Masjid Raya Basyarudin Saksi Perjuangan Sultan Serdang Hadapi Penjajah
Pernah jadi markas Kesultanan Serdang melawan Belanda
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Deli Serdang, IDN Times - Kesultanan Serdang telah berdiri sejak tahun 1723. Berdasarkan catatan sejarah, cikal-bakal berdirinya ialah ketika terjadi kemelut di tubuh kerajaan Deli.
Bisa dikatakan kesultanan Serdang merupakan pecahan dari kerajaan Deli yang begitu terkenal di Sumatra Timur. Wilayah kesultanan yang bercorak Melayu ini tersebar di sekitar Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, dan sebagian Deli Serdang.
Kala menyinggahi salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, yakni Pantai Labu, kita masih bisa melihat bekas peninggalan Kesultanan Serdang yang begitu ikonik. Seperti Balai Datuk Setia Maharaja Negeri Serdang yang dahulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan sang Sultan dengan para Wazir-wazirnya, sampai Masjid Basyarudin yang pernah menjadi markas perlawanan kesultanan Serdang dari serangan Belanda.
Peninggalan-peninggalan tersebut masih berdiri kokoh di Kecamatan Pantai Labu. Masjid Raya Sultan Basyarudin contohnya, selain dapat menjadi saksi sejarah, pengunjung juga dapat melakukan wisata religi di sana.
Baca Juga: Sejarah Masjid Badiuzzaman Sunggal, Dibangun dengan Ribuan Putih Telur
1. Cerita Masjid Raya Sultan Basyarudin yang simpan kisah perjuangan Kesultanan Serdang
Bermula pada tahun 1854, Tuanku Basyarudin Syaiful Alamsyah (Sultan Serdang IV) berpindah dari Istana Kampung Besar dan langsung mendirikan Istana Darul Arif di desa Rantau Panjang, Pantai Labu. Pada tahun yang sama, dirinya juga berhasil membangun masjid Raya Sultan Basyarudin yang sampai saat ini masih kokoh berdiri sebagai tempat beribadah masyarakat Kesultanan Serdang.
"Menurut sejarah yang pernah kami ketahui, Masjid Raya Sultan Basyarudin dulunya juga menjadi pusat pemerintahan yang ada di Kesultanan Serdang. Jadi masjid ini multifungsi. Selain sebagai tempat beribadah, juga digunakan Kesultanan Serdang sebagai tempat pertemuan antara pihak-pihak dari kesultanan dan masyarakat yang ada di sini," kata Syahnan selaku ketua BKM yang dipercaya Dewan Wazir Kesultanan Serdang dalam mengelola kegiatan Masjid Raya Sultan Basyarudin.
Syahnan juga menjelaskan, jika pada bulan Oktober tahun 1865 masjid ini pernah menjadi markas perlawanan dan pertahanan ketika Belanda menyerang Kesultanan Serdang.
"Dalam keadaan genting, yakni saat dijajah musuh, masjid raya ini dulunya dibuat Sultan menjadi semacam tempat bermusyawarah sekaligus markas pertahanan. Selain itu juga dibuat sebagai tempat merencanakan pertemuan dalam membahas kelanjutan kesultanan yang dipimpinnya," tutur Syahnan.
Pria berumur 63 tahun itu menceritakan jika Masjid Raya yang sangat kental dengan corak Melayunya ini, dahulu sering kebanjiran. Sehingga pernah ditinggalkan.
"Kondisi di sini dulu sering banjir, karena dibuat oleh penjajah sebuah parit yang menyebabkan banjir terus. Sultan juga tidak bisa bertahan di sini, jadi ditinggallah masjid Raya ini. Saat Indonesia berhasil merdeka dan Kesultanan Serdang menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, masjid raya ini mulai diambil alih oleh negara dan ditetapkan sebagai aset Kesultanan Serdang," kata Syahnan.
Baca Juga: Sejarah Masjid Raya Al Mashun, Ikon Medan Peninggalan Sultan Deli