Kian Sunyi, 5 Alat Musik Tradisional Sumut yang Sudah Jarang Terdengar

Kalau ditanya soal alat musik dari Sumatera Utara, apa yang pertama kali muncul di kepalamu? Mungkin gondang atau taganing? Biasanya kita hanya mengenal alat musik yang sering ditampilkan dalam upacara resmi. Tapi, tahukah kamu kalau di luar sana ada banyak alat musik yang suaranya tak kalah indah, namun nasibnya kini di ujung tanduk?
Dahulu, Suara dari masa lalu ini adalah saksi bisu ritual kaum muda untuk saling mengenal, pengiring upacara sakral, sampai teman setia para petani di sawah. Sayangnya, gempuran modernisasi membuat suara-suara ini makin lirih. Banyak yang sudah lupa, bahkan tidak tahu kalau alat-alat musik ini pernah ada.
Daripada hanya melihat fotonya di museum, mari kita dengarkan kembali kisah lima alat musik tradisional Sumut yang hampir punah ini. Siap-siap terkejut betapa menakjubkannya budaya kita!
1. Tulila, Seruling Cinta yang Dulu Sakral

Di masa lalu, Tulila adalah instrumen dengan dua "nyawa". Alat musik tiup dari bambu ini, dengan suaranya yang merdu bak kicauan burung, memegang peran penting bagi masyarakat Batak Toba dan Mandailing. Di satu sisi, ia adalah medium sakral untuk upacara pemujaan kepada Sang Pencipta. Di sisi lain, ia menjadi senjata rahasia para pemuda dalam tradisi markusip sebuah ritual merayu gadis pujaan yang dipingit dengan alunan melodi dan pantun.
Mengapa kian sunyi? Tulila kehilangan panggung utamanya. Tradisi markusip perlahan terkikis oleh zaman, dan fungsi ritualnya tergantikan oleh perubahan keyakinan. Beruntung, semangatnya belum padam total. Sosok seperti seniman Hardoni Sitohang memberinya napas baru dengan mengadaptasi melodi Tulila untuk mengiringi lagu-lagu rohani di gereja, sebuah langkah cerdas untuk membuatnya relevan kembali.
2. Arbab, Gesekan Mistis yang Menjadi Stigma

Arbab adalah sebuah karya seni dari alam. Alat musik gesek dari Simalungun ini dirakit dari tempurung kelapa, kulit kambing, bambu, hingga serat nanas sebagai dawainya. Dipercaya memiliki hubungan historis dengan Rebab dari Persia, Arbab bukanlah alat musik hiburan biasa. Ia adalah instrumen para tetua adat yang digunakan dalam ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dan menyembuhkan penyakit.
Mengapa kian sunyi? Ironisnya, kekuatan spiritual yang dulu menjadi kehormatannya kini menjadi belenggu. Aura mistis yang melekat padanya dianggap "menakutkan" dan tidak lagi sejalan dengan keyakinan masyarakat modern. Berbeda dengan Tulila yang melodinya bisa diadaptasi, fungsi Arbab yang terikat erat dengan ritual kuno membuatnya sulit diterima. Akibatnya, alat musik ini terdesak hingga nyaris tak bersisa dan menjadi legenda yang hanya hidup dalam cerita.
3. Keteng-keteng, Ritme Penyucian yang Berganti Peran

Keunikan Keteng-keteng dari etnis Karo terletak pada pembuatannya. "Senar" alat musik pukul ini tidak dipasang dari luar, melainkan dicungkil langsung dari kulit bambu itu sendiri, menciptakan suara yang khas. Pada awalnya, Keteng-keteng adalah instrumen sakral yang mengiringi erpangir ku lau, sebuah ritual penyucian diri di sungai untuk menolak bala.
Mengapa kian sunyi? Yang langka dari Keteng-keteng bukanlah wujud fisiknya, melainkan fungsi aslinya. Ritual erpangir ku lau sudah jarang dilakukan, sehingga peran sakralnya memudar. Instrumen ini kemudian beradaptasi, beralih fungsi menjadi musik hiburan untuk memeriahkan pesta pernikahan atau mengiringi upacara duka. Meski inovasi seperti versi elektrik terus muncul untuk panggung modern, jiwa ritualnya telah berganti menjadi pertunjukan.
4. Gendang Sisibah, Kemegahan yang Terikat Aturan Ketat

Gendang Sisibah dari suku Pakpak bukanlah sekadar alat musik, melainkan sebuah orkestra perkusi yang agung. Terdiri dari sembilan gendang, ansambel ini adalah representasi tatanan sosial dan suara permohonan kepada para leluhur. Statusnya begitu tinggi sehingga ia hanya boleh dimainkan pada upacara adat sukacita (kerje mbaik) yang paling akbar.
Mengapa kian sunyi? Kemegahannya justru menjadi penghalang. Untuk bisa menampilkan Gendang Sisibah, ada syarat adat yang luar biasa berat penyelenggara wajib menyembelih seekor kerbau dan harus mendapatkan restu penuh dari seluruh kerabat. Di era modern, memenuhi prasyarat ekonomi dan sosial yang begitu kompleks menjadi tantangan besar, membuat ansambel agung ini semakin jarang terdengar.
5. Ole-ole, Suara Hati Petani yang Lenyap Bersama Sawah

Di antara yang lain, Ole-ole adalah yang paling personal dan sederhana. Alat musik tiup dari etnis Angkola ini dibuat dari bahan-bahan yang mudah ditemukan sebatang padi sebagai sumber suara dan lilitan daun kelapa sebagai resonatornya. Ia bukanlah musik untuk upacara, melainkan curahan hati para petani di tengah sawah media untuk mengekspresikan kerinduan, kesedihan, atau kebahagiaan saat melepas lelah.
Mengapa kian sunyi? Nasib Ole-ole adalah cerminan dari perubahan lanskap. Ketika sawah-sawah berganti menjadi bangunan dan generasi baru meninggalkan dunia agraris, ekosistem tempat Ole-ole hidup pun ikut lenyap. Kepunahannya terjadi secara diam-diam, terkikis oleh perubahan zaman tanpa ada institusi adat yang menjaganya.
Kisah lima alat musik ini adalah pengingat bahwa budaya itu hidup dan bisa meredup jika kehilangan relevansinya. Melodi mereka mungkin sunyi, tetapi belum sepenuhnya mati.
Mungkin kita bisa memulainya dengan mencari video alunan mereka di internet, mendukung seniman lokal yang masih memainkannya, atau sekadar berbagi cerita ini. Karena sebuah budaya baru benar-benar mati saat tidak ada lagi yang mau mendengarkan kisahnya.