbagai pertimbangan yandg dinilai sebagian orang diluar nalar. Apalagi, para pelaku juga merupakan personel polri aktif yang harusnya menjadi pengayom di tengah masyrakat.

“Saya pikir jaksa kita sudah cerdas, sudah terlatih. Saya tidak yakin jaksa itu tidak bodoh. Semuanya cerdas kok. Kalau yang lain saya gak tau. tetapi ini kan bisa kita ukur. Kalau dibilang jaksa tidak mempertimbangkan, jaksa kan profesional. Apalagi ini kasus besar. Sampai dibentuk tim pencari fakta,” ungkapnya.

Dia kembali menegaskan jika jaksa hanya kurang tepat dalam mengkonstruksikan tuntutan dari fakta-fakta yang ada. Apalagi sampai dikatakan ada unsur ketidaksengajaan.

Baca Juga: Penyerang Novel Baswedan Dituntut Ringan, LBH: Jaksa Rasa Pengacara

3. Mahmud sampai beberkan teori soal kesengajaan

Ahli Hukum Pidana Mahmud Mulyadi (dok Pribadi)

Untuk menjelaskan soal dakwaan itu, Mahmud pun berbagi ilmu soal arti kesengajaan dalam teori hukum. Kesengajaan dibagi kedalam tiga bentuk. Pertama adalah kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk); kemudian kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) dan terakhir kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).

Dalam bentuk pertama, kesengajaan yang dimaksud memiliki korelasi antara niat, motif dan perbuatan. Dia mencontohkan, misalnya si A menembak mati si B. Ada unsur kesengajaan yang menghendaki kematian korban B.

Dalam bentuk kedua, kesengajaan keinsafan pasti pelaku tidak punya maksud menimbulkan delik. Namun dengan kesengajaan itu pelaku yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud. Contoh yang paling konkret adalah kasus Thomas van Bremerhaven berlayar ke Southampton dan meminta asuransi yang sangat tinggi. Sebelum berlayar, dia memasang dinamit di kapalnya sendiri dan meledakkannya di laut lepas.

Motifnya adalah menerima uang asuransi akibat tenggelamnya kapal yang telah diasuransikan sebelumnya. Dia dengan sengaja mengenggelamkan kapal itu. Jika orang-orang di dalamnya mati tenggelam, itu bisa disebut dengan sengaja dengan kepastian.

Kemudian dia menjelaskan soal kesengajaan keinsafan akan suatu kemungkinan. Dalam hal ini pelaku tidak menghendaki akibat yg terjadi, tetapi akibat tersebut sebagai suatu kemungkinan bisa terjadi. Contohnya kasus Arrest Kue Tar di kota Hoorn 1911 silam. Ada seseorang yang berniat membunuh musuhnya dengan mengirimkan kue tart beracun. Namun pada akhirnya yang memakan kue tart tersebut bukanlah musuh dari sang pengirim kue. Yang memakan tart itu adalah istri dari musuhnya. Sang istri pun meninggal.

Hal ini sebenarnya sudah diperkirakan oleh terdakwa pembunuhan. Terdakwa dari awal sudah mengetahui bahwa belum tentu yang memakan kue tart beracun adalah musuhnya. Bisa saja istri musuhnya, anaknya, tetangganya atau yang lainnya.

Mengapa bisa begitu, karena hanya dengan mengirim kue tart ke rumah musuh dari terdakwa maka tidak ada kepastian bahwa orang yang ditargetlah yang akan memakannya. Namun apa boleh buat, terdakwa sudah berniat untuk membunuh musuhnya dan berani menanggung resiko tersebut

 “Kalau pasal (dalam kasus penyiraman Novel) itu disebut dengan sengaja, ketiga ukuran ini bisa digunakan. Kalau seseorang menyiram badan orang lain, maka kemungkinan yang terkena bisa rambut, bisa mata. Maka pada kasus ini ada unsur kesengajaan,” tegasnya.

4. Hakim bisa jatuhkan hukuman di luar tuntutan

Salah satu pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan berinisial RB (IDN Times/Lia Hutasoit)

Para pelaku penyerang Novel bisa saja divonis lebih berat dari tuntutan jaksa. Karena pada prinsipnya, kata Mahmud, majelis hakim tetap berpedoman pada dakwaan.

“Hakim bisa saja memvonis dengan hukuman pasal 355 ayat 1. Makanya saya yakin, hakim akan memperhatikan ini,” ujar pengajar Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Dalam sistem subsideritas, hakim akan melihat terlebih dahulu dakwaan primernya, Jika tidak terpenuhi dia akan melihat pasal kedua. Begitu juga seterusnya.

“Kalau primer terbukti, maka dia akan langsung menghukum dengan yang primer itu, 355 ayat 1 itu,” ujarnya.

Baca Juga: Penyerang Novel Baswedan Dituntut Ringan, KontraS: Nalar Publik Dihina

Berita Terkini Lainnya