TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Psikolog Soroti Fenomena Seks Bebas di Bawah Umur, Catat 4 Hal Ini

Kondisi ini memperlihatkan longgarnya gen Z tentang seksual

Ilustrasi Pekerja Seks (IDN Times/Mardya Shakti)

Medan, IDN Times - Psikolog Irna Minauli dan juga Direktur Minauli Consulting Medan menyoroti perilaku hubungan seks bebas yang dilakukan remaja saat belum mencukupi umur. Hal ini berdasarkan fenomena para kawula muda di kota Medan 5 tahun belakangan ini.

Menurutnya, secara teoretis menunjukkan adanya gangguan perilaku (conduct disorder), karena mereka telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan agama.

Baca Juga: 5 Posisi Mirror Seks yang Bisa Kamu Coba Bareng Pasangan

1. Perilaku seks bebas sering diiringi dengan pelanggaran lain

ilustrasi mainan seks (pexels.com/cottonbro studio)

Dia menilai bahwa pada umumnya, perilaku seks bebas ini diiringi dengan pelanggaran lain seperti contohnya merokok, atau bahkan narkoba dan minum-minuman keras lainnya. Selain itu, mereka juga sering memiliki masalah akademis seperti membolos atau cabut dari sekolah.

Lanjut Irna, secara umum penyebab masalah perilaku seks bebas disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor internal yang dimaksud Irna seperti keluarga yang tidak berfungsi dengan baik (dysfunctional family). Sehingga, anak kurang mendapatkan pemahaman tentang nilai-nilai sosial.

Selain itu, ada kecenderungan kepribadian anak itu sendiri yang memiliki kepribadian melawan dan memberontak terhadap aturan-aturan yang diterapkan keluarga. Sedangkan untuk faktor eksternal mempengaruhi paparan pornografi yang dapat diakses dengan mudah serta hubungan pertemanan yang salah.

“Ke semuanya itu akan membentuk nilai-nilai yang longgar tentang pentingnya menjaga virginitas serta perilaku seksual pranikah,” jelasnya.

2. Banyak anak muda lupa bahaya perilaku seks bebas hancurkan kehidupannya

ilustrasi seks tantra (unsplash.com/ian dooley)

Berkembangnya pandangan atau disebut polyamourous yang ditandai dengan adanya hubungan romantis, berdasarkan kesepakatan dengan berbagai pasangan. Ini tidak lain merupakan bentuk kebebasan mereka dalam berhubungan seksual di luar nikah.

Selain itu, dikenal juga istilah baru atau sering disebut friend with benefit. Hubungan ini hanya sebatas pertemanan, namun sering melibatkan hubungan seks.

Kondisi ini memperlihatkan bagaimana mulai longgarnya pandangan generasi Z khususnya tentang masalah seksualitas. Alhasil, banyaknya perceraian yang tampak turut menyumbang perilaku seks bebas.

“Para korban perceraian mulai tidak mempercayai kesakralan lembaga perkawinan, seperti halnya kesucian seks itu sendiri. Mereka lupa akan bahaya yang menyertai perilaku seks bebas tersebut yang dapat menghancurkan kehidupannya,” katanya.

3. Belajar observasi dari pengalaman orang lain menjadi salah satu solusi

ilustrasi hypersex (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Melalui vicarious learning atau belajar observasi dari pengalaman orang lain menjadi salah satu solusi. Mulai dari bagaimana dampak buruk dari seks bebas tersebut, iklan-iklan layanan masyarakat atau psikoedukasi.

Irna berharap hal ini yang menjadi catatan untuk digalakkan kembali oleh lembaga keluarga berencana atau lembaga terkait lainnya.

“Remaja yang sudah terlanjur terlibat dalam kegiatan seks bebas sebaiknya mendapatkan psikoedukasi, agar mereka memahami dampak buruk dari perilakunya. Misalnya, mereka yang terlibat seks bebas lebih rentan mendapatkan penyakit menular seksual seperti HIV-AIDS,” ungkap Irna.

Baca Juga: Waktu Terbaik Berhubungan Seks Berdasarkan Kronotipe Tidur

Berita Terkini Lainnya