TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

May Day di Tengah Corona, Buruh di Medan Konsisten Tolak Omnibus Law

Pemerintah lebih baik fokus penanganan corona

May Day, Buruh di Sumut tetap berunjuk rasa di tengah pandemik corona, Jumat (1/5) (Istimewa)

Medan, IDN Times – Gedung DPRD Sumatera Utara, Jalan Imam Bonjol, mendadak ramai, Jumat (1/5). Puluhan buruh berunjuk rasa di sana untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau yang sering disebut May Day.

May Day kali ini memang terpukul Corona. Kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dipersempit ruangnya oleh virus asal Tiongkok itu. Beberapa elemen buruh juga sudah membatalkan unjuk rasa May Day, karena satu hal dan lainnya. 

Namun tetap ada buruh yang menyuarakan aspirasinya ke jalan. Buruh yang datang kali ini dari Badan Pekerja Daerah Sumatera Utara Kesatuan Perjuangan Rakyat (BPD Sumut KPR). Aksi dipimpin langsung Ketua BPD Sumut KPR Martin Luis. Dalam aksi itu, massa mengenakan masker. Jarak antarmassa juga diatur berjauhan.

Kali ini isu yang paling ditentang adalah pembahasan Omnibus Law yang masih berlangsung di tengah pandemik. “Kami tetap konsisten menolak kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat,” ungkap Martin.

Baca Juga: Aksi Virtual Buruh, Ini 3 Hal yang Dituntut FSPMI Sumut

1. Omnibus Law hanya semakin menyengsarakan rakyat

Seorang buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan pabriknya di Benda, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/5). Dalam aksi untuk memperingati Hari Buruh Internasional itu, massa menolak RUU Omnibus Law serta meminta pemerintah dan pengusaha untuk menjamin kelangsungan hidup buruh. (ANTARA FOTO/Fauzan)

Para buruh kecewa. Di tengah masa pandemik saat ini, pemerintah bersama DPR masih juga sibuk membahas Omnibus Law yang sarat penolakan dari berbagai kalangan. Yang paling dikritik dalam Omnibus Law itu adalah RUU Cipta Kerja.

“Tujuannya hanya untuk menarik investasi ditengah situasi krisis. Ini justru itu tidak akan menjawab perubahan ekonomi Indonesia. Selain itu sistem pengupahan yang diterapkan melalui sistem Omnibus Law hanya menetapkan upah minimum provinsi dan menghapus UMK,” ungkap Martin.

2. Kritisi Omnibus Law hanya berpihak kepada investor

Seorang buruh saat memperlihatkan bunga saat aksi May Day. Dok Humas FSPMI Jateng

Martin pun menduga, Omnibus Law terus dikbut supaya pemerintah lebih mudah melanggengkan masuknya investor. Ini juga yang dianggap sebagai jalan pintas untuk menghadapi resesi global karena COVID-19.

“Sederhana saja menafsirkan logika penguasa yang masih membangun tata kelola ekonomi Indonesia dengan ditopang oleh investasi dan utang luar negeri. Maka kebijkan yang lahirpun tentunya untuk memuluskan investasi bukan untuk kepentingan rakyat,” tukasnya.

3. Corona jangan jadi dalih pengusaha untuk melakukan PHK

Ilustrasi PHK (IDN Times/Arief Rahmat)

Selama pandemik, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga menjadi sorotan. Angkanya juga terus naik. Martin mengatakan, corona tidak bisa menjadi dalih pengusaha untuk melakukan PHK. Sejauh ini, kata Martin, sudah 2,8 juta buruh yang di PHK.

“Itu jelas kita tolak karena pemutusan hubungan kerja itu adalah kejahatan kemanusiaan yang menghilangkan penghidupan orang banyak. Untuk karyawan yang di rumah kan oleh perusahaan nya itu harus membayar hak-hak dari pekerja nya sesuai dengan UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,” bebernya.

4. Omnibus Law harus dibatalkan

Pekerja diperiksa suhu tubuhnya sebelum mengikuti rapid test atau pemeriksaan cepat COVID-19 di Aula Serba Guna Kementerian Tenaga Kerja, Jakarta, Jumat (1/5)(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Terpisah, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara Amin Multazam, mendesak agar Omnibus Law dibatalkan pembahasannya.

“Meneruskan sesuatu yang masih jadi perdebatan dengan memanfaatkan keterbatasan rakyat untuk bergerak ditengah pandemi merupakan tindakan tak beretika dan menghina kesadaran publik,” ungkap Amin.

Baca Juga: Sejarah May Day hingga Tragedi Haymarket yang Makan Korban 

Berita Terkini Lainnya