Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Unik Pajus, Pasar Mahasiswa USU yang Penuh Dinamika

Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Intinya sih...
  • "Pasar" Pajak, Fenomena Bahasa Medan yang Unik
    • Pajus adalah contoh bagaimana bahasa lokal membentuk identitas ruang dan pentingnya pasar dalam keseharian warga.
    • Pajus awalnya berasal dari pedagang kaki lima di sekitar pintu sumber USU.
    • Pajus sebagai 'Economic Safety Valve' Mahasiswa
      • Pajus hadir sebagai tempat makan murah, perlengkapan kuliah hemat, fesyen low budget bagi mahasiswa.
      • Kemampuan Pajus membaca ritme finansial mahasiswa membuatnya tetap bertahan meski modernisasi mencoba masuk.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pajak USU atau Pajus selalu jadi semacam “paru-paru ekonomi” bagi mahasiswa USU dan warga Padang Bulan. Di Medan, istilah “pajak” memang bukan soal fiskal atau terkait dengan nama Purbaya, tapi soal pasar. Selain jadi tempat belanja murah, pajak ini merupakan arena pertemuan berbagai kepentingan sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik ruang kota.

Dalam lanskap urban Medan, Pajus beroperasi sebagai ekosistem yang menahan tekanan finansial terhadap mahasiswa. Harga hidup yang terus naik, UKT merangkak, dan biaya kos makin menggigit, memposisikan Pajus tetap bertahan sebagai tempat mahasiswa mencari napas melanjut asa. Ia tumbuh, berubah, kadang berkonflik, tapi selalu kembali berdiri.

Fakta-fakta berikut menunjukkan bahwa Pajus bukan hanya pasar yang seperti selama ini kita kenal. Di dalam kawasan ekonomi ini, ada semacam laboratorium hidup tentang bagaimana kota, mahasiswa, pedagang kecil, dan kekuatan informal saling membentuk satu sama lain. Oleh karena unik dan tingginya dinamika kawasan ekonomi ini, IDN Times akan merangkum 5 fakta unik terkait Pajak USU Medan, selama ia berdiri. Yuk Simak!

1. “Pasar” yang Bernama Pajak, Fenomena Bahasa yang Cuma Ada di Medan

Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)

Dalam semesta kosakata Medan, “pajak” itu artinya pasar. Pajus adalah contoh paling kasat mata bagaimana bahasa lokal membentuk identitas ruang. Ketika orang bilang “ke Pajak USU yok,” jangan bayangkan orang lagi bayar PBB, yang ada justru mereka lagi berburu jeans tiga potong seratus ribu.

Fenomena linguistik ini tentu menegaskan bagaimana pasar dalam arti Medan memiliki kedudukan sosial yang penting. Bahasa menangkap kenyataan bahwa pasar adalah denyut ekonomi warga, sehingga istilahnya pun melekat kuat dalam keseharian.

Pajak USU awalnya berasal dari pedagang kaki lima di sekitar pintu sumber USU. Kemudian di tahun 2000 mulai dpenuhi pedagang alat tulis hingga majalah bekas. Pada tahun 2001 dibuatkan lapak pedagang.

2. Pajus sebagai ‘Economic Safety Valve’ Mahasiswa

Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)

Mahasiswa USU datang dari berbagai kota, berbagai kelas ekonomi, dan berbagai tingkat daya beli. Ketika UKT menembus belasan juta per semester, kebutuhan sehari-hari jelas harus dicari yang paling masuk akal. Pajus hadir sebagai katup pengaman ekonomi, tempat makan murah, perlengkapan kuliah hemat, fesyen low budget, semuanya ada.

Itulah keunggulan yang ada di pajus semenjak ia didirikan. Kekuatan Pajus ada pada kemampuannya membaca ritme finansial mahasiswa. Di saat harga-harga lain meroket, ruang informal seperti Pajus lah yang menyerap tekanan itu. Inilah sebabnya Pajus terus hidup meski modernisasi dan brand modern baru mencoba masuk ke wilayah giat ekonomi yang sama.

3. Pajus Dibentuk oleh Dominasi Populasi Mahasiswa

Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)

Kehadiran ribuan mahasiswa setiap tahun mengubah wajah Padang Bulan. Fenomena ini biasa disebut studentification, ketika sebuah kawasan ditata paksa oleh kebutuhan, ritme, dan gaya hidup aktivitas mahasiswa ditempat itu. Pajus adalah contohnya. Jam bukanya mengikuti jadwal kuliah, jenis dagangannya mengikuti selera era mahasiswa saat itu (sekarang generasi Z), dan harga-harganya mengikuti kemampuan dompet anak kos.

Akibat studentification, Pajus menjadi titik sosial. Tempat mahasiswa nongkrong sebelum kelas, beli sarapan mendadak, mencari teknologi penunjang presentasi makalah, janjian grup tugas, bahkan untuk sekadar curhat patah hati sambil minum jus, semuanya terjadi di sini, kehidupan sosial dari civitas yang tak tertulis.

4. Sempat kebakaran hingga konflik lahan

Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)

Di balik keriuhan jual-beli, Pajus menyimpan riwayat konflik panjang. Sengketa lahan antara pedagang, pihak kampus, pemerintah kota, dan kelompok informal sudah jadi babak yang berulang selama bertahun-tahun. Kebakaran pasar, penggusuran, mediasi buntu, hingga intervensi premanisme, semuanya pernah mampir.

Pajak USU terbakar tahun 2010. Setelah itu pasar dipindahkan ke Dr Mansyur dan Jalan Jamin Ginting. Konflik ini menunjukkan bagaimana ruang kota sering kali menjadi arena tarik-menarik kepentingan berbagai pihak. Pajus bertahan bukan karena sistemnya rapi, tetapi karena daya hidup pedagang dan kebutuhan mahasiswa terlalu besar untuk bisa digeser begitu saja.

5. Pusat Perdagangan Semi-Formal yang Menjadi ‘Shadow Economy’ Kota Medan

Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)
Pajak USU atau Pajus (Mangara Wahyudi)

Pajus beroperasi di zona abu-abu dan tidak sepenuhnya formal, tetapi terlalu besar untuk diabaikan. Di sinilah ia menjadi ekonomi bayangan yang menggerakkan miliaran rupiah per bulan tanpa struktur birokrasi yang kaku layaknya pasar-pasar yang dikelola pemerintah. Fleksibilitas ini membuatnya responsif, cepat dan adaptif, sifat kawasan ekonomi yang sulit dimiliki pasar formal.

Namun, status semi-formal ini juga membawa konsekuensi yang rumit. Mulai dari rawan pungutan liar, pengelolaan ruang yang tidak stabil, dan hubungan tegang dengan otoritas kota. Meski begitu, roda ekonomi terus berputar karena Pajus mengisi celah yang tidak disentuh oleh pusat perbelanjaan modern.

Pajus adalah cermin hidup tentang bagaimana Medan tumbuh, keras, cepat, penuh negosiasi, tapi selalu menemukan cara untuk bertahan. Mahasiswa datang dan pergi, pedagang berganti, kebijakan berubah, namun pola dasarnya tetap sama, pajus berdiri di persimpangan kebutuhan dan kenyataan.

Dalam studi urban, lokasi seperti Pajus disebut “ruang transaksional” bukan hanya tempat bertemu penjual dan pembeli, tetapi juga tempat bertemunya kepentingan, identitas, dan memori kolektif. Karena itu, menceritakan Pajus sama saja mempelajari denyut kota itu sendiri. Dan selama mahasiswa USU masih mencari makan hemat dan kehidupan kota masih berjalan zig-zag seperti biasa, Pajus akan selalu punya tempat di peta ekonomi kota Medan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

5 Prompt Gemini AI di Galaxy S25 FE Bikin Foto Kamu Auto Level Up dalam Sekejap

08 Des 2025, 16:15 WIBNews