Dapur Arang Bakau Langkat Digerebek, Cukong Diburu

Dua gudang pengepul di Medan disegel

Medan, IDN Times -  Polda Sumatra Utara menggerebek dapur arang bakau yang berada di Desa Pangkalanbatu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Jumat (28/7/2023). Polisi menyegel kawasan yang dijadikan dapur arang sudah sejak lama itu. 

Ada dua orang yang ditangkap. Mereka yakni JL alias Udin (51) sebagai pemilik dapur arang dan SAF (59) selaku pembalak kayu mangrove. Beberapa orang lainnya diduga berhasil kabur.

Dalam penggerebekan itu Polda Sumut menyita sekitar 150 batang kayu bakau dengan ukuran ± 1,5 meter hingga 3 meter. Kayu-kayu itu diduga tidak memiliki dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK). Polisi juga menyita satu karung goni berisi arang kayu sekitar 15 kilogram.

“Bakau menjadi isu penting untuk diselamatkan. Kami terjun ke sini untuk melakukan penegakan hukum,” kata Kapolda Sumut Irjen Agung Setya Imam Effendi.   

1. Polisi juga menyegel gudang pengepul yang ada di Kota Medan

Dapur Arang Bakau Langkat Digerebek, Cukong DiburuKapolda Sumut Irjen Agung Setya Imam Effendi memimpin penggerebekan dapur arang bakau yang berada di Desa Pangkalanbatu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Jumat (28/7/2023). (Dok: Polda Sumut)

Agung mengatakan, selain trjun langsung ke hutan mangrove, pihaknya juga sudah menyegel dua tempat pengepul yang ada di Kota Medan. Namun mereka belum menangkap cukong yang menjadi pengepul.

“Kita akan melakukan proses penyidikan itu,” katanya. 

Baca Juga: Siaran Analog ke Digital Sempat Bikin Bingung Warga di Langkat

2. Telusuri jalur ekspor arang bakau

Dapur Arang Bakau Langkat Digerebek, Cukong Diburu[Ilustrasi Mangrove] ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Dapur arang yang ada di Kabupaten Langkat sudah lama beroperasi. Aparat penegak hukum juga sudah melakukan sejumlah operasi di sana. Namun aksi pembalakan masih terus terjadi.

Arang bakau yang diproduksi secara ilegal ini kemudian diekspor ke luar negeri. Kapolda Agung berkomitmen membongkar jalur ekspor yang ada. Dia juga berkoordinasi dengan Polda lintas provinsi. 

“Kita akan melanjutkan, untuk menemukan jalurnya. Penyimpangan ini tidak hanya ada di Medan. Mungkin ada di wilayah lain. Sudah kita lakukan mapping. Ada di Sumsel, Batam dan sekitarnya,” kata Agung. 

 

3. Dilema perajin arang bakau yang jadi bumper para cukong

Dapur Arang Bakau Langkat Digerebek, Cukong DiburuIDN Times/Asrhawi Muin

Pada Februari 2021, IDN Times sempat menyambangi lokasi yang digerebek Polda Sumut. IDN Times bertemu dengan Yudi (bukan nama sebenarnya) seorang perajin arang bakau. Yudi sudah lama bergantung hidup dari arang bakau. Kata Yudi, dapur arang di Pangkalanbatu sudah beroperasi sejak 1990-an.

Rani (istri Yudi), paham betul jika apa yang dilakukan suaminya melawan hukum. Namun mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup. Sehingga mereka tetap merambah hutan bakau dan membuat arang untuk dijual ke cukonhg. 

“Tapi memang cuma dari sini cari makan kami. Kalau memang kami mau ditutup ya gak apa-apa. Tapi sediakan lapangan pekerjaan. Harus ada solusi dari pemerintah,” ujar Rani.

Rani dan Yudi hanya memiliki satu dapur arang, kapasitasnya untuk membakar 5 ribu batang bakau. Namun dalam sebulan dia hanya bisa membakar 3 ribu batang. Hasilnya cuma satu ton. Arang bakau yang sudah jadi dikumpulkan ke pengepul. Mereka tidak tahu-menahu soal siapa sebenarnya cukong besar arang bakau itu. Karena selama ini mereka hanya berkomunikasi dengan pengepul.

Per kilogramnya, arang bakau dihargai Rp3 ribu. Untuk memproduksi satu ton arang, dari proses pengumpulan kayu hingga pembakaran, Yudi membutuhkan waktu sampai dua bulan. Artinya, dalam dua bulan dia hanya bisa mengumpulkan uang sebanyak Rp3 juta. Bukan nominal yang besar untuk menghidupi keluarga dibanding dengan risiko yang harus ditanggung. Bahkan mereka juga menuturkan, tidak jarang ada oknum aparat yang melakukan pungutan liar kepada para perajin supaya usahanya tetap aman.

Rani sempat tahu beberapa dapur arang sebenarnya dimodali oleh para tauke. Kemudian para perajin menyicil modal yang sudah diberikan untuk membuat dapur arang.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Utara mencatat, ada sekitar 104 dapur arang yang tersebar di kawasan Desa Pangkalan Batu. WALHI menduga kuat, para cukong atau pengusaha arang membuat skema yang tersistematis agar bisnis ilegalnya tidak terbongkar. Misalnya, di tingkatan para perajin arang, pengusaha menggelontorkan modal supaya masyarakat mau menjadi perajin arang. Ini merupakan ironi yang terjadi di tengah masyarakat.


“Kami melihat, perusahaan menjadikan masyarakat sebagai bumper untuk meraup laba. Masyarakat dihadapkan dengan risiko tersangkut kasus hukum. Sementara pengusahanya sampai sekarang tidak tersentuh,” ujar Direktur WALHI Sumut saat itu Doni Latuperissa, Selasa, 9 Februari 2021.

WALHI menduga kuat jika para pengusaha banyak yang berlindung dalam skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Para pengusaha membuat koperasi-koperasi yang kemudian mengurus perizinan pengelolaan hutan. Kerusakan tanaman bakau akibat perambahan ini pun pencapai ratusan hektare.

Semua fenomena seperti pembalakan liar, konversi lahan, konflik horizontal dan rantai gelap bisnis arang bakau, menurut Doni, terjadi akibat ketidakhadiran pemerintah di tengah polemik yang ada. Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan yang lebih intensif di kawasan hutan. Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem mangrove juga masih menjadi pekerjaan pemerintah

“Kami menganggap pemerintah masih abai. Seharusnya ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat, ataupun hadir bersama masyarakat. Bukan malah hadir untuk mendampingi pihak-pihak yang berkepentingan untuk segelintir saja seperti dugaan kita,” ujar lulusan Program Studi Antropologi FISIP USU itu.

Catatan WALHI Sumut, dalam 20 tahun terakhir, kawasan hutan bakau di Pantai Timur Sumatra Utara mengalami degradasi secara signifikan.

Citra satelit pada 1999 menunjukkan, tutupan hutan di Pantai Timur masih menyentuh angka 60.064 hektare.  Namun pada 2018 luasannya berkurang menjadi 47.499 hektare meliputi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi (KH SUMUT, SK 8088 Tahun 2018). Artinya terdapat penurunan luas kawasan yang mencapai 12.565 ha.

Dari data itu, perkebunan sawit menjadi penyebab kerusakan paling utama sebesar 40 persen. Kemudian tambak 35 persen, pertanian 25 persen dan lainnya 5 persen. Pantai Timur Sumatra bagian Utara menjadi penyumbang angka yang cukup signifikan untuk kerusakan hutan bakau.


Pakar Kehutanan Universitas Sumatra Utara (USU), Onrizal dalam penelitiannya mencatat, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, pesisir Timur Sumatra Utara sampai sebagian Aceh sudah kehilangan 60 persen luasan mangrove. Sementara, jika melihat data global, hutan mangrove hilang sebesar 30 persen dalam tiga dekade terakhir. Onrizal kembali menegaskan, peralihan lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit menjadi faktor terbesar. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah dalam menekan laju kerusakan mangrove.

"Jadi ini sumbangan kita terhadap nasional dan juga global paling besar kalau kita lihat dari proporsinya,” ungkap Onrizal.

Baca Juga: 28 Kasus Pencurian Prasarana Jalur Kereta di Sumut 6 Bulan Terakhir

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya