Gangguan Mental pada Gen Alpha, Pandemik COVID-19 hingga Teknologi

Medan, IDN Times – Generasi Alpha, atau remaja dengan rentang kelahiran antara 2010 hingga 2024 menjadi salah satu kelompok rentan dengan gangguan kesehatan mental. Fenomena ini terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya Pandemik COVID-19.
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), pernah melakukan survei kesehatan mental remaja usia 10-17 secara nasional setelah COVID-19 mereda. Hasilnya, yang telah dipublish di laman ugm.ac.id, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka itu setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7 persen, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5 persen.
1. Pandemik COVID-19 membuat sosialisasi gen alpha terkendala

Pandemik COVID-19 menjadi salah satu faktor yang membuat gen alpha rentan akan gangguan kesehatan mental. Psikolog Klinis RS Siloam Purwakarta Yohana Sondang Aktiva Hutabarat menjelaskan, gen alpha mengalami proses peralihan ke masa remaja bertepatan dengan pandemik COVID-19. Di saat sosialisasi menjadi kebutuhan, mereka terbatas untuk melakukannya.
“Mau tidak mau, di mana gen Alpa harusnya secara sosial memiliki kebutuhan yang terpenuhi, bermain dengan teman-teman sebaya, kemudian sekolah secara onsite, mau tidak mau harus belajar dari rumah dan berjarak secara sosial. Kondisi pandemi ini sendiri saja itu sudah memberikan goncangan yang luar biasa terhadap kondisi psikis,” kata Yohana, Rabu (23/10/2024).
Dalam kondisi ini, anak-anak dan remaja harusnya mendapatkan pendampingan dengan kondisi psikologis yang mumpuni. Tetapi tidak sedikit para orang tua dan guru yang harusnya menjadi pendamping anak-anak pun, secara psikis itu tidak baik-baik saja di masa itu. “Kondisi ini dapat menjadi satu paparan tersendiri untuk anak,” katanya.
2. Masifnya arus informasi dan perkembangan teknologi punya pengaruh besar

Pada kondisi COVID-19 paparan informasi digital sangat erat dengan gen alpha. Kondisi ini membuat plus minus pada perkembangan gen alpha. Pada satu sisi, mereka menjadi sangat dekat dengan teknologi. Namun mereka juga terpapar informasi yang harusnya belum sepatutnya diserap.
Misalnya, isu-isu mengenai kekerasan, kemudian pelecehan seksual, atau beberapa kondisi kesehatan mental yang terganggu, yang anak menjadi gampang sekali tahu dan mencoba sendiri.
“Karena gampang sekali cari informasinya, tapi kebenarannya belum tentu itu sesuai dengan yang dibutuhkan oleh taraf usianya. Jadi, dua faktor besar yang membentuk gen alfa memiliki kondisi kesehatan mental yang terganggu adalah lingkungan sosial dan juga pandemi global, yang mana ini bila dikaitkan juga dengan penggunaan teknologi,” kata Yohana.
Pengaruh paparan arus informasi ini juga didugung oleh faktor terbatasnya sosialisasi yang dilakukan. Para gen alpha sepertis udah terbiasa bersosialisasi jarak jauh dengan daring. Kondisi ini berpengaruh pada kematangan sosial para remaja gen alpha.
“Jadi banyak sekali anak-anak gen alfa mengalami fobia sosial, gangguan kecemasan yang berkaitan dengan sosial, itu karena masa pandemi yang mau tidak mau, anak-anak, semua orang memang harus terisolasi. Pemenuhan kebutuhan sosialnya menjadi terbatas, dan ketika sudah tidak pandemi pun akhirnya mengalami proses adaptasi ulang," ungkapnya.
3. Lingkungan dan orangtua punya peran penting dalam penanganan kesehatan mental

Gangguan kesehatan mental tidak bisa dianggap sepele. Dalam penanganannya harus dilakukan secara komprehensif. Kehadiran orang terdekat, orangtua, keluarga dan lingkungan menjadi sangat penting.
“Ini sangat berpengaruh bagaimana anak merasa diterima, bagaimana gen alpha merasa diterima, dihargai, dan didampingi proses tumbuh kembangnya, itu sangat berpengaruh terhadap kematangan kondisi kesehatan mentalnya,” katanya.
Keluarga, kata Yohana, harus berperan sebagai rumah. Memberikan rasa aman dan nyaman untuk perkembangan gen alpha. Hal yang tidak kalah penting adalah institusi pendidikan. Mereka harus memiliki cara pandang kesadaran akan kesehatan mental.