Kisah Sabuk Hijau Jadi Penyelamat saat Bencana Tsunami 2004
Pentingnya menjaga kawasan pesisir
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
“Air naik, air naik,”
Suara itu masih terngiang di benak Muhlis. Pemuda asal Kabupaten Siemeulue, Aceh yang kini meniti karir menjadi jurnalis di Kota Medan, Sumatra Utara.
Saat Tsunami menghantam Simeulue 26 Desember 2004, Muklis baru saja duduk di bangku SMP. Dia langsung bergegas bersama keluarga naik ke arah perbukitan Simeulue.
“Kalau di tempat kami sebelum tsunami itu terjadi gempa. Gempa yang tiba-tiba kuat dan diikuti gempa susulan beberapa kali. Kemudian ada gemuruh. Air laut kemudian surut,” kata Muhlis, Rabu (28/12/2022).
Lima menit kemudian, air laut naik perlahan ke pemukiman. Warga sudah lebih dulu naik - naik ke perbukitan. Sehingga mereka selamat.
“Tercatat ada 7 kali air naik-turun dan dari 5-7 itu naik airnya udah mulai tinggi, di bibir pantai aja itu udah setinggi orang dewasa. Air laut naik sejauh kurang lebih 500 meter dari bibir pantai,” kenangnya.
Siemeulue sebagai pulau yang ada di kawasan Pantai Barat juga menjadi yang terdampak Tsunami. Namun saat itu dampaknya tidak terlalu parah. Jumlah koban sangat kecil. Berbanding jauh dengan kondisi mayoritas di Aceh, Utara Pulau Sumatra. Tsunami sangat dahsyat meluluhlantakkan daratan. Tercatat, 173.741 orang meninggal dan 394.539 mengungsi (sumber: Tempo).
Sejumlah laporan menunjukkan, tsunami dipicu gempa berkekuatan magnitudo 9.1 sampai 9.3. United States Geological Survey (USGS) mencatat besaran gempa adalah 9.1.
Gempa disebabkan terjadi patahan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng benua Indo-Australia. Patahan dimulai dari perairan Barat Aceh hingga Laut Andaman. Dampak juga diperparah dengan pusat gempa yang dangkal. Hanya 10 kilometer. Dalam kurun waktu 6 menit, tsunami pascagempa, meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Aceh. Tsunami juga dirasakan sejumlah daerah di Pantai Barat Sumatra dan belasan negara lainnya.
Smong menjadi kunci selamat masyarakat Simeulue pada 2004. Menjadi kearifan lokal yang masih dinarasikan secara turun temurun. Muhlis juga masih mendengar syair – syair tentang smong yang diartikan sebagai hempasan gelombang air laut dalam bahasa Devayan: bahasa asli Simeulue.
Smong bermula dari bencana Tsunami pada 1907 silam. Saat itu ombak menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue terutama di Kecamatan Teupah Barat. Gempa dengan magnitude 7,6 dan disusul tsunami menjadi bencana sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat.
“Cerita Smong disampaikan kepada generasi muda termasuk anak-anak dalam berbagai kesempatan, seperti saat memanen cengkeh, Begitu juga saat kami mengaji di masjid,” kata Muhlis.
Di antara duka yang masih dikenang hingga saat ini, sejumlah daerah justru hanya merasakan dampak yang ringan. Apa yang membuat Simeulue dan daerah lainnya hanya mendapat dampak tidak signifikan?
Pakar Kehutanan Universitas Sumatra Utara Onrizal menuliskan cerita risetnya setahun setelah Tsunami menerjang. Onrizal menemukan, ada sejumlah perkampungan yang selamat dari Tsunami. Cerita itu ditulis di dalam blog pribadinya pada 30 Desember 2005 dan disunting kembali tiga tahun setelahnya. Tulisan ini dibuat saat Onrizal menjalani tugas rapid assesment tentang dampak Tsunami di awal 2005.
Baca Juga: Satu-satunya Anak Medan di Timnas, Ini 5 Fakta Egy Maulana Vikri
Desa Moawo dan Pasar Lahewa: rumah kayu aman dari tsunami
Onrizal melihat langsung kondisi di kawasan Desa Moawo dan Desa Pasar Lahewa di Kecamatan Lahewa Nias Utara. Nias yang berada bersebelahan dengan Pulau Simeulue di Pantai Barat, hanya mendapat dampak ringan.
Di dua desa yang langsung mengahadap laut itu, rumah – rumah penduduk hanya berdidinding anyaman kulit, bambu atau kayu. Rumah – rumah panggung tersebut beratap daun nipah dan rumbia. Hanya sedikit yang dibangun dengan semi permanen berpondasi batu.
“Sangat sulit melihat bekas atau dampak secara fisik dari tsunami pada kedua desa tersebut. Kecuali bekas tanda-tanda bekas air di dinding rumah-rumah penduduk yang merupakan batas tertinggi air tsunami. Hanya ada 1 rumah di Desa Moawo yang hancur total sampai pondasinya,” tulis Onrizal dilansir IDN Times, Rabu (28/12/2022).
Memang, kata Onrizal, sebagian desa itu tenggelam saat tsunami. Namun dia heran, kenapa kerusakan yang ditimbulkan begitu minim.
Baca Juga: 18 Tahun Tsunami Aceh, Mengenang 22 Jurnalis yang Berpulang