TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

30 Anak Dirawat karena Difteri di Medan Sejak 2017, Satu Meninggal

Imunisasi berperan penting untuk cegah difteri

Dokter spesialis anak juga konsultan infeksi tropis RSUP. HAM, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu memberi keterangan soal difteri (Dok.IDN Times/istimewa)

Medan, IDN Times - Sejak dari tahun 2017, sebanyak 30 orang anak telah menjalani perawatan karena penyakit difteri di RSUP H Adam Malik Medan. Namun, satu anak sudah menjadi korban penyakit bakteri tersebut karena menyerang dengan cepat.

Dalam kasus difteri, dokter spesialis anak juga konsultan infeksi tropis RSUP. HAM, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu MKed (Ped) SpA PhD (CTM) menjelaskan bahwa, penyakit difteri bisa ditangani dengan cara imunisasi.

"Saat ini baru satu yang meninggal dunia, itu pun karena terlambat. Kalau datangnya cepat, bisa ditata laksana dengan bagus, pasien bisa pulang (sembuh)," jelasnya.

Kasus difteri terjadi dalam satu keluarga terdiri dari YS (6), HS (5), MS (3) dan RS (2) di Simalungun yang kini dirawat intensif di RSUP HAM. Korban HS tidak diimunisasi. Dua adiknya, diimunisasi namun tidak lengkap.

1. Jika ada kasus difteri maka akan ada kasus lain

dokter spesialis anak juga konsultan infeksi tropis RSUP. HAM, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu (Dok.IDN Times/istimewa)

Dalam penjelasannya difteri adalah satu penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Harusnya penyakit ini sudah tidak ada lagi. Kalau penyakitnya muncul, berarti cakupan imunisasi tidak terlalu baik. Dirinya menjelaskan, ketika ada satu kasus difteri, maka akan ada kasus-kasus lain.

Penanganan difteri, menurutnya tidak bisa dalam satu atau dua tahun. Menurutnya negara Rusia menjadi contoh, membutuhkan waktu hingga 10 tahun. Sehingga di Indonesia, butuh waktu yang lebih panjang.

"Jadi kita akan tetap punya kasus kalau cakupan imunisasinya tidak ditingkatkan," katanya.

Baca Juga: Bocah 5 Tahun Meninggal Dunia karena Difteri di Simalungun

2. Imunisasi berkaitan erat dengan difteri, jika tidak risikonya besar

dokter spesialis anak juga konsultan infeksi tropis RSUP. HAM, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu (Dok.IDN Times/istimewa)

Para pasien difteri, sangat berkaitan dengan imunisasi. Pada pasien yang tidak imunisasi maka risikonya terserang besar. Begitu halnya dengan yang imunisasi tidak lengkap.

"Pasien-pasien difteri yang tidak mendapatkan imunisasi maka akan lebih jelek dan angka kematiannya besar, jadi itu yang kita dapatkan pasien di sini," katanya.

3. Tidak pernah kekurangan obat untuk difteri

Bupati Simalungun JR Saragih meninjau pasien difteri di Simalungun

Ayodhia juga mengatakan, pihaknya tidak pernah kekurangan obat karena selalu berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumut sehingga stok obat selalu tersedia. Pihaknya juga selalu ada evaluasi ketersediaan obat. Kalau kurang, pihaknya akan meminta tambahan dari Dinas Kesehatan.

"Obat untuk difteri ada dua, satu antibiotik, karena ini bakteri, maka harus masuk antibiotik agar bakterinya mati. Kedua, anti difteri serum, untuk membunuh racun yang dihasilkan oleh bakteri. Itu yang didapat dari Dinkes dan itu cukup untuk semua pasien (difteri) di sini," ujarnya.

4. Difteri ternyata disebabkan oleh bakteri bukan virus

Ilustrasi pemeriksaan tenggorokan. healthline.com

Ternyata difteri disebabkan oleh bakteri bukan virus, sehingga pilihan obatnya yaitu antibiotik. Bakteri ini menurutnya sangat mudah menular dan menimbulkan gejala dalam waktu cepat.

"Bakteri itu ada di udara. Maka orang yang bisa kebal dari difteri itu adalah yang sudah punya proteksi dengan imunisasi," katanya.

Baca Juga: Mahasiswa Meninggal, Dinkes: KLB Difteri di Fakultas Kedokteran USU 

Berita Terkini Lainnya