Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Sisi Negatif Pembungkus Makanan Styrofoam

ilustrasi makanan dalam styrofoam (pexels.com/FOX ^.ᆽ.^= ∫)

Penggunaan styrofoam sebagai pembungkus makanan sudah sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari restoran cepat saji hingga penjual makanan kaki lima, banyak yang mengandalkan styrofoam karena ringan, murah, dan mudah didapat.

Namun, di balik kepraktisan tersebut, terdapat banyak sisi negatif yang sering kali terabaikan. Styrofoam, yang sebenarnya merupakan bentuk dari polistirena, memiliki dampak yang merugikan baik bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.

Jika kita terus mengandalkan styrofoam untuk keperluan sehari-hari, efek jangka panjangnya bisa sangat merusak. Styrofoam tidak hanya sulit didaur ulang, tetapi juga mengandung zat kimia berbahaya yang bisa meresap ke dalam makanan.

Berikut ini adalah lima sisi negatif penggunaan styrofoam sebagai pembungkus makanan yang perlu kamu ketahui untuk mulai beralih ke alternatif yang lebih aman dan ramah lingkungan.

1. Mengandung Bahan Kimia Berbahaya

ilustrasi kostum menghadapi bahan kimia berbahaya (pixabay.com/voltamax)

Styrofoam terbuat dari polistirena, bahan kimia sintetis yang diketahui berpotensi merusak kesehatan. Polistirena dapat larut ke dalam makanan, terutama makanan panas atau berminyak, yang mempercepat proses pelepasan zat kimia berbahaya seperti stirena. Stirena sendiri telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan hormonal, kerusakan sistem saraf, dan risiko kanker.

Paparan bahan kimia ini secara berkala dapat menumpuk di dalam tubuh dan menyebabkan dampak jangka panjang. Meski efeknya mungkin tidak langsung terasa, konsumsi makanan yang terkontaminasi stirena dalam jangka panjang dapat merusak organ-organ vital dan meningkatkan risiko penyakit kronis. Oleh karena itu, memilih pembungkus makanan yang lebih aman adalah langkah bijak untuk melindungi kesehatan kamu.

2. Tidak Dapat Terurai Secara Alami

ilustrasi tidak dapat terurai alami (pexels.com/Singkham)

Salah satu masalah terbesar dengan styrofoam adalah ketidakmampuannya untuk terurai secara alami. Styrofoam membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai di alam, yang berarti setiap kali kita membuangnya, limbah ini akan tetap ada dalam jangka waktu yang sangat lama. Limbah styrofoam yang menumpuk dapat menyumbat saluran air, mencemari tanah, dan menyebabkan kerusakan ekosistem.

Ketika styrofoam dibuang di alam bebas, ia akan terpecah menjadi partikel-partikel kecil yang sulit diolah. Partikel ini, yang dikenal sebagai mikroplastik, kemudian bisa masuk ke dalam ekosistem laut dan dimakan oleh hewan-hewan laut. Dampaknya, rantai makanan di laut menjadi tercemar, dan akhirnya bisa kembali ke manusia melalui konsumsi ikan dan hasil laut lainnya.

3. Sulit didaur ulang

ilustrasi mendaur ulang sampah (pexels.com/Polina Tankilevitch)

Meski pada prinsipnya styrofoam bisa didaur ulang, proses daur ulangnya sangat sulit dan memerlukan teknologi khusus yang belum banyak tersedia di berbagai tempat. Selain itu, karena styrofoam sangat ringan dan mudah hancur, proses pengumpulan dan pengolahannya tidak efisien secara ekonomi. Akibatnya, banyak pusat daur ulang yang menolak styrofoam, sehingga limbah ini sering kali hanya berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar.

Proses pembakaran styrofoam juga tidak lebih baik, karena menghasilkan emisi gas beracun yang mencemari udara. Gas ini, jika terhirup oleh manusia dalam jangka panjang, dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan masalah kesehatan lainnya. Oleh karena itu, alih-alih mengandalkan daur ulang, langkah terbaik adalah mengurangi penggunaan styrofoam dari awal.

4. Merusak Lingkungan Laut

ilustrasi perairan yang tercemar (pexels.com/voltamax)

Laut adalah salah satu ekosistem yang paling terancam oleh limbah styrofoam. Karena styrofoam ringan dan mudah terbawa angin, banyak dari limbah ini yang akhirnya berakhir di laut. Hewan laut, seperti penyu dan ikan, sering kali salah mengira styrofoam sebagai makanan. Ketika hewan laut menelan styrofoam, sistem pencernaannya bisa tersumbat, yang akhirnya menyebabkan kematian.

Selain itu, partikel-partikel mikroplastik dari styrofoam dapat merusak kualitas air laut dan mencemari habitat hewan laut. Polusi ini tidak hanya merugikan hewan-hewan laut, tetapi juga ekosistem secara keseluruhan. Pada akhirnya, manusia juga akan terkena dampak dari pencemaran ini, terutama jika kita mengonsumsi makanan laut yang telah tercemar.

5. Meningkatkan Jejak Karbon

ilustrasi gas dari menara (pexels.com/Pixabay)

Produksi styrofoam tidak hanya memakan banyak sumber daya alam, tetapi juga melepaskan gas rumah kaca yang memperparah perubahan iklim. Proses pembuatan styrofoam memerlukan bahan baku dari minyak bumi, dan setiap tahapan produksinya, mulai dari ekstraksi hingga pengolahan, menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi. Dengan semakin banyaknya penggunaan styrofoam, kontribusi limbah ini terhadap perubahan iklim juga semakin besar.

Selain itu, karena styrofoam sulit didaur ulang, sebagian besar limbahnya berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar, yang kedua proses ini juga menghasilkan emisi gas rumah kaca tambahan. Oleh karena itu, mengurangi penggunaan styrofoam adalah salah satu cara untuk menekan jejak karbon dan membantu menjaga kelestarian bumi.

Penggunaan styrofoam sebagai pembungkus makanan memiliki banyak sisi negatif yang merugikan, baik bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Dengan mengandung bahan kimia berbahaya, sulit terurai, dan merusak ekosistem, styrofoam jelas bukan pilihan yang bijak. Saatnya kita mulai mencari alternatif pembungkus makanan yang lebih ramah lingkungan dan lebih aman bagi kesehatan, demi menjaga bumi tetap hijau dan generasi mendatang dapat menikmati lingkungan yang lebih bersih.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Shafira
EditorShafira
Follow Us