Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Kesalahan Fatal Membesarkan Anak Laki-Laki, Toxic Masculinity?

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Anete Lusina)
ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Anete Lusina)

Pernah dengar ucapan seperti "Cowok kok cengeng?" atau "Jangan kayak perempuan!" yang ditujukan ke anak laki-laki? Mungkin terdengar sepele, tapi ucapan ini bisa berdampak besar pada perkembangan mental dan emosional mereka.

Banyak orangtua masih menerapkan pola asuh tradisional yang, tanpa sadar, justru menanamkan konsep toxic masculinity, gambaran kejantanan yang kaku dan bisa merugikan.

Membesarkan anak laki-laki di era modern memang penuh tantangan. Kita ingin mereka tumbuh kuat dan mandiri, tapi juga gak mau kehilangan sisi emosional dan empatinya.

Sayangnya, banyak pola asuh yang malah membentuk anak laki-laki menjadi pribadi yang sulit mengekspresikan perasaan, takut terlihat lemah, atau merasa harus selalu mendominasi. Nah, berikut adalah lima kesalahan fatal yang sering terjadi dalam membesarkan anak laki-laki dan bisa mengarah pada toxic masculinity.

1. Melarang anak laki-laki mengekspresikan emosi, terutama kesedihan

ilustrasi anak (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi anak (pexels.com/cottonbro studio)

Kalimat seperti "Cowok gak boleh nangis!" sering banget dilontarkan ke anak laki-laki. Padahal, menekan emosi bukan solusi sehat, baik untuk anak maupun orang dewasa. Anak yang dilarang menunjukkan kesedihan atau ketakutan biasanya akan memendam emosinya, yang lama-lama bisa berubah jadi kemarahan, agresi, atau bahkan masalah mental di kemudian hari.

Alih-alih melarang, ajarkan anak untuk mengenali dan mengekspresikan emosi dengan sehat. Semua perasaan, seperti sedih, kecewa, takut, atau marah itu wajar dan manusiawi. Dengan memberikan ruang aman untuk mereka mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi, mereka akan tumbuh jadi pribadi yang lebih stabil secara emosional dan gak meledak-ledak dalam menghadapi masalah.

2. Mengajarkan bahwa agresivitas adalah tanda kejantanan

ilustrasi anak kecil (unsplash.com/Mick Haupt)
ilustrasi anak kecil (unsplash.com/Mick Haupt)

Kalimat seperti "Ayo lawan, jangan mau kalah!" sering dianggap cara mendidik anak laki-laki agar lebih kuat. Sayangnya, mengajarkan bahwa kekerasan adalah solusi malah membuat mereka tumbuh dengan pola pikir bahwa dominasi adalah segalanya. Anak yang terbiasa menghadapi konflik dengan agresi biasanya akan sulit mengelola emosinya di masa depan.

Daripada mendorong anak untuk membalas, ajarkan cara menyelesaikan konflik secara sehat. Berani itu bukan berarti harus bertarung, tapi juga mampu menghadapi situasi sulit dengan kepala dingin. Anak laki-laki yang bisa berkomunikasi dengan baik, bernegosiasi, dan mencari solusi tanpa kekerasan akan lebih siap menghadapi dunia nyata.

3. Menghambat minat yang dianggap "tidak maskulin"

ilustrasi anak (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)
ilustrasi anak (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

"Main masak-masakan? Itu kan buat cewek!" Pernah mendengar orangtua berkata seperti ini? Banyak anak laki-laki yang akhirnya menekan minatnya karena takut dianggap "kurang jantan". Padahal, membatasi anak hanya pada aktivitas yang dianggap "maskulin" bisa menghambat perkembangan bakat dan potensinya.

Faktanya, minat gak punya gender. Banyak kok laki-laki sukses di bidang memasak, menari, atau desain. Daripada membatasi anak, lebih baik dukung eksplorasi mereka. Semakin luas pengalaman yang mereka dapat, semakin besar kesempatan mereka menemukan passion sejati.

4. Menggunakan kalimat "seperti perempuan" sebagai hinaan

ilustrasi anak (pexels.com/Norma Mortenson)
ilustrasi anak (pexels.com/Norma Mortenson)

Ungkapan seperti "Jangan lemah kayak cewek!" atau "Kamu nangis kayak perempuan!" tanpa sadar mengajarkan anak bahwa perempuan itu lebih rendah. Ini bukan cuma membentuk pola pikir yang meremehkan perempuan, tapi juga membuat anak laki-laki kesulitan memahami dan menghargai hubungan dengan lawan jenis di masa depan.

Daripada menggunakan gender sebagai perbandingan, lebih baik fokus pada perilakunya. Misalnya, daripada bilang "Jangan cengeng kayak anak perempuan", coba ganti dengan "Ayo tarik napas, tenangin diri, dan kita cari solusi bareng". Dengan begitu, anak belajar menghadapi emosi tanpa harus merendahkan gender tertentu.

5. Membatasi keterlibatan anak laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga

ilustrasi anak (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi anak (pexels.com/August de Richelieu)

"Biar adik perempuanmu aja yang cuci piring, kamu main di luar!" Kebiasaan seperti ini bisa membuat anak laki-laki tumbuh dengan mindset bahwa pekerjaan rumah tangga bukan tanggung jawabnya. Akibatnya, mereka jadi kurang mandiri dan cenderung bergantung pada orang lain, biasanya perempuan, untuk mengurus kebutuhan dasarnya.

Mengajarkan anak laki-laki untuk berpartisipasi dalam pekerjaan rumah sejak dini itu penting. Masak, bersih-bersih, dan mencuci bukan cuma tugas perempuan, itu adalah keterampilan hidup yang semua orang butuhkan. Anak yang terbiasa mandiri akan lebih siap menjalani hidup tanpa harus bergantung pada orang lain, baik di masa muda maupun saat berumah tangga nanti.

Membesarkan anak laki-laki tanpa terjebak dalam toxic masculinity memang butuh usaha lebih. Kita harus lebih sadar dengan pola asuh yang kita terapkan, apakah membentuk mereka jadi pribadi yang sehat secara emosional atau malah membatasi mereka dengan stereotype gender yang kaku.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us