5 Makanan Khas Karo yang Kini Makin Langka, Cita Rasa Terancam Hilang!

- Kidu-Kidu merupakan makanan ekstrem khas Karo berbahan dasar ulat pohon enau atau sagu, mulai sulit ditemukan karena bahan bakunya langka dan tidak semua orang mahir mengolahnya.
- Cincang Bohan adalah hidangan daging atau ikan cincang dimasukkan ke dalam batang bambu muda bersama rempah, jarang dibuat di luar acara adat karena proses masaknya panjang.
- Pagit-Pagit (Terites) adalah sup tradisional dengan bahan utama isi lambung sapi atau kerbau yang sudah jarang ditemukan di luar acara adat karena bahan bakunya tidak selalu tersedia.
Terkenalnya tanah Karo Sumatera Utara, bukan hanya karena panorama pegunungan dan budayanya yang kaya saja , tapi juga kulinernya yang unik. Di balik ketenaran BPK dan arsik ikan mas, tersimpan aneka kuliner khas Karo lain yang mulai dilupakan, padahal punya cita rasa dan nilai historis yang tinggi.
Sayangnya, tak semua kuliner itu bisa dengan mudah ditemui sekarang. Beberapa di antaranya mulai sulit ditemukan, bukan karena rasanya kurang enak, tetapi karena bahan baku, proses pengolahan, hingga pergeseran minat generasi muda. Akibatnya, hidangan-hidangan ini hanya muncul di acara adat atau di desa tertentu yang masih memegang teguh tradisi.
Jika kamu pencinta kuliner unik, mengenal makanan khas Karo yang hampir punah ini bisa menjadi pengalaman berharga. Siapa tahu, suatu hari kamu berkesempatan mencicipinya langsung sebelum benar-benar hilang dari meja makan masyarakat Karo. Untuk itu, mari mengenal 5 kuliner khas Karo yang mulai hilang dari peredaran.
1. Kidu-Kidu

Kidu-kidu merupakan salah satu makanan ekstrem khas Karo yang berbahan dasar ulat dari pohon enau atau sagu. Ulat ini biasanya ditemukan di batang aren yang sudah membusuk, kemudian dibersihkan secara menyeluruh. Setelah itu, ulat digoreng hingga garing sebelum dimasak dengan bumbu khas Karo seperti andaliman, kecombrang, kunyit, dan kemiri.
Dahulu, kidu-kidu menjadi sajian mewah di setiap upacara adat penting. Hidangan ini dianggap simbol kehormatan untuk para tetua adat dan tamu istimewa. Rasanya gurih dengan tekstur unik yang memancing rasa penasaran. Meski begitu, bahan baku yang langka membuatnya tidak hadir di setiap meja makan masyarakat umum.
Kini, kidu-kidu semakin sulit ditemukan. Bahan bakunya hanya bisa didapat di hutan-hutan tertentu, dan tidak semua orang mahir mengolahnya. Hanya warung-warung adat di Tanah Karo atau acara adat khusus yang masih menyajikan hidangan ini.
2. Cincang Bohan

Cincang bohan adalah hidangan daging atau ikan cincang, yang dimasukkan ke dalam batang bambu muda bersama rempah seperti serai, kelapa parut, cabai, dan andaliman. Bambu berisi campuran tersebut dibakar di atas bara api perlahan hingga matang. Proses ini memakan waktu dan membutuhkan keterampilan agar rasa rempah meresap sempurna.
Hidangan ini biasanya disajikan dalam pesta panen atau “kerja tahun” di desa-desa Karo. Aroma harum bambu berpadu dengan rasa gurih pedas rempah membuat cincang bohan punya karakter rasa khas yang sulit dilupakan. Di masa lalu, kuliner ini menjadi simbol rasa syukur masyarakat kepada hasil bumi.
Namun, karena proses masaknya panjang, cincang bohan jarang dibuat di luar acara adat. Kamu mungkin bisa menemukannya di beberapa rumah makan adat di Kabanjahe, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Generasi muda pun jarang mempraktikkan resep ini, membuatnya semakin langka.
3. Pagit-Pagit (Terites)

Pagit-pagit atau terites dikenal sebagai sup tradisional yang cukup ekstrem. Bahan utamanya adalah isi lambung sapi atau kerbau yang masih mengandung rumput setengah cerna. Setelah dibersihkan, bahan ini dimasak bersama rempah seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan andaliman hingga menghasilkan kuah kental dengan rasa yang khas.
Di masyarakat Karo, hidangan ini dipercaya memiliki manfaat kesehatan, terutama untuk pencernaan. Pagit-pagit sering disajikan pada acara adat besar atau ketika ada penyembelihan hewan. Rasanya yang unik menjadi pengalaman tersendiri bagi yang pertama kali mencicipi.
Kini, hidangan ini sangat jarang ditemukan di luar acara adat. Bahan bakunya tidak selalu tersedia, dan tidak semua generasi muda tertarik mencoba atau mengolahnya. Akibatnya, pagit-pagit semakin jarang muncul di meja makan masyarakat Karo.
4. Sayur Umbut (Gulai Batang Pisang)

Masakan gulai batang pisang atau sayur umbut menjadi salah satu contoh bagaimana masyarakat Karo memanfaatkan hasil alam secara kreatif. Bagian dalam batang pisang diiris tipis, direbus, lalu dimasak dengan santan dan bumbu seperti kunyit, serai, dan andaliman. Teksturnya lembut dengan rasa gurih yang khas.
Di masa lalu, gulai batang pisang sering disajikan sebagai menu sehari-hari, terutama di pedesaan. Bahan yang mudah ditemukan di kebun membuatnya jadi pilihan praktis. Selain itu, hidangan ini juga sering muncul di acara adat karena porsinya yang bisa dibuat besar.
Namun, urbanisasi membuat kebun dan pekarangan semakin berkurang. Batang pisang tidak lagi mudah didapat, dan masyarakat cenderung beralih ke menu yang lebih cepat disiapkan. Hal ini membuat gulai batang pisang semakin jarang ditemui, baik di rumah maupun di warung.
5. Tasak Telu

Dalam bahasa Karo, tasak telu berarti “tiga jenis masakan”. Hidangan ini populer karena menggunakan ayam kampung sebagai bahan utama, yang kemudian dipadukan dengan darah atau hati ayam, daun ubi jalar, serta kelapa parut. Cita rasanya yang khas berasal dari perpaduan rempah dan cabai rawit dalam jumlah melimpah, menciptakan sensasi pedas yang menggugah selera.
Hidangan ini biasanya hadir dalam acara-acara penting masyarakat Karo, seperti pesta kelahiran, pernikahan, hingga kerja tahunan. Proses memasaknya yang cukup panjang membuatnya identik dengan momen kebersamaan dan gotong royong.
Meskipun saat ini tasak telu sudah mulai tersedia di beberapa rumah makan khas Karo di Medan, Berastagi, atau Kabanjahe, jumlahnya tetap terbatas. Proses yang panjang dan teknik masak yang spesifik membuatnya jarang diproduksi secara massal. Namun, cita rasa gurih-pedasnya yang unik berpotensi besar untuk kembali diperkenalkan sebagai ikon kuliner Sumatera Utara.
Kelima kuliner ini bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari identitas budaya Karo. Jika tidak dilestarikan, kita bisa kehilangan warisan rasa yang kaya akan cerita. Menghidupkan kembali hidangan ini melalui festival kuliner, promosi UMKM, atau dokumentasi resep bisa menjadi cara menjaga agar cita rasa Karo tetap dikenal lintas generasi.