Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Sejarah Masjid Raya Al Mashun, Landmark Medan Legasi Sultan Deli

Jemaah memadati selasar Masjid Raya Al Mashun jelang pelaksanaan salat Hari Raya Idul Adha, Senin (17/6/2024). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Medan, IDN Times - Kota Medan punya beberapa wisata religi. Salah satunya Masjid Raya Al Mashun. Ini juga menjadi landmark atau ikon Kota Medan. 

Sejarah masjid ini tak bisa dilepaskan dari Kesultanan Deli. Masjid ini menjadi bukti penting eksistensi dari Kesultanan Deli.

Selain Istana Maimun yang megah pastinya. Masjid ini juga ramai tak hanya waktu salat saja. Apa lagi saat Ramadan, pengunjungnya pasti berlipat-lipat jumlahnya. 

Masjid Raya Al Mashun, memiliki daya tarik tersendiri. Berikut beberapa fakta soal Masjid Raya Al Mashun.

1. Masjid dibangun kurun waktu tiga tahun pada lebih dari satu abad lalu

Ilustrasi ibadah (IDN Times/Prayugo Utomo)

Era pembangunan Masjid Raya Al Mashun dimulai pada 1906. Perancangnya disebut berasal dari Belanda bernama Van Erp yang lalu diteruskan oleh J.A Tingdeman. Pembangunan memakan waktu tiga tahun dan rampung pada 1909.

Masjid dibangun dengan pengaruh gaya arsitektur khas India, Spanyol dan Timur Tengah. Masjid dirancang berbentuk segi delapan. Menjadi bukti sejarah Kesultanan Deli yang tersohor di masa kejayannya.

Masjid di bangun dimasa kepemimpinan Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam. Tepatnya pada 21 Agustus 1906 dan rampung pada 10 September 1909.

Konon katanya, pembangunan masjid memakan biaya satu juta gulden (mata uang Belanda dulu) . Memang sangat mewah. Karena sultan berprinsip rumah ibadah harus lebih mewah ketimbang istananya.

Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan. Namun konon Tjong A Fie, tokoh Tionghoa dari Kota Medan yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

2. Masjid dibangun dengan material impor

IDN Times/Prayugo Utomo

Dari berbagai sumber menyebutkan, sebagian bahan bangunan masjid diimpor dari luar negeri. Antara lain, marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Prancis.

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan Melayu dan Timur Tengah.

Alhasil bangunan menjadi begitu unik di bagian dalamnya. Tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Pantas saja Masjid Raya Al Mashun punya nilai eksotisme tersendiri.

3. Keindahan masjid bertambah dengan empat beranda di setiap penjuru

IDN Times/Prayugo Utomo

J.A Tingdeman tampaknya memang begitu jenius dalam merancang Masjid Raya Al Mashun. Masjid dibentuk persegi delapan. Di setiap penjurunya diberi beranda dengan atap kubah hitam. Melengkapi kubah utama yang berukuran paling besar.

Bangunan masjid terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Lalu Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar.

4. Masjid punya jendela kaca patri dari Art Nouveau

Ilustrasi masjid

Jendela-jendela yang menghiasi bangunan masjid adalah kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau periode 1890-1914. Art Noveau sendiri adalah aliran seni rupa yang populer di prancis pada abad ke 19.

Pada setiap dindingnya,masjid dihiasi denngan oranamen bergambar bunga dan tumbuhan lainnya.

5. Masjid sarat dengan bangunan kerajaan Islam abad pertengahan

Ilustrasi masjid. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bentuk Masjid Raya Al Mashun langsung mengingatkan pada desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda. Bentuk kubahnya mengingatkan pada Masjid Raya Banda Aceh.

Ada delapan pilar utama yang menyangga kokohnya masjid. Diameternya sekitar 0,60 meter.

Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab. Bagi orang Medan dan sekitarnya, selain Masjid Al-Mahsun, mesjid ini juga dikenal sebagai Masjid Deli.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Prayugo Utomo
Arifin Al Alamudi
3+
Prayugo Utomo
EditorPrayugo Utomo
Follow Us