Pembangunan Kota Medan Dinilai Tak Punya Grand Planning yang Jelas
Pembangunan Kota Medan Tak Punya Grand Planning yang Jelas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times - Sebagai salah satu kota metropolitan, arus investasi dan pembangunan di Kota Medan mengalir deras. Ekonomi pun terus tumbuh. Namun, kondisi itu justru di sisi lain mendatangkan masalah. Kaum marginal semakin terpinggir, serta lingkungan semakin rusak.
Pemerhati Ekonomi Politik, O.K Ikhsan mengatakan, investasi dan pembangunan yang massif di Kota Medan, sejauh ini masih lebih mementingkan pemodal, ketimbang aspek hukum, ekologi serta lingkungan, dan yang paling utama adalah masyarakat di dalamnya. "Ini semua terjadi karena pemimpin Kota Medan yang sebelumnya, tidak memiliki grand planning dan visi pembangunan Kota Medan yang jelas," kata Ikhsan, Kamis (22/10/2020).
Dia menilai, kepemimpinan di Kota Medan pasca orde baru sampai saat ini nyaris tak ada perubahan. Para pemimpin di kota ini masih dibayangi oleh kepentingan golongan dan menggunakan cara-cara lama dalam membangun kota. Tak heran jika model-model tersebut justru bermuara pada sikap koruptif para pemimpin dan pejabat di Pemko Medan yang tersandung kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang seperti halnya kasus alih fungsi lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan lainnya.
Baca Juga: Sah! KPU Tetapkan DPT Pilkada Medan 1.601.001 Jiwa
1. Pemimpin Kota Medan tak bisa berkonsentrasi dengan baik dalam konteks pembangunan
Ikhsan menambahkan, bahwa pemimpin Kota Medan tak bisa berkonsentrasi dengan baik dalam konteks pembangunan, termasuk permasalahan birokrasi dan administrasi yang tidak efektif.
"Sama aja dengan model pembangunan Orde Baru. Pemko Medan terlihat lebih mementingkan kepentingan pemodal untuk membangun, karena mereka sudah terbiasa dengan pola dan gaya kepemimpinan sebelumnya. Terus terbawa sampai sekarang," ungkapnya.
Dia mencontohkan, proses pembangunan megaproyek milik Podomoro. Sebelumnya, proyek itu mendapat penolakan keras dari warga dan pemerhati lingkungan karena diyakini dapat merusak lingkungan, dan dibangun di tepi sungai. Izin proyek itu juga dipertanyakan.
Pemerhati lingkungan bahkan mencurigai, ada kongkalikong dalam pengurusan AMDAL proyek itu. Tapi proyek terus jalan dan sebagian telah beroperasi. Pemerintah Kota Medan terlihat lebih suka investasi masuk dengan cepat, tanpa memikirkan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat.
Aspek hukum seperti 'dikangkangi' demi alasan-alasan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan kota Medan terlihat semakin kapitalistik. Akibat dari semua itu, kaum marginal jadi terpinggirkan dan ketimpangan sosial semakin lebar. Investor justru makin berkuasa mengontrol pemerintah. Atas dasar pembangunan, pemodal bisa mengeksploitasi lingkungan. Padahal, pembangunan itu harus atas dasar keadilan dan transparan. Akhirnya timbul masalah atau malapetaka klasik lain.
"Banjir adalah salah satu malapetaka yang terjadi di depan mata kita saat ini, karena kegagalan pemerintah dalam mengorganisir dan menentukan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan," papar Akademisi Universiti Utara Malaysia ini.
Baca Juga: Catat! Ini Tanggal Debat Calon Wali Kota-Wakil Wali Kota Medan