Dosen USU Soroti Praktik Parenting yang Masih Tak Ramah Gender

Beri pendampingan agar dapat mewujudkan pola asuh yang adil

Medan, IDN Times- Isu ketidakadilan gender dan tumpang tindihnya peran dalam rumah tangga kerap menjadi permasalahan pokok dalam parenting. Padahal, jika dirunut tentang peran dalam keberlangsungan rumah tangga, baik ayah dan ibu sama-sama memiliki peranan yang esensial demi menciptakan keharmonisan dan langgengnya nilai kekeluargaan.

Sebab, hal tersebut menjadi salah satu faktor terpenting dalam memberikan kontribusi pada tumbuh kembang anak agar sehat secara jasmani atau rohani.

Pendapat tersebut disampaikan oleh Dosen USU dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Harmona Daulay  saat membahas permasalahan parenting di Indonesia. Kegiatan yang mewadahi masyarakat agar peka terhadap keadilan gender dalam mengasuh anak itu diselenggarakan di Komunitas Rumah Literasi Ranggi, Komplek PWI (17/09/2023).

1. Jangan biarkan gadget sebagai teman bermain anak

Dosen USU Soroti Praktik Parenting yang Masih Tak Ramah GenderBeri pendampingan orang tua di Komunitas Rumah Literasi Ranggi (dok.Istimewa)

Kegiatan ini mengusung tujuan mewujudkan sensitivitas gender dan keadilan dalam keluarga. Menurut Hamona, permasalahan parenting di Indonesia masih berkutat pada 4 permasalahan besar, yaitu kekerasan terhadap anak, perceraian, fatherless, dan ketidakadilan gender. Ia menyoroti kasus kekerasan yang terjadi pada anak, baik itu kekerasan fisik maupun non fisik seperti kekerasan ekonomi bahkan kekerasan religi.

"Apapun itu pemicunya tidak ada alasan untuk memukul anak. Tindakan memukul dalam keluarga sangat tidak dibenarkan," ucapnya di hadapan ratusan peserta yang hadir.

Hamona juga menyinggung masalah hubungan gadget dan anak yang kini menjadi salah satu masalah besar dalam rumah tangga. Menurutnya, anak yang masih berusia 2 hingga 3 tahun sangat tidak dibenarkan untuk aktif bermain dengan gadget.

"Orang tua juga harus hadir untuk mengetahui dan mengawasi apa yang ditontonnya dalam perangkat elektronik smart phone oleh anak-anak. Memberikan gadget kepada anak itu harus punya batasan waktu. Bisa juga memberinya itu seperti sebentuk reward, jangan jadikan gadget untuk anak itu sebagai teman bermain. Jika pun telah terlanjur maka tidak boleh lebih dari satu jam," paparnya.

Baca Juga: Dosen Unimed Bantu Gagas Eco Wisata Susur Sungai Babura

2. Nilai patriarki yang masih langgeng dianggap jadi pemicu ketidakadilan gender dalam rumah tangga

Dosen USU Soroti Praktik Parenting yang Masih Tak Ramah GenderDosen USU Beri pendampingan parenting di Komunitas Rumah Literasi Ranggi (dok.Istimewa)

Budaya patriarki masih menjadi momok yang kerap mengusik rumah tangga. Dari dinormalisasinya budaya patriarki, dapat melahirkan sebuah ketidakadilan berbasis gender yang membuat konsep urusan domestik harus dikerjakan perempuan dan peran publik harus pula dijalankan oleh laki-laki. Hal ini yang Hamona klaim sebagai cikal-bakal ketidakadilan gender terjadi di rumah tangga.

“Sejak kecil anak perempuan sudah dibiasakan untuk bertanggung jawab mengurus hal yang menyangkut rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci, dan memasak. Sedang anak laki-laki hanya diminta melakukan hal hal tertentu atau cendrung diberikan kebebasan. Kita bisa melihat dalam buku bacaan, ‘Ibu sedang memasak di dapur’, ‘Wati membantu ibu’, ‘Budi bermain bola’, Itu adalah cermin ketidakadilan gender yang sudah membudaya di tengah masyarakat," tambah Harmona.

3. Dorong orang tua agar lebih mengerti hukum dan kewajiban

Dosen USU Soroti Praktik Parenting yang Masih Tak Ramah GenderDosen USU beri pendampingan parenting (dok.Istimewa)

Dosen Fakultas Hukum USU, Dr. Detania Sukarja turut memberikan pendampingan kepada orang tua yang hadir tentang bagaimana menjadi orang tua yang mengerti hukum. Ia turut memperkenalkan berbagai peraturan dan regulasi dari Undang-undang yang harus diketahui oleh para orang tua.

"Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sejatinya hak asasi manusia melekat dalam setiap diri pribadi tanpa terkecuali, termasuk dengan anak," jelasnya.

Dalam hal ini ia juga memperkenalkan UU nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Berikut juga tentang UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Segudang aspek hukum termasuk tanggung jawab perlakuan anak yang diemban orang tua menjadi bahasan yang menarik. Termasuk anak di bawah umur yang berkonflik dengan hukum yang belakangan ini sering terjadi di tengah masyarakat.

Ketua Yayasan Rumah Literasi Ranggi, Ranggini  mengaku jika pendampingan ini sangat berguna bagi mereka. "Ini adalah momen pencerahan menjadi orang tua yang cerdas melakukan pola asuh. Orang tua punya kewajiban, anak-anak punya hak dan dijamin oleh UU. Anak-anak tidak bisa diabaikan dan anak anak tidak boleh ditelantarkan. Berharap banyak pihak yang perduli terhadap isu-isu seperti ini," pungkas Ranggini.

Baca Juga: Rumah Literasi Ranggi, Bantu Dongkrak Minat Baca Anak-anak

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya