Api dan Budaya Tionghoa di Pelantar II Tanjung Pinang

“Setiap foto ini memiliki cerita. Aku ingin anak-anakku tahu dari mana mereka berasal, bahwa kami adalah bagian dari sejarah yang lebih besar,” kata Haouchun, warga Pelantar II, Kampung Tionghoa Kota Tanjung Pinang.
Di sebuah sore yang hangat, Haoucun duduk di beranda rumahnya yang sederhana, dikelilingi oleh foto-foto dan kenangannya. Dalam tiap bingkai foto tersebut, terdapat potret keluarga, teman, dan momen-momen berharga yang menjadi saksi perjalanan hidupnya. Namun, kenangan itu tidak boleh di dokumentasikan dalam proses peliputan.
Melalui cerita-cerita yang diturunkan, Haoucun berusaha menjaga agar kenangan tidak terhapus oleh waktu. Seperti pepohonan yang akarnya mencengkeram tanah, ia berharap generasi mendatang tetap terhubung dengan budaya yang melahirkan mereka.
“Sekitar lima generasi udah berlalu di sini, dan saya rasakan berbagai pil manis dan pahit yang terhampar di pelantar II Tanjung Pinang ini,” kata Haoucun secara sepontan. Dalam ungkapan itu, tersimpan sebuah narasi kehidupan yang tidak hanya miliknya, tetapi juga kehidupan ribuan orang yang pernah mengukir sejarah di tanah yang terletak di ujung Kepulauan Riau ini.
Dengan dialek Hokkiannya yang kental, pria berusia 53 tahun itu mengajak saya menyelami kenangan yang mengalir deras dari sudut-sudut ingatannya yang mulai memudar. Setiap cerita yang ia sampaikan bagaikan aliran sungai yang mengukir lembah, mengingatkan kita pada masa-masa ketika kampung ini masih bersinar dalam kemegahannya.
Mulanya di tahun 1990, Haoucun atau yang akrab disapa Hao-Hao ini bercerita tentang kejayaan kampung Tionghoa yang terbagi di dua lokasi, Senggarang dan Pelantar II Tanjung Pinang. Dua lokasi ini terpisah oleh sebuah teluk, yang dulunya menjadi lalu lintas kapal perdagangan tersibuk di wilayah Kerajaan Riau-Lingga.
“Dulu semua orang Tionghoa di Tanjung Pinang tinggal di dua tempat ini (Pelantar II dan Senggarang). Semua kesenangan kami rasakan, bisa bermain dengan teman-teman di laut, sore hari,” bebernya.
Di tengah-tengah ceritanya, dahinya mengkerut. Ia mengingat tragedi kebakaran besar yang meluluhlantakan kawasan Kampung Tionghoa di Pelantar II Kota Tanjung Pinang pada tahuh 2007.
Kebakaran itu tidak hanya menghancurkan fisik bangunan, tetapi juga mengguncang jiwa komunitas Tionghoa di lokasi itu. Pelantar kayu yang dulunya menjadi penghubung antar rumah kini hanya menyisakan sisa bara api dan aroma hangus yang menyengat, bercampur dengan aroma asin air laut.
“Kami mengungsi ke Senggarang dan beberapa lokasi lain di Tanjung Pinang. Namun, tak lama kemudian, beberapa keluarga mulai kembali ke Pelantar II untuk membangun kembali rumah yang terbakar,” kenangnya, suara Hao-Hao kini terdengar lebih berat.
Kehidupan baru bagi kelompok Tionghoa di Pelantar II Tanjung Pinang tidak lagi sama. Kebakaran malam itu menjadi simbol perubahan yang mendalam, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sosial.
1. Upaya mengembalikan budaya Tionghoa yang memudar

Kebakaran besar malam itu cukup mengguncang Kota Tanjung Pinang, semua mata tertuju kepada kehancuran yang ditimbulkan, dampak menggilanya si jago merah. Namun tidak ada yang memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkan.
“Semua fokus membangun ulang, ada beberapa yang meninggalkan reruntuhan rumahnya dan mencari kehidupan baru di luar kawasan Pelantar II Tanjung Pinang,” kata Hao-Hao, mencerminkan kesedihan yang mendalam.
Satu per satu, elemen budaya Tionghoa yang kental saat itu mulai memudar. Dahulu, bangunan-bangunan dengan khas frasa Tionghoa berdiri megah, kini hanya tersisa sedikit dari identitas itu. Sebagai saksi sejarah, Hao-Hao menyaksikan bagaimana estetika budaya Tionghoa perlahan-lahan tergantikan oleh gaya arsitektur yang lebih umum.
“Budaya kami, yang dulunya sangat kuat, mulai tergerus. Kami kehilangan jejak-jejak sejarah yang pernah mengukir identitas kami di sini,” tambahnya sambil bernostalgia. Dengan kepergian elemen budaya tersebut, ada rasa kehilangan yang dalam, seakan sepotong hati Hao-Hao terpisah dari kawasan yang melahirkannya.
Seiring berjalannya waktu, komunitas Tionghoa di Pelantar II berusaha untuk mengembalikan identitas mereka. Meski terhalang oleh berbagai tantangan, keinginan untuk menjaga tradisi dan budaya tetap hidup dalam diri mereka.
Di tengah kesibukan mereka membangun kembali, Hao-Hao dan teman-temannya mulai menggelar perayaan tradisional, menghadirkan kembali unsur-unsur budaya yang hilang setiap tahunnya. Hal ini turut dibantu oleh pemerintah setempat, agar perayaan itu menjadi lebih besar dan meriah.
“Setiap tahun, kami mengadakan festival untuk merayakan hari raya. Ini adalah cara kami untuk mengingat dan merayakan identitas kami sebagai orang Tionghoa di Tanjung Pinang,” ungkapnya menutup cerita dengan semangat yang baru. Di balik senyumnya, tersimpan harapan bahwa anak-anak mereka akan terus mengenal dan mencintai budaya nenek moyang mereka
2. Jejak sejarah yang mengalir dalam persahabatan etnis Tionghoa dan Melayu

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, terdapat jejak-jejak sejarah yang terukir dalam persahabatan antara bangsa Tionghoa dan Melayu di Tanjung Pinang. Prof. Dr. Drs. Abdul Malik, Guru Besar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) menceritakan hubungan ini, yang telah berakar kuat sejak ratusan tahun lalu.
Ia menuturkan, dalam sebuah penelitian mendalam Prof. Liang Liji, dari Universitas Beijing mengungkapkan, tamadun (peradaban) Melayu telah ada selama empat milenia. Di tengah perjalanan panjang waktu ini, khususnya pada abad ke-17 hingga 11 S.M., hubungan antara kedua bangsa terjalin erat.
Prof. Abdul Malik mengutip catatan perpustakaan Dinasti Han yang mengisahkan jalur perjalanan dari Tiongkok ke India melalui Semenanjung Tanah Melayu, membuka lembaran sejarah yang berharga.
Kunjungan utusan Dinasti T’ang Tiongkok ke negeri yang mereka sebut Mo Lo Yu pada tahun 644-645 M adalah salah satu peristiwa penting. Yi Jing, yang dikenal dengan nama I Tsing, melangkah ke tanah Melayu untuk mendalami ajaran agama Budha. Dalam catatannya, ia mengungkapkan kehidupan masyarakat Melayu yang kaya dan berwarna, serta menghormati bahasa Kun Lun sebagai bentuk penghargaan terhadap bahasa Melayu kuno.
Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa bangsa Tionghoa belum menetap di Tanah Melayu pada masa itu. Mereka datang dalam semangat persahabatan, mengagumi budaya dan ajaran yang mendalam.
3. Menetapnya etnis Tionghoa di Tanjung Pinang

Masih kata Prof. Abdul Malik, berdasarkan kajian Reinout Vos, tercatat pada tahun 1741 M, sambutan hangat Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dari Kerajaan Riau Lingga-Johor-Pahang kepada para pendatang Tionghoa dari Pulau Jawa menandai awal mula pertemuan yang lebih intim ini. Para pendatang tersebut, yang mendarat di Kepulauan Riau, membawa serta tradisi dan nilai-nilai yang mengalir dalam nadi kehidupan masyarakat setempat.
“Dalam catatan Netscher tahun 1854, terungkap bahwa Tanjung Pinang menjadi tempat bermukimnya sekitar 1.165 jiwa penduduk keturunan Tionghoa. Keharmonisan hidup berdampingan tercipta, bahkan saat putra Kapitan Tionghoa dipersunting oleh Engku Puteri Raja Hamidah dalam upacara adat Melayu yang megah. Ini menjadi simbol persahabatan yang telah terjalin, di mana perbedaan keyakinan Islam dan Konghucu dihormati serta dirayakan,” ungkap Prof. Abdul Malik.
Syair yang mengabadikan pernikahan tersebut, "Syair Perkawinan Tik Sing Anak Kapitan China," menggambarkan keindahan dan kemegahan acara, di mana pakaian pengantin Melayu melambangkan kesatuan dalam keberagaman. Bait-bait syair ini menyingkap kisah Tik Sing, sang mempelai laki-laki, yang dengan penuh hormat melangsungkan pernikahan dalam adat yang kaya akan nilai-nilai persahabatan.
Berikut Syair Perkawinan Tik Sing Anak Kapitan China :
Tik Sing pun datang hampir dekat
Sambil menyembah bersila rapat
Parasnya elok bagai disifat
Berpatutan baju kancing bertekat
Berseluar panjang kain berantai
Berbaju benang emas bunga teratai
Dikenakan dokoh dimasukkan rantai
Eloknya tiada lagi berbagai
Bait-bait syair di atas menggambarkan Tik Sing, mempelai laki-laki, anak Kapitan Tionghoa, mengikuti acara pernikahannya dengan adat-istiadat Melayu seperti menyembah, bersila, dan menggunakan pakaian pengantin Melayu yang indah-indah. Tidak hanya itu, mempelai perempuan pun, istri Tik Sing, memakai busana pengantin perempuan Melayu.
Diberi berkain berantai kuning
Kida-kida emas berdering-dering
Dimasukkan baju diikatkan pending
Eloknya tiada lagi berbanding
Para jemputan (undangan) dari kalangan masyarakat Tionghoa juga memakai pakaian Melayu pada acara pernikahan Tik Sing. Kesemua jemputan itu merasa gembira dan bahagia pada acara pernikahan meriah, yang dilaksanakan oleh Engku Puteri itu.
Nyonya A Ninyak ada juga serta
Berbaju ungu berkain kosta
Itu pun manis pemandangan mata
Berkenan sedikit di dalam cita
Nyonya Kis Ming orang seberang
Rupanya seperti bunga dikarang
Memakai kain tenun Palembang
Berbaju ungu bunga kembang.
“Kesemuanya ini menunjukkan bahwa perbauran antara masyarakat Tionghoa dan Melayu telah terjalin dengan sangat baik. Persahabatan yang harmonis ini tercermin dalam semangat saling menghormati dan menjaga satu sama lain,” pungkas Prof. Abdul Malik, menutup kisah indah yang mengalir dalam persahabatan lintas budaya ini.