TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Upacara Adat Batak yang Harus Diketahui Milennials

Ada tradisi tarian pencari jodoh juga guys

Ilustrasi etnis Batak. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sumatra Utara menjadi provinsi yang dihuni berbagai etnis. Batak menjadi salah satu etnis mayoritas di Provinsi Sumatra Utara. Sampai terkadang, jika pergi tanah Jawa, banyak yang mengira orang yang datang dari Sumut adalah Batak.

Peradaban Batak, telah banyak mewariskan berbagai tradisi. Tentunya, seluruh tradisi itu berkait paut dengan kehidupan.

Pelestarian tradisi ini pun terus dilakukan di tenga era modern. Media banyak, mulai dari pertunjukan seni hingga pariwisata. Peradaban Batak yang berpusat di Danau Toba, sebenarnya menjadi potensi yang sangat bagus. Tidak sedikit orang yang masih menjalankan tradisi – tradisi tersebut. Meskipun memang, jumlahnya kian berkurang karena termakan modernisasi.

IDN Times mencoba merangkum tujuh tradisi Batak yang masih akrab didengar. Beberapa di antaranya juga  masih di tampilkan dalam pertunjukan seni. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi para millennials. Yuk simak:

Baca Juga: Banyak yang Belum Tahu, Ada 12 Zodiak Versi Suku Batak Lho!

1. Gondang Naposo, tarian muda-mudi Batak untuk mencari jodoh

Gondang Naposo. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Gondang  Naposo adalah tradisi mencari jodoh dalam adat Batak. Pesertanya adalah para muda-mudi.

Dulunya, jika di dalam kampung tertentu ada yang lama mendapatkan jodoh, disepakatilah untuk menggelar Gondang Naposo. Nantinya, para muda-mudi kampung lain datang  untuk melihat calon kekasihnya.

Sebelum pandemik COVID-19, Gondang Naposo merupakan festival rutin digelar di Samosir. Menjadi salah satu acara unggulan dalam Festival Horas Samosir Fiesta. Para muda-mudi beradu koreografi untuk menjadi pemenang.

Festival Gondang Naposo biasanya digelar saat bulan purnama setelah upacara Mangsae Taon yang biasanya dilaksanakan setelah panen raya. Mangsae Taon merupakan sebuah hari raya bagi masyarakat Batak tempo dulu. Di beberapa daerah, ada yang menyebutnya Pesta Bius, Pasahat Horbo Bius, Patasumangot, atau yang lainnya.

2. Mangulosi, menyematkan kain dengan makna-makna khusus

Google

Jika datang ke acara adat Batak, ulos sudah pasti menjadi benda yang terus menerus dilihat. Semua orang yang dianggap sudah memenuhi syarat pasti memakainya.

Dalam tradisi Batak atau pun beberapa etnis lainnya seperti Simalungun, Karo dan Dairi, mangulosi menjadi salah satu tradisi yang masih dipertahankan hingga sekarang. Prosesnya adalah dengan mengalungkan kain Ulos ke pundak orang lain. Dar berbagai sumber menyebut, mangulosi dinilai akan memberikan perlindungan dari segala gangguan. Tradisi mangulosi dilakukan orang yang dituakan kepada kerabat yang memiliki partuturan, kedudukan yang lebih rendah seecara adat, seperti orang tua pada anak. Dalam upacara pernikahan Batak, ada tradisi mangulosi dari tulang (Paman) kepada kedua pengantin, hal yang menunjukkan kekhasan relasi dalam keluarga Batak.

Ragam ulos pun begitu banyak. Tergantung siapa yang memakai dan untuk apa peruntukan ulos. Masing-masing ulos pun punya motif yang berbeda.

Misalnya, Ulos bolean sunting dipakai sebagai selendang pada acara kematian. Ulos ragi hotang biasa menjadi kado pengantin, dan ulos ragi huting yang digunakan gadis Batak dengan cara dililitkan di dada, atau dikalungkan di leher oleh para orang tua yang sedang dalam perjalanan.

Di era modern, ulos terus bertransformasi. Banyak perajin yang menjadikan ulos sebagai bahan untuk pakaian.

3. Mangokkal Holi, cara orang Batak menghormati leluhur

IDN Times/Arifin Al Alamudi

Mangokkal Holi, tradisi Batak yang kian sulit ditemui. Mangokkal Holi adalah ritual menggali makam leluhur dan memindahkan tulang belulangnya ke tempat yang baru. Ini dilakukan etnis Batak sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.

Dalam menggelar Mangokkal Holi, dibutuhkan biaya yang besar. Upacara Mangokkal Holi juga membutuhkan hewan yang akan dikurbankan.

Etnis Batak masih memercayai jika arwah orang yang sudah meninggal akan hidup abadi. Sehingga, untuk menghormatinya, keluarga menaruh tulang-belulangnya ke tempat yang lebih layak (tinggi) yang berarti mendekatkan arwah itu kepada Penciptanya.

Mangongkal Holi juga bagian dari upaya menjaga silsilah keluarga. Tradisi ini juga dianggap sebagai  simbol dari tingginya martabat dari sebuah keluarga di Batak. Mangokal Holi dipercaya akan mengangkat martabat sebuah marga dengan menghormati orang tua dan para leluhur. Semakin indah dan mahal sebuah makam atau tugu, maka semakin jelas dan bergengsi status marga pemilik tugu tersebut.

4. Marari Sabtu, ibadah para Ugamo Malim

Ilustrasi Marari Sabtu. (Sumber: nababan.wordpress.com)

Ugamo Malim menjadi salah satu kepercayaan leluhur yang hingga kini dianut oleh sebagian etnis Batak. Orang yang menganut Ugamo Malim disebut Parmalim. Pusat Ugamo Malim berada di Huta Tinggi, tepatnya di Desa Pardomuan Nauli, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba.

Marari Sabtu menjadi salah satu ritual ibadah Ugamo Malim. Ibadah di gelar di Bale Pasogit pada hari Sabtu. Ibadah selalu digelar secara khusyuk.

Dilansir dari laketoba.travel, Ugamo Malim berisi ajaran-ajaran kebaikan dan sangat mencintai perdamaian. Ini terlihat dari doa dan perilaku para pengikutnya.

5. Sipaha Sada dan Sipaha Lima

Ilustrasi Sipaha Sada. (Dok: arsipbudayanusantara.blogspot.com)

Aktivitas spiritual para pemeluk Ugamo Malim memang menarik untuk dipelajari. Nilai-nilai yang diajarkan selalu berkaitan dengan kehidupan.

Dalam hal penanggalan, Parmalim punya metode sendiri. Bahkan punya hari besar yang salah satunya adalah Sipaha Sada.

Sipaha Sada secara umum sering disebut sebagai hari pertama tahun yang baru. Namun tidak sekadar perayaan buka tahun, Sipaha Sada juga dirayakan sebagai hari kelahiran tokoh suci dalam ajaran agama Malim.Menandai datangnya Sipaha Sada, sehari sebelumnya, warga Parmalim menggelar ibadah puasa penuh selama 1 hari 1 malam. Tidak boleh makan dan minum. Ibadah puasa itu ditandai dengan ritus mangan napaet yaitu makan makanan yang pahit. Ritus itu dilakukan di awal dan akhir ibadah puasa.

Selain Sipaha Sada, ada juga Sipaha Lima. Tradisi ini biasa digelar di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Balige. Sipaha Lima rutin dijalankan setiap tahun.

Dalam ritual Sipaha Lima, masyarakat Parmalim menggelandang seekor kerbau ke altar sebagai kurban persembahan. Kerbau itu dinamai Horbositikko tanduk siopat pisoran. Kegiatan ritual itu diikuti orang tua, remaja, bahkan anak-anak. Ritual diiringi musik Ogung Sabangunan (alat musik tradisional Batak Toba seperti Tagading, Sarune, Ogung, Doal, Pangkeseki) dan umat Parmalim manortor (menari) sahadaton mengiringi penyerahan sesembahan kepada Tuhan.

6. Sigale-gale, patung kayu menari dengan latar cerita sarat makna

Sigale-gale. (Dok: Laketoba.travel)

Ingat Danau Toba, sudah pasti langsung teringat Sigale-gale. Patung kayu yang menari diiringi musik Batak. Konon, Sigale-gale dulunya bisa menari sendiri. Namun saat ini, gerakan Sigale-gale sudah digerakkan oleh manusia.

Pertunukan Sigale-gale masih eksis hingga kini. Namun, di balik ketenaran Sigale-gale Tomok, ternyata ada tokoh-tokoh sejarah yang terlupakan. Mereka termasuk orang-orang pertama yang memulai adanya atraksi Sigale-gale di Pulau Samosir.

Adalah Almarhun Jatiman Sijabat. Orang yang mempopulerkan Sigale-gale. Mereka berdomisili di Samosir. Anak-anak Jatiman pun masih hidup di sana sampai saat ini.

Dilansir dari laman laketoba.travel, Selain memang tokoh atau penetua di Tomok, Samosir, Jatiman adalah anggota kelompok pemusik Sigale-gale pertama kali. Dari memulai pembukaan wisata Sigale-gale hingga akhir hayatnya dia mendedikasikan diri bermain musik. Pertunjukan seni Sigale-gale awalnya diperkenalkan pada wisatawan pada tahun 1960. Ketika itu, ada warga setempat bernama Mangoloi Sidabukke beristrikan boru Gultom membawa wisatawan asing atau bule untuk pertama kali ke Tomok Pulau Samosir.

Setelah itu para Raja Bius atau tetua dan tokoh-tokoh masyarakat di Tomok berkumpul. Termasuk tokoh-tokoh yang ahli di bidang seni musik, seperti Jatiman Sijabat dan para panortor atau penari tradisional Batak juga dikumpulkan. Kesepakatan untuk memperbaiki perekonomian dari sektor pariwisata untuk masyarakat Tomok tercipta. Diambillah satu silsilah cerita tentang Sigale-gale untuk dipertunjukkan.

Cerita Sigale-gale yang berkembang di Tomok yang diketahui adalah kisah seorang anak yang dihukum. Tersebutlah seorang anak ditugasi orangtuanya menjaga ternak kerbau, namun perintah tak diindahkan. Dia kemudian dihukum. Hingga, karena tuah ayahnya, jadilah dia seperti batang kayu yang lemah atau berarti gale. Maknanya adalah, soal bagaimana peran anak yang seharusnya menuruti orang tua. Demikian juga orangtua, agar tidak terlalu kasar dalam menasihati anak-anaknya.

Untuk mengobati kesedihan, sang Ayah pun mengambil dan membawa kayu tersebut ke kampungnya. Lalu, kayu yang tadinya terjadi dari Sigale-gale tadi diukir dan dibawa pulang. Saban hari, kedua orangtua Si Manggale dirundung kesedihan dan penyesalan yang dalam. Hidupnya pun dilanda kesulitan karena mengutuk anaknya jadi kayu. Setelah itu, Ayah Simanggale yang terus menerus menyesali kutukannya kepada anaknya membuat sebuah pagelaran musik uning-uningan untuk menghibur roh anaknya. Termasuk kekhawatiran dia sebagai orang Batak, kalau usia sudah tua dan meninggal layaknya harus ada yang meratapi yaitu anaknya sendiri.

Lantaran Simanggale tak lagi ada dan telah dikutuk, kedua orangtua pun mati dan cerita berujung kesedihan tanpa ada ratapan dari anak sendiri. Sejak itulah, cerita Sigale-gale atau Simanggale dikenal di kalangan Masyarakat Batak.

Saat ini, Atraksi Sigale-gale tak lagi hanya ada di Tomok. Pihak Museum Huta Bolon Simanindo dan juga wisata batu kursi persidangan di Perkampungan Raja Siallagan telah ikut mempertontonkan Sigale-gale.

Baca Juga: 15 Referensi Busana Adat Batak untuk Dikenakan pada Hari Pernikahan

Berita Terkini Lainnya