TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Indonesia Darurat Judi Online, Bansos Bukan Solusi

Korban judi online tolak rencana pemerintah salurkan bansos

pixabay

Medan, IDN Times - Seorang Polwan di Mojokerto, Briptu FN viral karena tega membakar suaminya Briptu RDW hingga meninggal dunia gara-gara menggunakan uang keluarga untuk bermain judi online pada 10 Juni 2024. Fenomena ‘polisi main judi’ ini menguak kasus-kasus lain tentang bahaya judi online. Bahkan ada yang mengaku rugi ratusan juta.

Persoalan judi online menjadi lebih kontroversial setelah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy berencana memberikan bansos untuk keluarga ‘yang tidak ikut berjudi’ tapi menjadi miskin akibat judi online. Ia menegaskan, korban judi online adalah mereka yang tergolong bukan pelaku.

Pemerintah Indonesia mengklaim telah menutup 2,1 juta situs judi online sebagai upaya memberantas dan memerangi aktivitas judi online yang kian merebak di semua kalangan. Situasi ini bahkan sudah masuk kategori situasi darurat. Sebagai Upaya memberantas judi online, Presiden Joko Widodo membentuk task force atau satuan tugas (satgas) yang melibatkan sejumlah kementerian/lembaga terkait.

Jokowi mengakui karakteristik judi online yang bersifat lintas negara menjadi kendala utama yang menghambat proses penumpasan praktik judi online. Sehingga perlu satgas khusus untuk menanganinya.

Satuan Tugas (Satgas) Judi Online pada 26 Juni 2024 melaporkan selama periode 2022 hingga 2024 tersapat 3.975 kasus judi online dengan 5.982 tersangka. Dalam periode tersebut, tercatat 40.642 situs judi online diajukan blokir, 4.196 rekening dibekukan hingga aset senilai Rp817,4 miliar yang disita. Mirisnya, terdapat 2,3 juta orang Indonesia bermain judi online dengan 80 ribu orang di antaranya masih berusia anak-anak.

Dari data PPATK, demografi pemain judi online di Indonesia kurang lebih 4 juta orang. Dari kategori usia, di bawah 10 tahun sebanyak 2 persen, usia 10-20 tahun sebanyak 11 persen, dan usia 21-30 tahun sebanyak 13 persen. Kemudian, usia 30-50 tahun sebanyak 40 persen dan usia lebih besar dari sama dengan 50 tahun sebanyak 34 persen.

Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Krishna Murti mengungkapkan situs judi online dikendalikan dari luar negeri khususnya negara-negara yang melegalkan judi. Ia mengklaim judi online berkembang semenjak COVID-19 dan banyak dioperasikan di Mekong Region Countries seperti Tiongkok, Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Lantas, apa langkah nyata dari Pemerintah untuk menumpas Judi Online? Berikut IDN Times merangkum sejumlah kasus judi online yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan bahaya yang bisa ditimbulkan:

1. Kehilangan rumah gara-gara bayar utang judi online, Korban judi online tolak dapat bansos

infografis judi online (IDN Times/Aditya Pratama)

Di Kabupaten Lombok Timur (Lotim), beberapa warga diketahui terjerat dengan permainan haram ini. Ada yang rugi ratusan juta rupiah, hingga kehilangan rumah tempat tinggalnya. Salah satunya adalah warga Lotim berinisial AM. Pria berusia 38 tahun yang rela menjual rumahnya untuk membayar utang judinya.

AM merupakan salah satu warga Kecamatan Sakra. Ia bekerja serabutan dan kini telah kehilangan tempat tinggalnya karena kalah dalam permainan judi online. Bukan hanya kehilangan rumah tempat tinggal, rumah tangganya juga hancur berantakan. Rumah tempat tinggalnya sudah dijual dengan harga Rp350 juta untuk bayar utang. Permainan judi online yang dimainkan mulai dari game slot, domino hingga poker. 

"Setiap kali bermain saya kalah Rp1 juta hingga Rp5 juta, bahkan dalam satu waktu saya kalah lebih dari Rp50 juta," tuturnya.

Hal yang sama juga dialami oleh ZH (30), warga kecamatan Selong. Ia mengaku kalah Rp250 juta. Mirisnya uang tersebut merupakan uang kakak iparnya yang dititipkan di rekeningnya.

"Kecanduan game ini kayak merokok, gak bisa ditinggalkan," akunya

ZH mengaku awalnya hanya bermain kecil-kecilan dengan taruhan deposit Rp10 ribu hingga Rp100 ribu. Saat itu, ia sering menang, bahkan pernah menang hingga Rp2 juta. Karena sering menang, ia kemudian menaikkan deposit taruhan di atas Rp1 juta. Menang sekali, ia kembali menaikkan deposit permainan. Setelah mencapai deposit Rp10 juta, ia mulai kalah dan tidak pernah menang. Tetapi ia mengaku sudah kecanduan untuk bermain, hingga kalah sampai ratusan juta rupiah. 

"Saya hanya sekali menang Rp45 juta, itu pun kembali ludes setelah kalah," ungkapnya.

Kecanduan judol ini yang juga dialami JVT, salah satu warga Kota Bandung. Dia bercerita, permainan ini mulai dia coba sebelum pandemik COVID-19 sekitar tahun 2019. Berawal dari informasi seorang teman, JVT coba memainkan judol setelah terbiasa dengan judi luring (offline) yang mengharuskannya bertemu dengan lawan secara langsung.

Ketika pandemik terjadi di Indonesia dan berbagai aktivitas dibatasi, JVT pun kemudian lebih aktif bermain judol. Dari uang jutaan rupiah hingga belajasan juta dia coba mainkan. Sempat menang, tapi lebih sering kalah tak membuatnya berhenti.

"Dulu coba pertama ada Naga303 terus pindah ke Linetogel," ujar JVT kepada IDN Times.

Walapun merasa bahwa judi secara offline lebih menyenangkan, tapi karena tidak melakukan aktivitas tersebut JVT pun lantas menghabiskan uangnya untuk judol. Alih-alih menghasilkan uang banyak, dia mengaku sudah habis uang sekitar Rp875 juta.

"Itu yang kecatat, belum yang ga kecatat banyak juga," ungkapnya.

Bermain sejak 2019 JVT memang lebih banyak kalah dibandingkan menang. Uang yang dia keluarkan untuk judi didapat dari gaji bulanan sebagai pekerja swasta. Jika kurang, dia mengambil uang yang didapat dari bisnis rumahan istrinya.

Saking kecanduannya, JVT pun bahkan sempat menjual barang di rumah seperti kendaraan motor. Kontrakan miliknya pun sempat digadaikan agar uang yang didapat bisa dipakai main slot. Sayang, uang tersebut terbang begitu saja karena kalah saat judol.

"Kalau udah kecanduan gini memang susah. Sudah pasti ekonomi rusak, tabungan hancr, keluarga terpengaruh jadi lebih sering berantem. Kadang jadi jualin barang punya orang lain," ujar JVT.

Saat punya uang lebih dia pasti ingin memainkannya di judol agar bisa uang lebih banyak lagi. Kecanduan ini yang membuat JVT sangat sulit menyimpang uan karena pasti dipakai untuk judol.

Pria berinisial PV, pekerja swasta di Denpasar mengaku sudah bertahun-tahun ketagihan judi hingga terlibat pinjaman online mencapai Rp94 juta. Kebiasaan ini berawal dari pesan WhatsApp yang mengiklankan judi. Pesan tersebut PV terima berkali-kali hingga ia tergiur untuk mencobanya. Ia pertama kali melakukan deposit sebesar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu hampir setiap hari. Kebiasaan terus melakukan kebiasaan ini tanpa sepengetahuan istrinya.

“Slot itu di WA banyak, setiap ada duit saya deposit. Sampai terlilit pinjaman online Rp94 juta. Itu neraka, judi dan pinjol. Tapi bagaimana? Saya kesulitan berhenti. Ada caranya kah?” ungkapnya sambil mewanti-wanti agar namanya disamarkan.

Meski demikian, PV yang telah bertahun-tahun berjudi sangat tidak setuju dengan rencana Muhadjir Effendy yang berencana memberikan bansos untuk keluarga yang tidak ikut berjudi tapi menjadi miskin akibat judi online. PV berasalan, jika bantuan tersebut digelontorkan, pemerintah tetap tidak akan membuat pejudi tersebut berhenti. Mereka akan cenderung menggunakannya untuk deposit dan tambah berjudi lagi.

“Saya mau berhenti tapi bingung caranya. Sejujurnya saya sudah pernah mengirim pesan ke Polri dan Kominfo agar mengusut bandar judi ini. Saya punya banyak bukti dan kontaknya. Seratysan lebih di hape saya sampai saya blokir. Tapi tidak ada respon,” keluhnya.

PV meyakini jika pemerintah atau aparat terkait benar-benar memberantas bandar judi, maka pejudi lainnya akan terbantu untuk berhenti, termasuk dirinya.

“Gak usah dah keluarga kami diberi bantuan. Tangkap saja bandarnya dan kembalikan uang deposit kami. Saya janji akan berhenti,” ungkapnya.

2. Judi picu perceraian hingga tindak kriminal, perlu peningkatan literasi di masyarakat

Infografis pro-kontra wacana bansos korban judi online. (IDN Times/Mardya Shakti)

Judi online bisa menjadi toxic dan mengganggu keharmonisan keluarga. Bahkan, praktik ini pun dapat berimplikasi besar pada perceraian rumah tangga.  Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto Wardoyo mengatakan, judi online dapat merusak rumah tangga. Apalagi, pelaku judi online ini mayoritas adalah laki-laki.

“Judi online ini akan membuat perhatian kepala rumah tangga kepada anak istrinya menjadi terlena. Karena istri dan anaknya akan dicarikan rezeki dari spekulasi, yakni legal juga tidak, halal juga tidak. Mau jadi seperti apa keluarganya?” ungkapnya saat ditemui di kegiatan Hari Keluarga Nasional Ke-31 di Kota Semarang, Kamis (27/6/2024).

Menurut Hasto, tingginya angka perceraian saat ini juga dipicu dari cekcok kecil yang berkepanjangan.

‘’Saya yakin judi ini juga akan menimbulkan percekcokan dari yang kecil hingga besar di keluarga. Sebab, suami jadi melayang terus pikirannya. Berangan-angan tinggi tidak mendarat. Mosok kasih rezeki pada anak istrinya pakai yen ana, yen menang (kalau ada, kalau menang, red),’’ jelasnya.

Dengan demikian, konflik kecil-kecilan berkepanjangan tersebut akhirnya bisa menjadi penyebab perceraian. Menurut laporan Statistik Indonesia pada tahun 2023, angka perceraian tergolong tinggi. Tercatat ada 516 ribu perceraian dari 1,5 juta pernikahan di tahun tersebut.

Hasto menuturkan, pelaku judi ini mayoritas laki-laki, dan laki-laki ini kepala rumah tangga. Sehingga, judi online ini ancaman bahaya bagi keluarga, bahkan toksik di keluarga.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurul Aini menyebut untuk menyelesaikan masalah judi online perlu peningkatan literasi di masyarakat. Selain itu, pemerintah juga mesti tegas memberantas situs judi online.

"Judi online ibaratnya bisa main judi dalam genggaman tangan melalui HP. Nah itu tentu saja memang kemudian judi online akses ke masyarakat lebih luas," kata Nurul, Sabtu (29/6/2024).

Nurul juga mencontohkan di negara lain seperti Belanda judi online legal, meski begitu tidak semua orang bisa bermain. Mereka harus mengisi semacam risk assesment, orang yang tidak memenuhi kualifikasi main judi online ya tidak boleh main.

"Di masyarakat kita sayangnya platformnya ada, masyarakat bebas mengakses, dan karena bebas itu tidak diukur faktor risikonya. Mungkin ada masyarajat yang lebih rentan, yang kemudian mereka jadi terlibat judi online," ujar Nurul.

Melihat karakter judi online yang mudah diakses masyarakat tersebut, Nurul mengungkapkan untuk menyelesaikan judi online dari sisi masyarakat, mereka harus memiliki pengetahuan, literasi teknologi. "Terutama literasi digital, apakah aktivitas tertentu merupakan judi online atau game biasa. Masyarakat harus sadar," ungkap Nurul.

Selain itu, masyarakat juga harus memiliki kemampuan, kesadaran finansial. Hal tersebut penting untuk bisa mengontrol hal-hal yang sifatnya adiktif, yang bisa mempengaruhi ketahanan finansial keluarga atau individu.

Dari sisi pemerintah, Nurul menyebut pemerintah harus tegas melakukan pemblokiran situs judi online. Tidak boleh tebang pilih dalam penanganan kasus. Menurutnya penegakan hukum ini menjadi salah satu tantangan juga untuk memberantas judi online. 

"Pemerintah harus tegas melakukan pemblokiran situs judi online, kalau judi online ilegal ya harus tegas semua diberantas. Harus bersih, tidak ada korupsi, kolusi nepotisme di dalam penanganan kasus judi online," ujar Nurul.

Nurul juga menyinggung faktor lingkungan juga mempengaruhi maraknya judi online. Terlebih di lingkungan yang menormalisasi atau menganggap judi online hal yang wajar. Padahal banyak masyarakat yang penghasilannya habis karena judi online, bahkan sampai berutang.

Dia juga menyebut judi online bisa memicu tindak kriminal. Banyak kejadian orang menghalalkan segala cara untuk tetap bisa main judi online. "Salah satunya dengan melakukan tindakan kriminal, untuk bisa meneruskan hobi kebiasaan judi," kata Nurul.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (FISIP Unila), Teuku Fahmi mengatakan rencana pemerintah memberikan bansos untuk para korban judi online bukan solusi dan tidak akan serta merta direalisasikan.

"Bansos bukan solusi pemberantasan judi online. Pemerintah harus responsif dalam menyikapi beragam opini penolakan dari masyarakat atas isu pemberian bansos tersebut," ujarnya dikonfirmasi, Sabtu (29/6/2024).

Fahmi menegaskan, pemerintah selaku regulator berkewajiban memperhatikan proses pembuatan kebijakan ideal, dengan memastikan tahapan-tahapan formal mulai dari identifikasi permasalahan sampai dengan tahapan evaluasi. Pasalnya, kebijakan lahir melalui proses tahapan-tahapan tersebut bila dilaksanakan tepat dan benar, maka umumnya cenderung mudah diterima dan diimplementasikan masyarakat.

"Hal ini dikarenakan kebijakan yang lahir tersebut sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan dinamika sosial masyarakat atau pelibatan konteks situasional," ucapnya.

Menengok fenomena menjamurnya praktik judi online termasuk di Lampung, Fahmi menjelaskan, sedikitnya terdapat dua faktor bisa dijadikan referensi. Pertama, ada kesempatan ekonomi, ini akan diterima oleh pengguna saat memainkan menggunakan judi online.

"Para pengguna judi online mereka memiliki rasionalitas tersendiri dan meyakini bahwa dengan melakukan judi online, maka pundi-pundi rupiah akan mudah diperoleh," ucapnya.

Kedua, proses pembelajaran dan pengalaman, itu dikarenakan mempraktikan judi online cukup sederhana hingga menjadikan aktivitas tersebut menjadi langgeng untuk terus dilakukan.

"Seperti kita ketahui, pengguna hanya tinggal mengkoneksikan diri saja ke internet, maka aktivitas judi online sudah bisa dilakukan. Kemudahan ini jelas berbeda dengan judi konvensional," tambah dia.

Sejalan dengan faktor tersebut, Fahmi melanjutkan, penanganan jalur penegakan hukum terhadap judi online tetap menjadi kerangka atau pendekatan utama dalam rangka mencegah dan menghentikan salah satu penyakit sosial tersebut. Dalam hal ini, Polri harus punya tekad kuat dan tak pandang bulu dalam membongkar praktik judi online ini.

"Saya kira, Polri akan mampu menjalankan fungsinya tersebut, tinggal mau mengeksekusi ya atau tidak saja. Bahkan presiden mulai mengkomandoi upaya penanganan dan pemberantasan judi online dengan membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online," ucapnya.

Fahmi menyebut, poin penting lain dalam upaya penanganan ialah keterlibatan para pihak dalam upaya pengendalian dan pencegahan judi online juga perlu dioptimalkan. Misalnya, Kominfo harus terus melakukan pemutusan dan pemblokiran konten digital terafiliasi judi online dan peran media massa mengedukasi masyarakat mengenai bahayanya judi online.

"Perlu juga pendekatan kontrol sosial informal dalam suatu kelompok masyarakat. Dengan itu, diharapkan mampu menghindarkan seseorang terjerat atau menjadi pelaku judi online. Salah satu contoh kontrol sosial informal, seperti penciptaan lingkungan sosial atau tempat tinggal ramah bagi semua orang. Ini dapat dimulai dari lingkungan terkecil yakni, keluarga," sarannya.

Berita Terkini Lainnya