TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dilema Nelayan Menjaga Harta Karun Simeulue

Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal kerap terjadi

Para nelayan ketika berada di kawasan perairan Simeulue. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Simeulue, IDN Times - Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen menjadikan 32,5 juta hektar perairan laut menjadi kawasan konservasi di 2030 mendatang. Sebab, lingkungan laut yang sehat adalah kunci keberlanjutan pembangunan di negeri ini.

Pernyataan itu disampaikan Joko Widodo sebagai komitmen Indonesia dalam perlindungan laut yang disampaikan dalam pidato presiden Republik Indonesia secara virtual pada One Ocean Summit, yang ditayangkan di saluran YouTube Sekretariat Presiden, pada Jumat (11/2/2022).

“Indonesia bangga menjadi salah satu negara di garda terdepan dunia dalam hal perlindungan laut,” kata Joko Widodo.

Presiden menyampaikan, hingga 2021, Indonesia telah berhasil menetapkan 28,1 juta hektare perairan laut menjadi kawasan konservasi. Capain ini diakui telah 86,5 persen terealisasi dari yang ditargetkan. Salah satu wilayah yang menjadi kawasan konservasi adalah Kabupaten Simeulue.

Simeulue merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Aceh berbentuk kepulauan. Memiliki luas lebih kurang sekitar 212.512 hektar, kabupaten yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia ini terdiri dari lebih kurang 147 pulau besar dan kecil.

Kondisi tersebut menjadikan Simeulue memiliki potensi besar di sepanjang pesisir dan alam bawah lautnya. Kekayaan laut seperti kerapu, tengiri, kuwe, kurisi, selar, lemuru, ekor kuning, alu-alu, cakalang, tuna, pari, cumi-cumi, kepiting, kakap, lobster, teripang, hiu serta beragam terumbu karang, dan banyak lagi biota laut lainnya.

Sadar akan potensi perairan yang dimiliki serta ancaman di sektor kelautan dan perikanan, lalu bagaimana strategi pengelolaan dan pengawasan wilayah perairan Simeulue yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari hasil sumber daya kelautan dan perikanan?

Lebih satu dekade lalu tepatnya pada 9 April 2006 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simeulue telah menunjuk sebagian wilayah perairan di sekitar Pulau Pinang, Siumat, dan Simanaha sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah atau disingkat KKPD Pisisi.

Untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang efektif Pemkab Simeulue juga telah merealisasikan amanah Pasal 67 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyebutkan masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan, yang ditandai dengan terbitnya Keputusan Bupati Simeulue Nomor 523/813/2019 pada awal November 2019, yang telah menetapkan 213 nelayan di sekitar KKPD Pisisi sebagai anggota Kelompok Masyarakat Pengawasan (Pokmaswas).

Sejalan dengan implementasi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan peraturan perundang-undangan tentang kawasan konservasi perairan, pada awal Juli tahun 2020 secara resmi pengelolaan KKPD Pisisi beralih menjadi kewenangan Pemerintah Aceh yang ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 78 Tahun 2020 tentang Kawasan Konservasi Perairan Aceh Besar; Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat, dan Pulau Simanaha; Kawasan Konservasi Perairan Aceh Barat Daya; dan Kawasan Konservasi Perairan Aceh Selatan di Provinsi Aceh.

Garis terdepan menjaga wilayah pesisir itu bernama Pokmaswas

Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Penunjukan para nelayan setempat sebagai pokmaswas bukan tanpa sebab. Mereka ditugaskan untuk menjaga wilayah pesisir perairan Simeulue -selain dilakukan instansi pengamanan terkait- dari maraknya aktivitas pencuiran ikan, pengeboman, dan beberapa kegiatan penangkapan menggunakan alat terlarang lainnya.

Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, Halid K Jusuf, dalam sambutannya di acara Pembinaan Teknis (Bimtek) Pokmaswas, pada 19 Januari 2022 lalu, mengaku bahwa kelompok yang diisi para nelayan tersebut adalah garis terdepan menjaga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta wilayah perairan Indonesia.

“Kami yakin, kehadiran Pokmaswas akan membantu, akan lebih mempermudah bagi kami,” kata Halid, di acara yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna Kabupaten Simeulue itu.

Simeulue dikatakan, merupakan salah satu objek pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan lebih khusus dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP. Sebab di kabupaten ini terdapat kawasan seluas 44.404 hektare sebagai kawasan konservasi perairan daerah yang menjadi tanggung jawab penting.

Oleh karena itu, perlu kerja sama dan kolaborasi antara KKP, Dinas Kelautan Perikanan (DKP) tingkat provinsi maupun kabupaten kota, serta instansi terkait lainnya, termasuk pokmaswas, dalam melakukan pengawasan terutama terhadap kawasan konservasi yang merupakan rumah dari kelestarian sumber daya ikan.

“Saya ketahui dari informasi yang ada, bahwa kepedulian Pokmaswas di Kabupaten Simeulue luar biasa. Kita mendorong masyarakat dan Pokmaswas di daerah ini cukup antusias menjaga wilayah pesisirnya,” ujarnya.

Di acara bimtek Pokmaswas itu, KKP melalui Ditjen PSDKP juga memberikan penghargaan kepada Pokmaswas Air Pinang serta sejumlah ASN lingkup KKP, DKP dan Polri atas dedikasi, kerja keras, dan capaian kinerja dalam mendukung pelaksanaan Program Nasional Pemberantasan Kegiatan Penangkapan Ikan dengan Cara yang Merusak (Destructive Fishing).

Panglima Laot Lhok sekaligus Ketua Pokmaswas Air Pinang, Sahmal mengatakan, penghargaan yang diberikan merupakan bentuk perhatian dari pemerintah terhadap seluruh pokmaswas di Kabupaten Simeulue.

“Kami berterima kasih kepada pemerintah karena sedikit tidaknya sudah memberikan perhatian kepada kami,” kata Sahmal.

Baca Juga: Eks Kombatan GAM Kenang Alasan Aceh Berdamai dengan RI

Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal masih marak

Para nelayan ketika berada di kawasan perairan Simeulue. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Bupati Simeulue, Erli Hasim mengaku, selama ini daerah yang dipimpinnya sedang menghadapi tantangan besar dan terbilang rumit mengenai pengelolaan sumber daya kelautan. Sebab banyak laporan yang diterima dari masyarakat terkait aktivitas oknum nelayan nakal di sekeliling perairan Simeulue.

“Langkah-langkah yang sudah kita lakukan untuk -menjaga wilayah perairan dan kelautan- dengan pembentukan kelompok, sesuai dengan keputusan pemerintah daerah,” kata Erli Hasim.

Hal itu pun diakui salah seorang Sahmal. Selama ini, dia kerap melihat maraknya aktivitas penangkapan ikan secara ilegal ketika melakukan pengawasan. Khususnya di wilayah Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) seperti Pulau Pinang, Siumat, dan Simanaha (Pisisi).

“Memang marak terus. Karena kalau gambarannya, satu dua bulan itu tidak kita temukan, itu sudah lumayan,” kata Sahmal.

Aturan terkait larangan menggunakan alat tangkap ilegal yang dapat merusak lingkungan, dikatakan ketua Pokmaswas Air Pinang, sebetulnya telah tertera dalam masing-masing regulasi yang dikeluarkan pemerintah baik tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten.

Di antaranya, mulai dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Selanjutnya Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Perikanan, dan Qanun Kabupaten Simeulue Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

Dilema Pokmaswas di lapangan: melapor atau menindak

Sahmal, seorang nelayan di Kabupaten Simeulue yang dipercaya sebagai ketua Pokmaswas Air Pinang. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Mengutip pernyataan Halid K Jusuf, direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan KKP Republik Indonesia, pokmaswas seumpama mata, telinga, dan hidung atau mereka adalah salah satu bagian dari deteksi dini aparat pengawas.

Pokmaswas hanyalah kelompok nelayan yang mendapatkan amanah untuk membantu melakukan pengawasan di laut, khususnya wilayah pesisir. Kelompok ini hanya berperan melaporkan setiap melihat adanya aktivitas penangkapan ikan secara ilehgal di masing-masing wilayah.

“Kalau untuk penangkapan itu adalah bagian dari pada tugas dan wewenang Pengawas Perikanan dan Polsus PWP3K kita. Kecuali itu, dalam hal tertangkap tangan masyarakat atau Pokmaswas boleh mengamankan pelaku, Namun tidak boleh main hakim sendiri,” ujar Halid.

Artinya, Pokmaswas bukanlah lembaga kesatuan seperti milik aparat penegak hukum yang bisa melakukan penangkapan langsung para pelaku illegal fishing. Mereka memiliki keterbatasan yang sangat-sangat terbatas.

Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pokmaswas saat melakukan pengawasan, terkadang menjadi kendala tersendiri. Sahmal selaku Ketua Pokmaswas Air Pinang mengutarakan, ada rasa dilema ketika mendapati adanya aktivtas penangkapan ikan secara ilegal terutama di KKPD Pisisi.

Satu sisi, mereka ingin mengamankan dan langsung menyidangkan pelaku sesuai dengan kebiasaan adat setempat. Sisi lain mereka terkendala dengan arahan pemerintah yang sering menyampaikan bahwa status mereka yang hanya bisa melaporkan tanpa bisa langsung menangkap oknum nelayan nakal tersebut.

Rasa dilema itu semakin bertambah, ketika Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Pol Airud, Lanal, PSDKP lambat atau tidak merespon laporan kami. Apalagi DKP dan PSDKP yang posisinya jauh di Kota Banda Aceh.

“Karena kita laporkan, respon kurang, padahal aktivitas mereka melakukan penangkapan di wilayah di KKPD Pisisi itu marak sekali. Hampir setiap minggunya ada,” ucap Sahmal.

Sahmal juga mengungkapkan “Alasan DKP dan PSDKP lamban merespon beberapa laporan temuan para nelayan, dikarenakan keterbatasan hingga kekosongan personel pengawas dan tidak tersedianya armada patroli yang dimiliki instantsi tersebut."

“Karena dulu pernah kita lakukan komunikasi dengan PSDKP tetapi dikatakan tidak ada armada. Yang ada punya armada hanya Sat Pol Airud Simeulue,” ungkapnya.

Lambannya respon dari laporan yang disampaikan, terkadang membuat para nelayan langsung menyampaikan temuan mereka ke pemerintah pusat melalui pesan singkat. Padahal dalam kasus ini, berharap laporan dapat ditindaklanjuti dari instansi terkait tingkat kabupaten maupun provinsi.

Sementara itu, pemerintah daerah Kabupaten Simeulue mengaku, meski pokmaswas telah dibantu angkatan laut, pol airud, maupun instansi kelautan terkait lainnya, namun kinerja petugas di lapangan tidak maksimal. Fasilitas pengawasan yang dimiliki, selama ini masih terbatas.

“Karena memang banyaknya keterbatasan-keterbatasan yang ada pada kita,” aku Bupati Simeulue, Erli.

Terkait dengan laporan adanya aktivitas illegal fishing dan destructive fishing, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Aceh, Aliman mengaku, pihaknya tetap akan menyikapi. Pemerintah provinsi dikatakannya, akan melakukan koordinasi dengan pihak terkait lainnya dalam menindaklanjuti laporan yang disampaikan.

Oleh karena itu, dalam melakukan pengawasan pokmaswas diimbau untuk tidak mengambil tindakan yang bisa berakibat fatal sehingga dapat merugikan anggota atau kelompoknya sendiri.

“Meskipun sudah melihat ada pelanggaran itu, tidak mengambil tindakan fisik yang memang bisa menyebabkan terjadinya kriminal. Jadi tetap sesuai dengan fungsinya masing-masing,” terang Aliman.

Keterbatasan yang kemudian berdampak terhadap lambannya merespon laporan yang disampaikan diakui langsung oleh pihak KKP. Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan mengakui, penyebab lambannya respon selama ini dikarenakan minimnya jumlah personel yang ada di Kabupaten Simeulue.

“Memang untuk Simeulue satgasnya kurang, tetapi kami memiliki armada pengawas baik kapal atau speeboat di UPT Pangkalan PSDKP Lampulo. Yang wilayah operasinya melingkupi seluruh wilayah perairan Aceh dan sekitarnya termasuk yang di Simeulue,” ujar Halid.

Penegakan hukum masih jauh dari kata efektif

Para nelayan ketika berada di kawasan perairan Simeulue. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Sahmal menceritakan, selain berpatroli bersama instansi terkait, selama ini pengawasan oleh Pokmaswas dilakukan ketika Panglima Laot mendapat laporan dari nelayan. Laporan itu kemudian ditindaklanjuti dengan bermusyawarah bersama warga maupun perangkat desa sebelum mengambil keputusan. Tujuannya, agar pengawasan berjalan tertib dan tidak main hakim sendiri.

Oknum nelayan yang ketahuan melakukan pelanggaran di kawasan konservasi, akan dibawa ke darat dan menghubungi perangkat desa asal nelayan bersangkutan. Tujuannya untuk memintai keterangan dan mencari jalan damai secara adat yang berlaku di desa setempat.

Selama proses menuju perdamaian, para pelaku bakal dibekali pemahaman pentingnya melestarikan wilayah perairan dan menangkap ikan tanpa harus menggunakan alat tangkap yang dilarang dalam UU dan aturan adat. Mereka pun diminta membuat pernyataan tidak mengulangi lagi tersebut.

Biasanya setelah berdamai, para pelaku tetap akan dikenakan sanksi adat berbentuk uang. Mereka yang melakukan pelanggaran harus membayar uang senilai Rp 2,5 juta sampai Rp8 juta. Uang itu nantinya digunakan untuk melaksanakan acara adat kenduri laut yang mengundang dan dihadiri pelaku yang pernah disidang adat, termasuk aparatur desa tempat mereka tinggal. juga dengan melibatkan desa desa yang bertikai.

“Seperti itulah yang kami lakukan sewaktu akan melakukan pengawasan,” kata Sahmal.

Meski jalan damai telah dipilih dan sanksi adat sudah diberikan, pelaku kejahatan destructive fishing diakui Sahmal, “tidak juga jera”. Aktivitas serupa masih tetap terjadi. Malah, beberapa kejadian dikatakan, mereka berasal dari desa yang sama, hanya pelakunya saja yang berbeda-beda.

Kekhawatiran lain timbul ketika Pokmaswas bertemu dengan para pelaku yang dinilai bandel. Mereka (pelaku) diakui ketua Sahmal, terkadang sengaja memancing kerusuhan dan menolak komunikasi secara baik-baik, dan ada yang memilih melarikan diri, bahkan ada pula sengaja menabrak perahu Pokmaswas.

Pokmaswas tidak bisa berbuat banyak ketika hal itu terjadi. Mereka tidak bisa mengejar untuk melakukan penangkapan karena armada kapal motor yang digunakan hanya mesin 6,5 PK, sedangkan para oknum nelayan pelanggar menggunakan mesin di atas 13 PK.

Sahmal menceritakan, pokmaswas sempat berbangga hati ketika aparat kepolisian sempat menyatakan akan menertibkan serta membina para nelayan yang melakukan penangkapan secara ilegal, khususnya menggunakan kompresor. Pernyataan ini dikatakannya, disampaikan ketika Panglima Laot Lhok se-kabupaten Simeulue diundang pada November 2021 lalu.

Tidak ada realisasi hingga saat ini dari apa yang telah dijanjikan, sehingga menimbulkan tanda tanya Pokmaswas. Ketidakpastian tindak lanjut dari janji tersebut membuat para pelaku destructive fishing dinilai semakin marak dan terang-terangan dalam menggunakan alat tangkap kompresor seperti beroperasi di siang hari.

“Sebetulnya ada apa di balik ini semua? Mengapa belum ada penertibannya? Mengapa pelaku ini semakin berani? Itu yang menimbulkan tanda tanya dan membingungkan kami,” ucap Sahmal.

Dia menyampaikan, jika para pelaku kompresor ini tidak ditindak oleh aparat keamanan, ke depan ditakutkan akan menimbulkan konflik antara sesama nelayan. Hal ini menjadi keresahaan tersendiri baginya.

“Kalau penegakan hukum belum efektiflah kita bilang,” imbuhnya.

Sehubungan dengan itu, selaku ketua Pokmaswas Air Pinang dan juga nelayan, Sahmal pun menyinggung terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, seperti yang disosialisasikan dalam Bimtek Pokmaswas. Terutama  terkait sanksi administrasi bagi pelaku pelanggaran di bidang kelautan dan perikanan termasuk pelaku pencurian ikan atau illegal fishing.

Baginya, sanksi tersebut tidak akan memberikan efek jera karena hanya pengenaan denda administrasi. Jika pun pidana, para pelaku hanya dihukum dua atau tiga bulan penjara. Dia menilai hukuman itu seumpama percobaan semata dan tidak berpihak kepada para nelayan tradisional.

“Bagi kami kalau hukum seperti itu, itu belum memihak kepada kami masyarakat nelayan tradisional. Misalnya, keputusan pengadilan yang memutuskan hukuman dua atau empat bulan itu bagi kami belum ada hukuman,” ujarnya.

Terkait penegakan hukum para pelaku penangkap ikan yang merusak maupun kegiatan sejenis lainnya, KKP selama 2021 telah memproses 96 kasus, 11 di antaranya diproses Pangkalan PSDKP Lampulo.

“Terkait dengan masalah destructive fishing, kita tidak ada istilahnya toleransi. Kita akan menindaklanjuti itu dengan penegakan hukumnya,” kata Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Ditjen PSDKP KKP Republik Indonesia dalam Bimtek Pokmaswas di Simeulue.

Baca Juga: 17 Tahun Tsunami Aceh, 10 Potret Dulu vs Sekarang Kota Banda Aceh

Berita Terkini Lainnya