Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak Berarti

Kehilangan spesies kunci berbahaya untuk dunia konservasi

Perdagangan satwa dilindungi akhir-akhir sangat sering terjadi di Indonesia. Salah satu yang pernah viral adalah perdagangan orangutan oleh remaja 18 tahun bernama Thomas. Selain menjual orangutan, ia juga diduga menjual burung rangkong, dan spesies kunci lainnya. Kini ia tengah menjalani proses pengadilan.

Dari hasil persidangan, jalur penjualan satwa dilindungi yang dilakukan pria asal Binjai, Sumatra Utara ini terjadi antar provinsi, bahkan pernah menjual satwa dilindungi ke luar Sumatra.

Kehilangan spesies kunci tentu menjadi ancaman bagi dunia konservasi. Karena spesies kunci berdampak besar terhadap lingkungan hingga dapat mempengaruhi ekosistem.  

Menurut data Forest Wildlife Protection Unit (ForWPU) sepanjang 2015 – 2021, kasus tindak pidana kehutanan angkanya cukup tinggi di Sumatra. Dalam kurun waktu itu, ForWPU mencatat, ada 53 kasus. Sebanyak 23 kasus sudah vonis, selebihnya menjalani pembinaan. Ada 92 pelaku yang ditangkap, 37 di antaranya ditahan.

Kasus perburuan satwa liar menempati angka tertinggi, jumlahnya mencapai 38 kasus. Kasus perdagangan orangutan yang terungkap menempati posisi kedua dengan 11 kasus. Hanya selisih satu angka dengan kasus perdagangan harimau yang terungkap sebanyak 12 kasus.

Dalam liputan kolaborasi pekan ini, Hyperlocal IDN Times menyajikan beberapa kasus perdagangan satwa yang dilindungi dari berbagai tempat di Indonesia, dugaan penyebab, hingga potensi bahaya yang akan ditimbulkan.

Yuk simak:

Perdagangan satwa dilindungi melibatkan remaja hingga eks bupati

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak Berarti[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Orangutan bernama Kaka baru-baru ini diserahkan oleh Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat kepada BBKSDA Sumut.

Usianya diperkirakan 3 tahun. Dia sempat dititiprawat di Pusat Rehabilitasi Satwa Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Ciapus, Bogor setelah disita pada Jumat 7 Januari 2022 lalu.

Saat ini Kakak berada di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan di Batumbelin, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang yang dikelola oleh The Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP).

Kaka diduga kuat menjadi korban perdagangan gelap satwa dilindungi. Meski pun Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat hanya menyebut Kaka diserahkan secaa sukarela oleh masyarakat.

Seorang sumber menyebut, jika Kaka selama ini dipelihara di gudang Paperina Warehouse milik PT Paperina Dwijaya, di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat. Perusahaan ini bergerak di bidang produksi kertas. Nama Paperina cukup dikenal di dalam bisnis publishing.

Di dalam areal gudang, Kaka menghuni kandang yang kawatnya terlihat berkarat. “Sudah tiga bulan itu di sana,” ujar seorang informan yang enggan disebut identitasnya.

Kata informan itu, Kaka juga pernah lepas. Kaka mendatangi rumah-rumah penduduk. Ini menguatkan fakta dari video yang pernah beredar. Di mana Kaka sempat mengejutkan warga karena datang ke rumah.

Bukti nyata perdagangan Orangutan dilakukan oleh remaja 18 tahun Bernama Thomas atau TDR.

TDR ditangkap oleh Polda Sumut pada 28 April 2022 lalu dalam operasi Polda Sumut di kawasan Jalan Haji Anif, Komplek Cemara Asri, Kabupaten Deliserdang. TDR ditangkap bersama empat temannya; AR (20), HY (18), RHN  (17) dan satu orang perempuan PAS (17). Dari dalam mobil yang mereka tumpangi, ditemukan satu bayi orangutan sumatra yang hendak dijualnya.

Hanya TDR yang diproses. Empat rekannya hanya dianggap sebagai saksi meski diduga juga terlibat dalam perdagangan. Seluruhnya merupakan warga Kota Binjai.

Polisi juga sempat menangguhkan penahanan TDR . Dalihnya karena dinilai kooperatif dan ada jaminan dari orangtua.

TDR bukan pemain baru dalam perdagangan satwa dilindungi. Dia bahkan diduga terlibat dalam jaringan perdagangan internasional. Namanya sempat disebut-sebut dalam  berkas perkara perdagangan orangutan dengan terpidana Eddy Alamsyah Putra yang divonis delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta.

Eddy diduga diperintahkan oleh Min Hua untuk membeli orangutan dari TDR. Orangutan itu kemudian diambil oleh tiga orang yang diduga anak buah Eddy Alamsyah berinisial SP, TP dan DPA. Sampai saat ini status hukum ketiganya tidak jelas.

Kepala Divisi Sumber Daya Alam (SDA)  LBH Medan Muhammad Alinafiah Matondang mengatakan, kasus yang menjerat TDR adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena tentunya melibatkan jejaring yang cukup luas. Apalagi satwa yang diperdagangkan merupakan spesies kunci dalam ekosistem dan terancam punah.

“Satu orangutan hilang dalam habitat hilang, dampaknya akan begitu signifikan pada ekosistem kita. Tentunya akan memberikan dampak buruk pada kehidupan manusia,” ujar Ali.

Ali juga mendorong penegak hukum bisa transparan dalam penanganan kasus. Dia juga mendorong polisi mengembangkan kasus itu. Penegak hukum harus berani dan mau membongkar jejaring  perdagangan satwa hingga ke akarnya.

“Kita tidak yakin ini hanya dijalankan oleh satu orang. Ini pasti ada pihak lain yang lebih besar,” kata Ali.

Selain orangutan, Harimau Sumatra juga kerap jadi bisnis. Baru-baru ini Mantan Bupati Bener Meriah berinsial A (41) beserta dua rekannya, IS (48) dan S (44) akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus jual beli satwa dilindungi berupa kulit maupun tulang belulang Harimau Sumatra atau Panthera Tigris Sumatrae.

A pernah melakukan praperadilan, namun ditolak. Kini ia sudah keluar dari tahanan karena masa tahanannya sudah berakhir. Namun kasusnya tidak berhenti.

Lampung tempat transit perdagangan satwa ilegal

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak Berartiilustrasi burung (singaporebirds.com)

Ketika mendengar perdagangan satwa liar ilegal, Provinsi Lampung salah satu tempat paling sering dikaitkan. Pasalnya, Pelabuhan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan menjadi akses utama orang tak bertanggungjawab menyelundupan hewan-hewan tersebut melalui jalur darat dikirim dari Sumatra ke Pulau Jawa.

Itu lantaran, Pulau Jawa menjadi tujuan utama penyelundupan hewan liar ilegal khususnya jenis burung. 

Direktur Eksekutif Yayasan FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds, Marison Guciano, mengatakan, Lampung merupakan tempat transit atau penampungan perdagangan satwa liar ilegal paling strategis. Ia menyebutkan biasanya satwa-satwa ini berasal sari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Padang, Riau, dan Jambi.

“Paling banyak penyelundupan ini ya ke Jawa, seperti Jakarta atau Tangerang. Lewat jalur darat semuanya. Soalnya perjalanan udara kan gak memungkinkan. Akhirnya segala macam dilakukan yaitu melalui jalur darat. Kan jauh ya bisa berhari-hari diperjalanan, jadi transit di Lampung beberapa hari, dikasih makan, ganti kandang, kemudian di selundupkan lewat jalur laut,” jelasnya, Jumat (27/8/2022).

Sebaliknya, ketika satwa-satwa ini akan diselundupkan ke luar negeri, biasanya alurnya malah berlawanan arah. Hal itu dikarenakan burung juga banyak berasal dari Indonesia Timur.

“Setelah itu dikirim jalur darat ke Medan. Di pelabuhan Medan atau di Riau biasanya dikirim ke luar negeri dari sana lewat laut,” imbuhnya.

Marison menjelaskan, sejak Januari 2021 hingga 25 Agustus 2022, sebanyak 67.291 ekor hewan telah berhasil diselamatkan dari perdagangan ilegal di Lampung.

Hewan jenis burung terbanyak, yakni 67.271 burung kicau. Kemudian ada 3 owa, 3 lutung, 11 monyet ekor panjang, 1 beruk, 1 elang bondol, dan 1 elang ular bido.

“Itu jumlah dan jenis satwa liarnya. Kemudian ada juga bagian tubuh hewan yang berhasil diselamatkan dari perdagangan ilegal di Lampung sejak 2021 itu ada 33 kg sisik tenggiling,” ungkapnya.

Marison melanjutkan, ada kecenderungan Provinsi Lampung dijadikan tempat transit pengiriman satwa liar dilindungi dan tanda dilengkapi dokumen pengiriman sah. Bahkan, ada pedagang besar menampung hewan-hewan ini merupakan bandar tersebar di berbagai daerah di Lampung.

“Bandar-bandar besarnya justru ada di Lampung karena mereka yang nampung. Misalnya (satwa) dari Riau, nah pedagang besar besar di Lampung ini yang ambil. Selain itu ada juga hewan-hewan yang dijual dari hutan Lampung,” katanya.

Ia mengungkapkan ada setidaknya 10 pedagang besar hewan ilegal di Lampung. Di Bandar Lampung paling banyak ada sekitar 5 pedagang, Lampung Selatan 2 pedagang, ada juga dari Way Kanan, dan di Metro.

Terkait modus penyelundupan hewan liar, Marison mengatakan tren angka penyelundupan akan sama seperti dulu. Hal itu dikarenakan, kasus ini biasanya ulah dari orang-orang lama yang sudah berkali-kali berkecimpung dalam dunia perdagangan satwa ilegal.

“Jadi memang sudah marak kasus begini sejak lama. Bedanya sekarang ini lebih canggih (cara menyelundupkannya). Sehingga semakin sulit tertangkap. Mereka juga pasti kan belajar dari pengalaman ketangkep,” imbuhnya.

Ia mencontohkan, dahulu penyelundup hanya memakai bus atau kendaraan pribadi saja saat mengirim hewan. Begitu tertangkap, semua burung dibiarkan terbang.

“Kalau sekarang tekniknya mecah barang. Jadi ribuan satwa itu dipecah ke beberapa mobil misalnya ada yang dibawa truk, tronton, mobil pribadi. Jadi umpama kalau ketangkep satu, empat masih lolos,” Imbuhnya.

Jawa Timur pintu masuk perdagangan satwa dilindungi

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak Berartiilustrasi burung (unsplash.com/Joshua J. Cotten)

Jumat (26/8/2022) Polda Jawa Timur menangkap lima orang yang diduga memiliki dan memperdagangkan sebanyak 304 satwa dilindungi. Jumlah itu memang cukup besar. Meski begitu, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur punya catatan lebih mencengangkan. Berdasarkan data BKSDA Jawa Timur, ada 700 ekor satwa dilindungi yang diselundupkan masuk wilayah Jawa Timur.

Kepala Seksi perlindungan perencanaan, pengawetan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim, Nur Rohman mengatakan, 700 ekor satwa tersebut dari berbagai jenis. Mulai dari burung-burungan hingga mamalia.

"Paling banyak, burung Cucak Hijau dan Madu Pengantin," ujar Nur Rohman Kepada IDN Times, Sabtu (27/8/2022).

Satwa tersebut kebanyakan berasal dari wilayah di luar pulau Jawa, seperti Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua dan NTT. 

"Kebanyakan (diselundupkan) dari Pelabuhan. Akan dikirim ke daerah lain, jadi transit. Biasanya di sebarkan ke seluruh wilayah di Jawa," jelas Nur.

Tak jarang, dari satwa-satwa yang telah diselundupkan itu mati dalam perjalanan. Sebab, angkutan satwa tidak sesuai dengan prosedur. "Biasanya burung-burung kecil yang warnanya hijau itu gampang mati," ungkap Nur.

Nur melanjutkan, satwa-satwa yang telah disita dari hasil penyelundupan biasanya akan direhabilitasi. Kebanyakan dari mereka mengalami luka sehingga perlu dilakukan perawatan.

"Setelah satwa datang kita lakukan penilaian. Yang bisa dilepas, kita lepas sesegera mungkin. Tapi kalau belum, dilakukan perawatan, direhabilitasi dulu," terang Nur.

Untuk mengantisipasi penyelundupan satwa, dirinya telah melapor ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) agar memperketat pengawasan habitat satwa.

"Kami juga berkoordinasi dengan para pihak agar ikut bersama-sama mengamankan, agar tidak terjadi penyelundupan," pungkasnya.

Baca Juga: Begini Cara Eks Bupati Bener Meriah CS Mengambil Tulang Harimau

Sumsel jadi jalur perlintasan satwa dilindungi sebelum dibawa ke pasar gelap

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak BerartiSugar glider milik komunitas Sriwijaya glider (IDN Times/Feny Maulia Agustin)

Ratusan satwa dilindungi endemik Indonesia Timur berhasil digagalkan masuk ke Sumatra Selatan (Sumsel) untuk dibawa ke Sumatra Utara (Sumut) 2021 silam. Penyelundupan tersebut menjadi yang terbesar dengan total 118 ekor satwa dengan berbagai macam jenis mulai dari, Kakak Tua, Nuri, Soa Payung, Sugar Glider, hingga Bajing.

Mundur beberapa tahun sebelumnya di tahun 2017 kejadian serupa sempat mengungkap perdagangan satwa Indonesia Timur seperti, Kakatua Maluku, Kangguru, dan Tupai Jelarang dengan tujuan serupa ke Sumut.

Perdagangan satwa endemik Indonesia Timur meningkat seiring banyaknya permintaan dari kolektor hingga permintaan dari pasar gelap. Tak hanya satwa hasil opsetan atau pengawetan, satwa hidup pun jadi primadona di pasar gelap.

"Untuk penyelundupan satwa memang masih ada. Kebanyakan memanfaatkan wilayah perairan lewat kapal-kapal," ungkap Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, Ujang Wisnu Barata, Sabtu (27/8/2022).

Ujang menjelaskan, persoalan pencegahan penyelundupan dan penjualan satwa masih menjadi prioritas BKSDA. Pasalnya, satwa diselundupkan memiliki tujuan akhir ke Sumatra Utara (Sumut). Dari sana baru lah satwa dilindungi dibawa ke pasar gelap.

Terakhir, penyelundupan yang berhasil digagalkan bertujuan ke Thailand. Harga satwa di pasar gelap dapat meningkat berkali-kali lipat. Hal ini lah yang membuat perdagangan satwa semakin diminati. Tak hanya satwa hidup, satwa opsetan pun laku hingga ratusan juta rupiah.

"Kadang-kadang memang yang bersangkutan (masyarakat) tidak ada niat menjual atau mendapatkan hewan buruan. Namun ada yang memanfaatkannya dengan memberi harga tertentu, hingga akhirnya terjadi pemburuan," ungkap dia.

Ujang pun menjelaskan, selama ini Sumsel bukan merupakan wilayah tujuan penyelundupan. Seperti halnya narkotika, dan benih lobster Sumsel hanya dijadikan wilayah perlintasan penyelundupan dari Jawa atau sebaliknya.

"Untuk di Sumsel selama ini bukan jadi tujuan, selama ini yang kita temui hanya perlintasan. Karena skrining pertama di pelabuhan Bakauheni," beber dia.

Tak hanya jalur darat, jalur sungai pun diminati. Banyaknya pelabuhan tikus memudahkan setiap penyelundupan menjadikan Sumsel primadona sebagai tempat transit sebelum dibawa ke lokasi tujuan.

Daging rusa lebih mudah dijual dibanding ikan laut

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak BerartiSekumpulan rusa timor berkumpul di Taman Nasional Baluran. (commons.wikimedia.org/Candra Firmansyah)

Sejumlah pedagang di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengaku meraup cuan banyak dari hasil jualan daging rusa. Padahal, diketahui bahwa rusa termasuk jenis satwa yang dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.

Selain PP tersebut, eksistensi rusa harus dilindungi dikuatkan juga dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Meski sudah ada aturan yang jelas, namun beberapa pedagang masih nekat menjual daging hewan yang dilindungi itu.

Seorang penjual daging rusa bernama Hj Fina mengaku sudah lama melakoni sebagai penjual daging rusa kering. Tidak hanya di rumah, daging rusa itu bahkan dijual secara terbuka di Pasar Raya Kota Bima.

"Kadang-kadang kami juga jual keliling dari satu kampung ke kampung lain," jelas dia saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Tanjung, Jumat siang, (26/8/2022).

Dia mengaku satu kilogram daging rusa dijual dengan harga yang tak menentu, tergantung wilayah pasaran. Misalnya dijual di Pasar Raya, biasanya ia banderol dengan harga Rp200 ribu per kilogram. Sedangkan jual keliling, lebih dari Rp200 ribu.

"Kalau jual keliling kampung agak naik harganya. Karena kita sewa juga orang yang jual. Keuntungan tetap ada, pokoknya lumayan lah," ungkap dia.

Fina mengatakan, daging rusa yang dijual tersebut dipasok dari daerah Merauke, Provinsi Papua. Dalam sebulan, biasanya daging dipasok dua hingga tiga kali, tergantung jika yang dikirim sebelumnya sudah habis terjual.

"Misalnya di sini sudah laku, maka mereka yang di sana akan mulai kirim daging rusa. Kalau di daerah kita kan gak ada rusa, makanya kami selalu pesan di Merauke," ungkapnya.

Senada juga disampaikan Runi, warga Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota. Ditemui di Pasar Raya Kota Bima, dia mengaku juga menjual daging rusa yang dikirim oleh keluarganya dari daerah Merauke.

"Jual daging rusa itu cepat laku. Beda dengan jual ikan laut seperti ini, lama prosesnya baru laku," sebut dia sambil menunjuk ikan daganganya.

Terlepas dari perdagangan daging rusa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga menjadi salah satu daerah transit perdagangan satwa ilegal di Indonesia. Seperti terjadi pada 29 Januari lalu, di mana Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB dan kepolisian menggagalkan penyelundupan 37 ekor burung nuri Maluku atau red lory di Pelabuhan Bima.

Polisi menangkap dua orang pelaku berinisial AF (20) dan AD (34) yang berasal dari Desa Tenga Kecamatan Woha, Kabupaten Bima. 

Kepala BKSDA NTB Joko Iswanto mengatakan, pihaknya banyak menggagalkan perdagangan satwa liar seperti burung. Termasuk pula, mengungkap penyelundupan 2 ribu ekor burung pipit ke Pulau Jawa beberapa waktu lalu. 

"NTB ini kalau dilihat dari peta peredaran satwa ilegal, NTB termasuk daerah transit. Baru-baru ini kita menggagalkan pengiriman burung nuri Maluku di Bima," katanya, Minggu (28/8/2022). 

Joko menyebutkan, satwa burung nuri diangkut menggunakan satu unit mobil lewat transportasi laut kapal Pelni dari Maluku. Kapal tersebut singgah di Pelabuhan Bima di mana nantinya melanjutkan pelayaran ke Makassar dan Jawa. 

Para pelaku sudah menjalani persidangan di pengadilan sedangkan puluhan burung dilepaskan ke habitat aslinya. 

Menurutnya, sepanjang 2021 lalu pihaknya dan Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Mataram menggagalkan pengiriman ilegal burung sebanyak 11.000 ekor. Mayoritas satwa ini merupakan perdagangan antar daerah, tetapi tidak memiliki izin resmi dari BKSDA dan Balai Karantina Pertanian.

Mayoritas burung yang diperdagangkan ke luar daerah tersebut merupakan satwa liar yang tidak dilindungi. Tetapi perdagangan lintas daerah membutuhkan dokumen tambahan dari pihak terkait. Agar melindungi keragaman satwa yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Kucing hutan ternyata satwa dilindungi, kok dijual sih?

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak BerartiKucing hutan di Kalimantan. Foto Instagram etnikbay

Kucing hutan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi daya tarik tersendiri oleh para pencinta hewan. Namun sayang, banyak yang belum sadar bahwa kucing buas itu tergolong satwa dilindungi.

Disampaikan oleh salah seorang anggota Animal Rescue Banjarmasin bernama Hanapi yang mengaku, kerap menemui perdagangan berbagai satwa lindung. Salah satunya, jenis  jenis kucing hutan di Kalsel. 

Hanapi mengatakan, kucing hutan di Kalsel masih menjadi primadona perburuan dan praktik perburuan sembunyi-sembunyi. Ada yang dijual melalui sosial media maupun dari mulut ke mulut. 

"Jual belinya tergantung di mana ada kesempatan," katanya saat ditemui, Jumat (26/8/2022).

Hanapi bahkan menyayangkan, sebagian masyarakat ternyata banyak yang belum mengetahui bahwa kucing hutan merupakan spesies satwa yang terancam punah dan tentu dilindungi. Ini juga berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. 

"Kucing hutan ini banyak yang belum mengetahui bahwa itu satwa lindung dan diatur oleh undang-undang," ucapnya.

Ia juga heran, sebagian pengakuan orang yang pernah ia temui ternyata tidak mengetahui bahwa yang dibelinya adalah jenis kucing hutan. Sepintas orang melihat seperti kucing biasa yang memiliki warna dan loreng yang unik.

Alasan itu diperkuat karena rata-rata kucing hutan yang dijual masih berusia anak dan bahkan bayi. Mungkin itu yang menjadi alasan, karena belum terlihat khas kucing hutan.

"Memang yang dibeli biasanya kucing masih kecil," ujarnya.

Sebagai pencinta binatang, Hanapi mengaku prihatin terkait minimnya pengetahuan masyarakat soal hewan dilindungi. Ia  pun mengharapkan keseriusan pemerintah dalam menyosialisasikan tentang jenis satwa lindung. Dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungannya yang diketahui memiliki hewan lindung.

"Harus lebih disosialisasikan saja biar warga tahu mana hewan yang dilindungi dan tidak dilindungi, serta bagi yang tahu atau melihat orang yang memelihara hewan dilindungi bisa menegur atau melaporkan agar hewan yang dilindungi atau tidak dilindungi bisa terus lestari hingga anak, cucu, cicit kita," ujarnya. 

Hanapi juga menceritakan, pada Bulan Mei 2022 lalu Polda Kalsel telah mengamankan oknum warga dari Hulu Sungai Selatan yang menjual kucing hutan. Satwa yang diperdagangkan, adalah kucing hutan dewasa berukuran panjang 80 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 50 cm.  Jumlah barang bukti disita adalah lima ekor kucing hutan.

Tidak hanya kucing hutan, terdapat pula bekantan, sejenis monyet hidung panjang. 

Hanapi meminta masyarakat untuk tidak memelihara ataupun memperdagangkan satwa
dilindungi karena akan berdampak pidana. 

Kucing hutan ini oleh lembaga konservasi internasional lUCN masuk dalam daftar merah sejak tahun 2000 dengan status konservasi endangered (terancam punah). Selain itu, bekantan juga terdaftar pada CITES sebagai appendix I tidak boleh diperdagangkan secara internasional).

Begitu juga kucing hutan masuk dalam kategori hewan langka dan terancam punah, sehingga berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.

Influencer dan pandemik diduga picu peningkatan perdagangan satwa dilindungi

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak Berartipotret alshad ahmad (instagram.com/alshadahmad)

Perdagangan satwa langka dewasa ini semakin meningkat. Kondisi itu diduga dipicu oleh gaya hidup influencer dan pandemik COVID-19.

Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, Dr Herlina Agustin mengatakan, perdagangan satwa langka yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi meningkat pada masa pandemik COVID.

‘’Ini karena pembatasan kegiatan masyarakat kemudian orang tidak keluar rumah. Sehingga, mereka butuh berekspresi, menyalurkan hobi dengan memelihara hewan. Nah, tapi hewan yang dipelihara ini satwa langka,’’ ungkapnya saat dihubungi, Sabtu (27/8/2022).

Kemudian, lanjut dia, perdagangan satwa langka ini semakin didorong oleh para influencer yang mempertontonkan gaya hidup mereka memelihara satwa langka di media sosial. Sehingga, penonton yang menyaksikan gaya hidup influencer ini juga ingin melakukan hal yang sama dengan memelihara satwa langka seperti primata, reptil, burung, atau lainnya.

Menurut aktivis satwa langka dan lingkungan hidup ini, sebenarnya secara hukum apa yang dilakukan dan dipertontonkan influencer saat mereka memelihara misalnya harimau melalui konten di media sosial itu juga tidak melanggar. Sebab, yang mereka pelihara ’Misalnya, mereka memelihara harimau. Hewan itu adalah Harimau Benggala yang diimpor bukan Harimau Sumatra.

Mereka memelihara hewan tersebut tidak melanggar dan tidak bisa disalahkan juga karena di Indonesia tidak ada aturan yang mengatur itu. Ini yang perlu diakui bahwa kita memang kekurangan hukum yang mengatur perdagangan satwa internasional,’’ jelas Herlina.

Kendati demikian, lepas dari aturan hukum perdagangan satwa internasional, yang lebih mengancam dari kegiatan tersebut adalah kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup satwa langka.

Dosen Prodi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ini menuturkan, satwa langka atau liar itu tempatnya di alam. Sehingga, banyak hal yang harus diperhatikan saat memelihara mereka.

‘’Pertama, satwa liar ini punya fungsi dan peran saat berada di alam atau habitat mereka. Hewan-hewan ini bisa menebarkan benih, mengurangi populasi satwa tertentu sehingga ada keseimbangan ekosistem. Lantas, bagaimana kalau mereka dijadikan hewan peliharaan, tentu berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem,’’ tuturnya.

Dampaknya, satwa liar ini menjadi tidak mempunyai peran dan fungsi yang seharusnya mereka lakukan di alam. Kemudian, mereka bisa stres karena tidak tinggal di habitatnya, mereka juga tidak bisa berkembangbiak secara aman. Lalu, mereka juga akan menjadi tergantung dengan manusia, salah satunya tidak bisa memilih makanan mereka karena sudah disiapkan pemelihara.

‘’Yang lebih bahaya lagi adalah zoonosis karena bisa terjadi perpindahan penyakit dari manusia ke satwa maupun sebaliknya. Sebab, setiap satwa liar ini punya virus yang kemudian berinduk di inang mereka. Lebih parahnya adalah kepunahan,’’ jelasnya.

Herlina mengungkapkan, keanekaragaman hayati di Indonesia ini berada di peringkat ke-3 paling banyak di dunia, tapi laju kepunahannya berada di peringkat ke-2 setelah Meksiko. Kalau satwa-satwa langka atau liar ini punah bisa berbahaya.

’Albert Einstein pun pernah membuat riset, kalau saja lebah punah itu manusia hanya bisa bertahan empat tahun. Karena secepat apapun kita melakukan penyerbukan tidak bisa secepat yang dilakukan lebah. Demikian juga, gajah kalau sampai punah, ini juga membahayakan manusia karena gajah tidak bisa lagi menyebarkan benih pohon-pohon besar,’’ ungkapnya.

Kemudian, imbuh dia, dampak lainnya rantai makanan akan terganggu yang pada akhirnya. Hal tersebut bisa merugikan manusia.

Kembali bicara terkait perdagangan satwa langka dan liar, aktivitas tersebut semakin parah karena tidak hanya terjadi di lingkup lokal saja tetapi juga internasional. Banyak satwa invasi, yakni satwa langka dan liar yang masuk dari luar negeri ke Indonesia.

Menurut pengamatan Herlina, banyak penyelundupan burung-burung berkicau dari Malaysia ke Indonesia. Praktik ini menyalahi karena ada beda spesies. Selain itu, juga bisa mengganggu dan menjauhkan endemi satwa milik Indonesia.

"Sehingga, ini sudah menjadi masalah yang kompleks. Namun, pemerintah mikirnya masih menghidupkan ekonomi dari aktivitas perdagangan ini. Maka itu, perlu ada revisi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Regulasi ini sudah terlalu tua, sudah 30 tahun lebih tidak diganti. Undang undang ini harus segera direvisi,’’ tuturnya.

Solusi lainnya adalah diperlukan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat. Herlina mengusulkan perlu memasukkan pendidikan konservasi satwa di kurikulum sekolah. Pendidikan tersebut perlu diajarkan ke siswa sejak dini agar mereka bisa memahami kehidupan satwa di alam.

‘’Sehingga, mereka jadi tahu kalau ular itu tidak mengerikan, jangan asal membunuh hewan atau jangan hanya gaya-gayaan memelihara satwa langka. Sedangkan, terkait keamanan kita perlu melibatkan instansi termasuk polisi untuk mengawasi perdagangan satwa langka ini. Semua ini demi kepentingan kelestarian lingkungan atau konservasinya,’’ ungkap Herlina.

Marak perdagangan satwa ilegal karena hukuman kepada pelaku relatif rendah

Marak Perdagangan Satwa Dilindungi, Spesies Kunci Seakan Tak BerartiTiga Harimau Sumatra ditemukan mati terkena jerat di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh (Dokumentasi Kausar untuk IDN Times)

Direktur Eksekutif Yayasan FLIGHT Protecting Indonesia’s Birds, Marison Guciano mengapresiasi petugas yang berhasil mengungkap kasus penyelundupan satwa dilindungi di Indonesia. Dahulu kasus penyelundupan burung itu sangat sedikit yang dilanjutkan ke meja hijau, sekarang sudah banyak. 

“Tinggal mungkin vonis hakim dan jaksa ini masih relatif rendah sehingga saya belum melihat ada efek jera. Kami mau menekankan apa yang dilakukan penyelundup itu sangat merusak ekosistem kehidupan manusia dan kemungkinan adanya penyebaran virus,” ujarnya.

Ia menceritakan, dua hari lalu ada ungkap kasus penyelundupan burung di dalam sebuah bus. Bahkan, hewan itu disembunyikan di ruangan khusus di bawah deket bagasi.

“Artinya para penyelundup ini sebenarnya sadar dan tahu bahwa apa yang mereka lakukan ilegal sehingga mereka harus sembunyi-sembunyi,” imbuhnya.

Direktur Green Justice Indonesia (GJI) Dana Prima Tarigan juga menyayangkan vonis yang rendah terhadap pelaku perdagangan satwa yang dilindungi.

Seperti Eddy Alamsyah Putra yang hanya divonis delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta oleh Pengadilan Negeri Binjai, Selasa (24/5/2022). Dia terbukti bersalah karena terlibat dalam perdagangan orangutan sumatra (pongo abelii).

“Ini tidak memberikan efek jera. Orangutan merupakan satwa terancam punah dan menjadi kekayaan Indonesia. Ini hukuman yang bercanda,” ujar Dana, Rabu (25/5/2022) malam.

Hukuman yang sangat rendah itu, kata Dana, justru membuat orang akan semakin seenaknya melakukan kejahatan lingkungan. Padahal sudah jelas, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara.

Menurut Dana, ringannya hukuman terhadap pelaku kejahatan lingkungan justru  menunjukkan belum tegasnya penegakan hukum. Khususnya pada perlindungan ekosistem.

“Kita jadi bertanya. Apakah para penegak hukum kita ini paham dengan kasus yang terjadi, dan dampaknya jika tidak ada perhatian khusus,” kata Dana.

Founder Yayasan Orangutan Sumatra  Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo memberikan  pendapat tegas. Kata dia, hukuman ringan kepada pelaku semakin menunjukkan tidak seriusnya aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kejahatan lingkungan.

“Ini seolah kasus-kasus satwa liar dilindungi tidak menjadi atensi serius,” katanya.

Pria yang menjabat sebagai Ketua Dewan Kehutanan Daerah (DKD) Sumatera Utara mengatakan status kritis pada Orangutan, sehingga dibutuhkan keseriusan melindunginya dari ancaman manusia.

"Orangutan tetap di hutan, penjaga hutan, penjaga ekosistem hutan. Kondisi Orangutan harus diperjuangkan agar tidak punah," ujar Panut.

Panut mengakui, bila upaya mengatasi kritis Orangutan ini tidak mudah. Berbagai tekanan kerap dihadapkan dalam upaya menghentikan perburuan dan perdagangan hewan dengan nama latin Pongo itu. Hewan endemik Indonesia ini sendiri terdiri dari Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).

"Orangutan tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kita harus menyadari tantangan semakin besar, dengan tekanan yang sangat tinggi dari berbagai aspek. Kebutuhan perluasan lahan, untuk pembangunan, perkebunan, jalan juga lainnya," katanya.

"Juga ancaman dari perburuan dan perdagangan Orangutan yang masih sangat tinggi. Ini jadi suatu momentum. Slogan Orangutan hidup di hutan, bukan sebagai peliharaan atau sebagai satwa yang untuk dieksploitasi," tambah alumni Oxford Brookes University jurusan Konservasi Primata itu.

Baca Juga: Penjualan Kulit Harimau, Eks Bupati Bener Meriah Ditetapkan Tersangka

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya