Menanam dan Memanen Harapan di Pelantar Tanjung Pinang
Upaya Vitrawati merawat sayuran hidroponik dan keluarga
Batam, IDN Times - Di atas pelantar kayu, Kamis siang, 19 September 2024, angin laut membawa aroma asin yang menyentuh lembut wajah Vitrawati (45). Tepian Kota Tanjung Pinang menjadi saksi bisu perjalanannya yang tak pernah mudah. Sebuah perjalanan yang telah dimulai dua puluh tahun lalu ketika ia dan keluarganya memutuskan meninggalkan Kota Padang. Mengadu nasib di tanah Melayu sambil mengharap kehidupan yang lebih baik.
Namun, harapan itu seakan perlahan pudar. Pada 2002, suaminya, Noprianto (48), mulai kehilangan penglihatannya. Ketika dunia mulai redup di mata suaminya, kehidupan Vitrawati justru semakin terbebani. Tanggung jawab yang tadinya terbagi, kini beralih sepenuhnya ke pundaknya sendiri.
"Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini," katanya.
"Seperti pelangi, setia menunggu hujan reda," potongan lirik lagu Desember dari band Efek Rumah Kaca terasa menggambarkan perasaan Vitrawati kala itu. Diam dalam getir, menghadapi hidup yang terus ia titir.
Badai di tengah kehidupan yang sunyi
Di saat anak-anak lain berlari mengejar dunia, Aziz (25) dan Agil (20) seolah berjalan di tempat. Kedua buah hati Noprianto dan Vitrawati lahir dengan keterbelakangan mental, tubuh mereka tumbuh tetapi jiwa mereka tetap terkurung dalam masa kanak-kanak. Namun, cinta seorang ibu tak pernah pupus.
"Terserah orang mau bilang apa, tapi mereka anak-anak yang baik dan hebat," kata Vitrawati sembari tersenyum.
Dalam diam, ia menemukan kekuatan untuk tetap berjuang. Sejak Agil berusia 2 tahun, Vitrawati berjualan makanan keliling, mengupas bawang, hingga membersihkan ikan bilis, semua ia lakoni demi kedua anaknya dan sang suami.
Pada 2016, secercah harapan datang dalam bentuk pelatihan sayuran hidroponik. Di balik kesederhanaan pelantar kayu yang ia bangun di tepi laut, Vitrawati mulai merawat tanaman hidroponiknya. Sayuran hijau seperti kale, selada, dan sawi jadi semacam simbol harapan baru yang ia tanam di atas laut.
"Karena kalau ada kemauan pasti bisa," ucapnya penuh keyakinan. Usaha kecil itu mungkin tidak memberi hasil yang melimpah, tapi setiap hari, ada saja yang bisa dipanen. "Alhamdulillah, dulu sayuran kami sudah sampai ke Tarempa, bahkan sampai dijadikan buah tangan ke Singapura dan Malaysia," kenangnya.
Namun, badai datang lagi. Kali ini bukan tak hanya menerpa kehidupan. Badai itu nyata dan menghantam pelantar kayu serta merusak banyak media tanamnya yang berlokasi di Jl. Perikanan, No. 42 RT I/RW III, Kelurahan Kampung Baru, Tanjung Pinang Barat.
"Harus mulai dari awal lagi," katanya dengan suara pelan.
Baginya, badai ini sama seperti angin ribut sebelumnya. Selalu datang tanpa diundang, tapi selalu harus dihadapi.