Demo Omnibus Law Ricuh, Jurnalis di Medan Dipaksa Hapus Foto Kekerasan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times - Demonstrasi penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja berbuntut pada kericuhan, Kamis 8 Oktober 2020. Selain massa aksi, jurnalis juga menjadi korban arogansi aparat keamanan.
Oknum diduga aparat keamanan yang melakukan penangkapan massa melakukan intimidasi terhadap Raden Armand, jurnalis Indozone.id. Saat itu Arman tengah melakukan tugas peliputan ricuh di sana.
1. Raden Armand dipaksa menghapus foto penangkapan massa
Tindakan intimidasi itu berawal saat Raden tengah mendokumentasikan kericuhan. Saat itu, oknum aparat keamanan diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap massa saat melakukan penangkapan.
Armand pun langsung mengabadikan penangkapan itu. Namun beberapa saat kemudian, dia langsung ditarik oknum diduga aparat berpakaian sipil.
"Lalu oknum tersebut mengatakan 'Saya gak mau foto itu ada, saya mau foto itu dihapus'. Saya ditarik sampai dekat DPRD Medan. Dan sudah ada sekitaran 5 oknum yang mengelilingi dan memaksa meminta hapus dan berusaha menarik kamera saya," ujar Armand.
Karena terus diimtimidasi, Armand terpaksa menghapus foto yang ada di kameranya. Setelah foto-fotonya dihapus, oknum pelaku intimidasi itu pun pergi.
Baca Juga: Momen di Balik Demo, Youtuber Medan Bagi Bakso Kojek ke Massa
2. Oknum aparat kepolisian harusnya profesional
Tindakan intimidasi ini membuat Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan angkat bicara. Ketua PFI Medan Rahmad Suryadi mengatakan, kasus intimidasi ataupun kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat bukan kali ini saja terjadi. Sehingga menjadi preseden buruk di tengah aparat keamanan yang sedang membangun citra yang baik untuk masyarakat.
Rahmad pun menyesalkan kejadian itu. Apalagi Armand Raden adalah anggota PFI Medan. Harusnya, kata Rahmad, aparat bisa lebih profesional lagi saat bertugas di lapangan
"Seharusnya oknum aparat sudah memahami bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tidak ada pembenaran untuk mengintimidasi jurnalis yang bertugas. Mudah-mudahan kejadian serupa tidak terulang lagi," ungkapnya.
Intimidasi yang dilakukan oknum aparat itu bisa dikategorikan sebagai upaya penghalang-halangan tugas jurnalistik. Dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Pers menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
“Kami meminta kepolisian bisa menghormati kerja-kerja jurnalistik,” tukasnya.
3. Kabid Humas Polda: Ini akan menjadi evaluasi bagi kami
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Tatan Dirsan Atmaja menyampaikan permohonan maafnya kepada jurnalis yang mendapat intimidasi. Tatan juga menyesalkan tindakan oknum tersebut. Pihaknya akan melakukan evaluasi di jajaran.
“Saya akan mengingatkan anggota dilapangan untuk bisa menjalin komunikasi dengan kawan kawan insan pers. Yang pasti ini tidak ada unsur kesengajaan,” ujar Tatan, Minggu (11/10/2020).
Untuk diketahui, kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali marak selama unjuk rasa menolak Omnibus Law di sejumlah daerah.
Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hingga 10 Oktober 2020, ada 28 kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis saat melakukan peliputan unjuk rasa Omnibus Law. Kasus kekerasan yang paling disorot adalah pengerusakan alat, perampasan data hasil liputan dan penahanan.
Baca Juga: Viral Pelempar Batu dari Gedung DPRD Medan, Kapolda: Bukan Polisi