Pameran Sulang Balik, Ketika Objek Sederhana Punya Tafsiran Mewah

Medan, IDN Times - Pameran tunggal Franky Pandana yang bertajuk "Sulang Balik" merupakan salah satu sajian seni lukis yang eksentrik. Sulang Balik menyinggung momen yang tersaji di ruang minum meja dan cafe, serta bercerita tentang gestur minum bersama rekan-rekan, orang lain, ataupun seorang diri.
Karya-karya Franky Pandana merepresentasikan perjalanan dalam memahami dan merenungkan elemen-elemen hati yang sering bergiliran mengambil alih: kekacauan dan keheningan. Demikian pula, pameran ini berharap bisa menawarkan sarana untuk menyampaikan percakapan-percakapan dan emosi kepada khalayak yang lebih luas dengan objek seni yang sederhana.
"Apa yang audiens lihat, ya, itulah sesungguhnya maknanya. Jadi kontekstualisasi itu bisa berbeda-beda dan saya menyerahkannya kepada audiens. Karena setiap orang memiliki hak untuk menginterpretasikan sebuah karya seni," kata Franky kepada IDN Times, Jumat, (03/11/2023).
1. Pajang 200 karya yang dibuat dalam tempo sebulan, uniknya semua objek lukisan yang dipamerkannya adalah gelas dan botol

Seniman yang lahir di Medan pada tahun 1976 itu juga merupakan salah seorang guru bahasa Inggris. Franky mengaku jika dalam bidang seni dirinya belajar secara otodidak yang dalam proses kreatifnya menyoroti jejak, proses, dan waktu.
"Saya bikin karya seperti ini mulai tahun 2011, waktu itu saya merasa ada sesuatu yang agak kosong. Jadi secara spontan saya menggambar gelas. Waktu itu tidak bisa berhenti menggambar objek itu," kata Franky.
Dirinya juga mengatakan jika lukisan gelas yang pernah ia buat cukup memberi banyak kesan di baliknya. Bahwa bukan objeknya yang memberi kesan tersebut, tapi momennya.
"Saya ingin menangkap kembali emosi dan momen di balik gambar itu," tambahnya.
Bertepat di Me& Kalingga, Franky menceritakan jika momen ini adalah momen ke-9 dirinya mendirikan pameran tunggal. Dan saat ini dirinya memajang sekitar 200 karyanya yang semua lukisan tersebut diselesaikannya dalam tempo sebulan. Lukisan-lukisan Franky adalah dirinya, dan dirinya adalah lukisan itu.
"Saya menggunakan cat arkrilik. Dan semua di sini adalah gambar gelas atau botol. Saya ingin menunjukkan sesuatu yang sederhana. Ketika orang belajar menggambar, pasti belajar still life, ya. Nah, gelas ini merupakan salah satu objek paling sederhana yang bisa dibikin. Jadi saya membuatnya tanpa harus lagi memikirkan bagaimana bentuknya. Sangat sederhana dan setiap orang bisa membuat gelas," tuturnya.
2. Franky, si pemerhati hal-hal kecil dan sederhana

Selain memajang karya-karyanya yang sangat eksentrik itu, Franky turut pula melakukan semacam monolog atau happening art yang tidak biasa. Di tengah banyak pemerhati seni, dirinya berlakon seperti halnya yang banyak orang lakukan dan menjadi kebiasaan sehari-hari mereka: duduk di cafe dan minum. Happening art itu ia beri tajuk "Seni dalam Kesendirian".
"Jadi sebenarnya happening art yang saya sajikan merupakan salah satu cara atau emosi yang saya lakukan di dalam karya-karya Sulang Balik. Saya merepresentasikannya dalam sebuah happening art," aku seniman yang telah beberapa kali mengadakan pameran tunggal di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, bahkan Jepang ini.
Franky mengaku lukisan-lukisannya lebih cenderung bergaya ekspresionis. Dirinya juga tidak pernah menargetkan selesai berapa banyak, alih-alih ia ingin mengejar emosi dengan cepat dan menjaganya agar tidak hilang. Franky juga menambahkan jika tidak ada isu-isu sosio-politik atau isu lain yang sengaja ia tonjolkan.
"Art is art. Saya mencoba memisahkan kecenderungan isu sosial politik dan saya tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat tema-tema besar. Saya justru menyukai hal-hal yang bersifat sendiri atau hal-hal kecil nan sederhana," kata pria berusia 47 tahun itu.
Kendati lukisan-lukisan yang ia pamerkan mengambil objek yang sederhana, namun Franky juga memikirkan teknik dalam berseni. Seperti memikirkan warna, bentuk, dan lain-lain.
"Saya mencoba mendorong karya itu. Bahwa bisa sejauh mana saya menggunakan objek sederhana, dengan kata lain objek sederhana ini bisa didorong sampai sejauh mana," katanya.
3. Seni tak selalu indah, kadang dianggap Franky perlu kepahitan

Franky bercerita jika untuk memahami esensi seni, dirinya mengibaratkan jika seni itu adalah kita. Bahkan dirinya pernah menanyakan hal yang sama pada istrinya, seperti: akan jadi apa seorang Franky kalau tidak ada seni?
"Sayalah seni itu, kamulah seni itu, dan kitalah seni itu. Jadi buat saya seni itu kalau klisenya sesuatu yang memberikan keindahan, tetapi sebagai seorang seniman kita tahu bahwa seni itu tidak selalu indah, kita kadang-kadang perlu sebuah kepahitan, kemirisan, rasa marah, bahkan tersinggung, yang membuat kita melahirkan suatu karya," imbuhnya.
Franky menambahkan kontekstualisasinya terhadap seni. Dirinya menganggap jika seni itu kejam.
"Kenapa kejam? Karena kamu tidak bisa setengah-setengah dalam berkesenian, kamu harus total. Jadi sebenarnya sebelum performance ini saya stress beberapa hari, gak bisa makan dan lain-lain, padahal hal sederhana yang nantinya akan saya tunjukkan," aku Franky.
Apa yang audiens dan penikmat seni rasakan bagi Franky merupakan suatu hal yang lebih penting. Untuk itu dirinya selalu menegaskan jika para audiens selaku oknum reseptif memiliki kebebasan dalam menafsirkan. Entah itu menjadi tafsiran yang sederhana atau sesuatu yang mewah.
"Saat ini saya merasa usia saya mungkin semakan bertambah dan banyak sekali kejadian yang membuat saya lebih kontemplatif, sehingga muncul karya-karya dan warna-warna yang lebih gelap," pungkasnya.