Vonis Terbit Rencana dalam Kasus Satwa, Cermin Musam Keadilan Ekologi

Dihujani kritik dari para pegiat lingkungan

Medan, IDN Times – Vonis dua bulan penjara kasus pemeliharaan satwa dilindungi yang dilakukan mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin, dinilai terlalu ringan oleh sejumlah pihak. Termasuk soal denda Rp50 juta yang dikenakan kepadanya.

Hukuman itu dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Stabat yang diketuai oleh Ledis Meriana Bakara pada Senin (28/8/2023). Terbit hanya dinyatkana lalai karena memiliki satwa dilindungi. Sebagaimana dakwan alternatif kedua Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Vonis ringan untuk Terbit dihujani kritik dari para pegiat lingkungan hidup. Green Justice Indonesia (GJI) menyebut, vonis ringan itu tidak memiliki perspektif keadilan ekologi.

“Dalam bahasa Medan-nya, ini adalah hukuman ecek-ecek (red: pura-pura; tidak sungguh-sungguh). Dan tidak memberikan keadilan terhadap ekologi,” kata Direktur GJI Dana Prima Tarigan, Rabu (30/8/2023) malam.

1. Vonis ringan jadi preseden buruk untuk penegakan hukum kejahatan lingkungan

Vonis Terbit Rencana dalam Kasus Satwa, Cermin Musam Keadilan EkologiIlustrasi pengadilan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Dana menyayangkan putusan ringan itu. Apalagi dalam persidangan, hakim juga mengatakan jika pidana terhadap terdakwa Terbit, tidak perlu dijalankan. Kecuali kemudian hari ada perintah lain dan putusan hakim karena terdakwa melakukan kejahatan sebelum masa percobaan berakhir selama empat bulan.

“Vonis ini akan membuat orang tidak akan pernah takut lagi untuk memelihara dan memiliki satwa dilindungi. Menjadi yurisprudensi yang buruk dan tidak memberikan efek jera,” kata Dana.

Ringannya putusan yang diberikan kepada Terbit juga membuat Dana menduga ada kejanggalan. Dia menduga putusan itu sudah dikondisikan.

“Kita dulunya berharap, ini bisa menjadi pemicu untuk membongkar orang atau pejabat yang mungkin suka memelihara satwa dilindungi. Atau justru di dalam kasus ini ada yang dilindungi. Sehingga hukumannya ringan. Dugaan kita seperti itu,” katanya.

Baca Juga: Pelihara Satwa Langka, Terbit Rencana hanya Divonis 2 Bulan Penjara

2. GJI menantang Jaksa melakukan banding untuk memperberat hukuman

Vonis Terbit Rencana dalam Kasus Satwa, Cermin Musam Keadilan EkologiSalah satu karya bergambar orangutan yang mejeng di Peringatan Hari Orangutan Internasional 2023 yang digelar Centre For Orangutan Protection (COP) di Kota Medan, Sabtu (19/8/2023). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Vonis yang dijatuhkan jauh dari tuntutan JPU. Sebelumnya Terbit Rencana dituntut dengan hukuman 10 bulan penjara dan denda Rp50 juta. Dalam persidangan, JPU mengaku akan pikir-pikir soal vonis yang dijatuhkan.

Dana mendesak JPU untuk melakukan upaya banding. Sehingga ada peluang untuk memperberat hukuman. “Bukan hanya mendesak, kita juga menantang jaksa untuk melakukan upaya banding.  Kalau Jaksa tidak banding, Ini melegitimasi pendapat kita soal dugaan ada yang coba ditutupi, dilindungi dalam kasus ini,” katanya.

Bagi Dana, Terbit harus mendapatkan hukuman maksimal. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 diisyaratkan soal hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

“Perlu diingat, terdakwa ini merupakan pejabat publik yang harusnya memberikan contoh tentang konservasi. Bukan malah menjadi contoh buruk menjadi pemelihara satwa dilindungi,”  tukasnya.

3. Kerugian ekologi dari kasus Terbit bisa menjadi celah

Vonis Terbit Rencana dalam Kasus Satwa, Cermin Musam Keadilan EkologiProses evakuasi orangutan sumatra yang ditangkap warga karena masuk perladangan di Desa Kutapengkih, Kecamatan Mardingding, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Sabtu (21/1/2023). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Menjadi rahasia umum jika sejumlah pejabat atau orang penting di Indonesia diduga memiliki satwa dilindungi. Forum Konservasi Orangutan Sumatra (FOKUS) juga memberikan kritik terhadap kasus yang menjerat Terbit. Ketua Fokus Indra Kurnia mengatakan, kasus Terbit Rencana harusnya dijadikan pukulan telak bagi kasus serupa lainnya. Kasus ini juga harusnya menjadi pintu masuk untuk memroses jika ada oknum pejabat lainnya.

“Jika melihat status TRPA sebelumnya sebagai pejabat publik seharusnya menjadi pertimbangan JPU untuk mengajukan tuntutan maksimal,” kata Indra, dalam keterangannya, Kamis (31/8/2023).

Senada dengan GJI, Indra juga mendorong ada upaya banding dan penerapan Undang-undang lainnya. Dia menilai hukuman penjara dan denda yang dikenakan terhadap Terbit belum memberikan keadilan terhadap ekologi.

“Ini seharusnya menjadi momentum bagi para pihak untuk mendukung Kementerian LHK melakukan penegakan hukum termasuk menempuh jalur hukum lainnya melalui proses hukum perdata. TRP harus membayar ganti rugi untuk menanggung biaya rehabilitasi satwa liar dilindungi yang sudah dipelihara atau dimiliki secara ilegal sampai seluruh satwa liar yang menjadi barang bukti tersebut dapat dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya,” kata Indra.

Upaya ini, kata Indra harus dilakukan. Karena dalam kasus tindak pidana kehutanan, kerugian tidak hanya dihitung pada nilai nominal satwanya  saja. Lebih jauh lagi, harus melihat besarnya biaya yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi tumbuhan dan satwa liar tersebut sehingga tercapai keseimbangan ekosistem di habitat alaminya.

“Proses rehabilitasi satwa-satwa liar yang menjadi barang bukti dari kasus TRPA ini tentunya akan menjadi beban negara khususnya Kementerian LHK untuk memulihkan kondisi satwa-satwa liar tersebut sampai layak untuk dilepasliarkan kembali ke alam. Tentu seharusnya ini menjadi tanggung jawab terdakwa untuk menanggung beban tersebut. Sehingga proses hukum perdata dapat menjadi bagian yang saling melengkapi dari proses hukum pidana terhadap para pelaku tindak pidana kehutanan,” pungkasnya.

4. TRP berdalih satwa itu bukan miliknya

Vonis Terbit Rencana dalam Kasus Satwa, Cermin Musam Keadilan EkologiSatu individu Orangutan Sumatra yang diduga menjadi korban perdagangan ilegal dipulangkan dari Jawa ke Sumatra, Kamis (19/8/2021). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Kasi Intel Kejari Langkat, Sabri Fitriansyah Marbun sebelumnya mengakui, menuntut hukuman 10 bulan kurung penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan terhadap Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin, dikarenakan kasus kepemilikan satwa dlindungi. Dikatakan dia, adapun yang menjadi pertimbangan jaksa dalam tuntutan diantaranya, jika satwa yang diamankan dalam kondisi yang terawat.

"Ada hal yang meringankan terdakwa bahwa, satwa yang dipelihara dalam keadaan terawat," jelas Sabri.

Bahkan terdakwa Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin menegaskan jika kelima satwa dilindungi yang diamankan BKSDA bukanlah miliknya. Ini diungkapkan Terbit saat menjalani persidangan kepemilikan satwa dilindungi dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, pada Senin tanggal 10 Juli 2023 lalu. Di depan majelis hakim Terbit mengaku jika dia tidak mengetahui satwa itu milik siapa.

Kasus kepemilikan satwa ini terungkap saat KPK menggeledah rumah TRP dalam kasus dugaan korupsi, Selasa (25/1/2023) lalu. Saat itu IDN Times mencatat ada sejumlah satwa yang disita. Antara lain; satu individu Orangutan Sumatra (Pongo Abelii), satu ekor Monyet Sulawesi  (Cynopithecus niger), seekor Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), dua ekor Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan dua ekor Beo (Gracula religiosa) yang disita. Namun dalam putusan yang ditelusuri di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Stabat, barang bukti 2 ekor jalak bali tidak dituliskan.

Orangutan yang disita diketahui berjenis kelamin jantan. Usianya ditaksir sudah 15 tahun. Beratnya ditaksir sekitar 25 Kg. Terbit Rencana diduga sudah memelihara satwa itu selama dua tahun. Saat disita, Orangutan diketahui mengalami infeksi gusi dan dalam kondisi kurang sehat.

Kasus kepemilikan satwa dilindungi oleh pejabat bukan kali pertama terjadi. Pada awal Februari 2020, satu individu orangutan didapati berada di rumah Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan. Belakangan, orangutan itu pun dilepasliarkan oleh anak buah Nikson. Saat itu, tidak ada sanksi apapun dikenakan kepada Nikson.

5. Hilangnya satu orangutan berdampak sistemik pada ekologi

Vonis Terbit Rencana dalam Kasus Satwa, Cermin Musam Keadilan EkologiOrangutan Sumatra adalah satwa yang masuk dalam daftar terancam punah, karena deforestasi hingga perburuan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sebelumnya, kepada IDN Times, Founder Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo menjelaskan, kehilangan satu persen saja populasi orangutan, maka akan memberikan dampak besar pada ekosistem. Perkembangan jumlah populasi akan berkurang signifikan. Karena dalam siklus hidupnya, perkembangbiakan hidup orangutan begitu lamban.

“Orangutan betina berkembang biak semasa hidupnya paling banyak melahirkan tiga individu. Karena interval perkembangbiakan cukup lama. Sekitar delapan tahun sekali. Karena jika punya anak, dia akan mengurusi anaknya hingga 6-8 tahun,” kata Panut beberapa waktu lalu.

Kehilangan populasi juga akan berdampak serius pada perkembangan ekosistem. Orangutan sebagai satwa arboreal pemakan buah terkenal sebagai petani hutan. Karena orangutan memencar biji-biji buah yang dimakannya. Apalagi satu individu orangutan punya daya jelajah yang cukup luas. Orangutan betina, punya daya jelajah hingga 800 Ha. Sedangkan untuk jantan lebih luas mencapai 1.500 Km.

“Ketika orangutan sudah tidak ada lagi, maka proses regenerasi vegetasi menjadi terganggu.  Orangutan menjadi penyeimbang regenerasi hutan. Artinya, dia juga berperan dalam keseimbangan iklim. Karena menjaga hutan tetap bagus,” pungkas laki-laki yang kini menjabat sebagai Ketua Forum Kehutanan Daerah (DKD) Sumut itu.

Baca Juga: Masih Pakai Data 2016, Update Jumlah Orangutan Sumatra Dinanti

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya