5 Pasar Tradisional bersejarah di Sumut yang Wajib Kamu Kunjungi

Apa yang pertama kali kita pikirkan jika sedang membicarakan Sumatera Utara?, mungkin yang terlintas adalah Danau Toba yang megah atau kuliner Medan yang menggugah selera. Namun, ada satu tempat di mana denyut nadi kehidupan, sejarah, dan budaya berpadu dengan begitu otentik, pasar tradisional.
Di banyak tempat di Sumut, terutama Medan, kamu akan mendengar orang menyebut pasar dengan istilah unik, yaitu pajak. Ini bukan sekadar nama, melainkan jejak sejarah dari era kolonial, di mana pasar adalah pusat perdagangan terorganisir yang dikenai retribusi.
Mengapa ini penting untuk kamu tahu? Karena mengunjungi pasar-pasar ini bukan hanya soal tawar-menawar harga cabai atau mencari selembar kain. Ini adalah sebuah perjalanan melintasi waktu. Setiap sudut pasar, setiap bangunan tua, dan setiap interaksi di dalamnya adalah sebuah cerita.
Kamu bisa merasakan semangat perjuangan, melihat jejak arsitektur kolonial, dan menyaksikan bagaimana berbagai etnis berbaur dalam harmoni. Pasar adalah museum hidup yang paling jujur.
Dari sekian banyak pasar di Sumatera Utara, ada lima pajak legendaris yang menyimpan kisah paling menarik. Masing-masing memiliki karakter dan sejarahnya sendiri yang akan mengubah caramu memandang sebuah pasar. Mari kita mulai petualangan ini!
1. Onan Balerong, Balige: Dari panggung opera Belanda menjadi jantung budaya Batak

Bayangkan sebuah pasar yang bangunannya begitu megah dengan arsitektur khas Batak Toba, lengkap dengan ukiran gorga yang rumit dan penuh makna. Selamat datang di Onan Balerong, ikon kebanggaan masyarakat Balige. Berdiri kokoh di pusat kota, pasar ini bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga sebuah galeri seni dan monumen sejarah yang hidup.
Suasananya begitu khas, terutama pada hari pasar utama atau onan, di mana hiruk pikuk tawar-menawar berpadu dengan keindahan arsitektur yang memukau.
Kisah pasar ini adalah tentang perebutan kembali sebuah identitas. Bangunan-bangunan ini didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1936, namun bukan untuk berdagang. Awalnya, tempat ini dirancang sebagai balai pertemuan dan pusat pertunjukan teater atau opera, sebuah upaya Belanda untuk menanamkan budaya Eropa di jantung Tanah Batak.
Namun, setelah Belanda hengkang pada tahun 1942, para pemimpin adat setempat (raja-raja huta) mengambil alih dan mengubah fungsinya menjadi pasar terpusat, sebuah tindakan cerdas yang mengubah simbol kekuatan kolonial menjadi simbol kehidupan ekonomi dan sosial mereka sendiri.
Kini, Onan Balerong adalah mesin ekonomi dan pusat budaya Balige. Di sini, kamu bisa menemukan segalanya, mulai dari kebutuhan pokok, hasil bumi segar, hingga kain tenun ulos yang menjadi primadona.
Mengunjungi Onan Balerong bukan hanya sekadar berbelanja, tetapi juga menyaksikan bagaimana sebuah ruang dapat direbut kembali dan didefinisikan ulang oleh masyarakatnya, menjadikannya sebuah monumen ketahanan budaya yang mengagumkan.
2. Pajak Ikan Lama, Medan: Kisah evolusi dari amisnya ikan ke warna-warni kain

Jangan terkecoh dengan namanya. Saat kamu melangkahkan kaki ke Pajak Ikan Lama di kawasan bersejarah Kesawan, Medan, kamu tidak akan menemukan satu pun pedagang ikan. Sebaliknya, kamu akan disambut oleh lautan tekstil, gulungan kain warna-warni, busana muslim, dan perlengkapan ibadah yang memadati lorong-lorong sempitnya.
Nama "Pajak Ikan Lama" adalah sebuah fosil linguistik, sisa dari masa lalu yang justru menceritakan kisah transformasinya yang luar biasa.
Pasar ini resmi didirikan tahun 1890 yang berfungsi sebagai lokasi penjualan ikan segar di jantung komersial Medan era kolonial. Namun, seiring berjalannya waktu, para pedagang ikan perlahan-lahan digantikan oleh para penjahit dan pedagang kain. Pergeseran ini menunjukkan betapa dinamisnya sebuah pasar dalam beradaptasi dengan perubahan zaman.
Alih-alih mati tergerus persaingan, pasar ini menemukan ceruk baru dan mengubah dirinya menjadi pusat tekstil terbesar di kota.
Kini, Pajak Ikan Lama adalah persimpangan budaya dan perdagangan. Pedagangnya berasal dari berbagai etnis seperti Minang, Mandailing, hingga Arab dan Tionghoa, menciptakan keragaman produk yang unik. Pasar ini bahkan menjadi destinasi favorit bagi wisatawan dari Malaysia yang berburu
telekung (mukena) dan kain dengan harga miring. Berjalan di antara bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda sambil memilih kain adalah sebuah pengalaman yang membawamu kembali ke masa lalu, membuktikan bahwa warisan sejarah dan geliat ekonomi bisa berjalan beriringan.
3. Pusat Pasar (Pajak Sambu): Saksi bisu sejarah kota di atas bekas pacuan kuda

Jika ada satu pasar yang menjadi mikrokosmos dari seluruh sejarah Kota Medan, itu adalah Pusat Pasar, atau yang lebih akrab disebut Pajak Sambu. Berdiri megah di atas lahan bekas pacuan kuda, pasar ini adalah proyek ambisius pemerintah kolonial Belanda yang diresmikan pada tahun 1933. Dirancang sebagai Medans Centrale Pasar, ia dimaksudkan untuk menjadi pasar terbesar dan termodern pada masanya, dengan arsitektur megah beratap tinggi yang sejuk tanpa pendingin ruangan.
Namun, sejarahnya tak semegah bangunannya. Kurang dari 15 tahun setelah berdiri, pasar ini menjadi medan pertempuran sengit selama Perang Medan Area, sebuah peristiwa yang mengukuhkan posisinya dalam sejarah perjuangan bangsa.
Tak berhenti di situ, dua kebakaran hebat pada tahun 1971 dan 1978 menghanguskan sebagian besar bangunan aslinya, menjadi titik balik yang mengubah wajah kawasan ini selamanya. Di atas sebagian lahannya, kini berdiri Medan Mall, menciptakan pemandangan kontras antara ritel modern dan denyut perdagangan tradisional.
Hingga hari ini, Pusat Pasar tetap menjadi jantung ekonomi Medan, pusat grosir utama untuk sayur, daging, dan ikan bagi seluruh kota.Menariknya, pada awal pendiriannya, kios-kios di pasar ini dialokasikan secara spesifik berdasarkan etnis 60 unit untuk Pribumi, 60 untuk Tionghoa, dan 60 untuk pedagang Arab dan India, sebuah cerminan kebijakan kontrol sosial kolonial.
Mengunjungi Pusat Pasar adalah seperti membaca buku sejarah Medan yang paling lengkap, dari era kolonial, perjuangan kemerdekaan, hingga era globalisasi.
4. Pasar Horas, Pematangsiantar: Simbol kebanggaan yang lahir kembali dari abu

Pasar Horas adalah jantung dan jiwa Kota Pematangsiantar. Kisahnya adalah tentang ketahanan, kebangkitan, dan penegasan identitas. Pasar ini telah ada sejak tahun 1917, tumbuh secara organik bersama kota.
Pertumbuhannya semakin pesat pada akhir 1950-an, didorong oleh munculnya parengge-rengge (pedagang kecil, biasanya ibu-ibu) dan arus urbanisasi akibat ketidakstabilan politik saat itu. Pemerintah kemudian membangun kios-kios dan menamainya Pasar Trikora, sesuai dengan semangat politik zaman itu.
Titik balik yang dramatis terjadi pada 27 Juli 1980, ketika kebakaran hebat meluluhlantakkan sebagian besar pasar dan melumpuhkan ekonomi ribuan pedagang. Namun, dari tragedi inilah lahir sebuah kebanggaan baru.
Pemerintah membangun kembali pasar menjadi struktur yang lebih modern dan permanen, menyatukan area yang terbakar. Yang terpenting, pasar yang terlahir kembali ini diberi nama baru yang sarat makna: Pusat Pasar Horas.
"Horas" adalah sapaan khas Batak yang berarti salam sejahtera dan damai. Pemilihan nama ini adalah sebuah langkah brilian untuk mencitrakan pasar dan juga kotanya sebagai tempat yang harmonis dan toleran, di mana berbagai etnis dan agama berdagang dengan rukun.
Kini, Pasar Horas bukan hanya pusat ekonomi tak terbantahkan bagi Siantar dan sekitarnya, tetapi juga sebuah monumen hidup yang membuktikan bahwa dari puing-puing krisis, sebuah identitas yang lebih kuat dapat dibangun.
5. Pajak Singa, Kabanjahe: Denyut nadi agraris dari dataran tinggi Karo

Berbeda dari pasar-pasar yang lahir dari cetak biru kolonial, Pajak Singa di Kabanjahe tumbuh secara organik dari kebutuhan paling mendasar: pertanian. Terletak di jantung Tanah Karo, pasar ini adalah gerbang utama bagi hasil bumi yang melimpah dari dataran tinggi, mulai dari sayuran segar, buah-buahan, hingga komoditas lainnya yang menjadikan Karo sebagai lumbung pangan Sumatera Utara.
Sejarah Pajak Singa terjalin erat dengan pendirian Masjid Lama Kabanjahe di dekatnya pada tahun 1902-1904. Pembangunan masjid ini diinisiasi oleh para pedagang Muslim dari berbagai daerah seperti Minang dan Aceh yang membutuhkan tempat ibadah di tengah aktivitas dagang mereka.
Sibayak Lingga, penguasa adat setempat, dengan bijaksana memberikan izin dan lahan, menyadari bahwa memfasilitasi para pedagang akan memperkuat ekonomi lokal. Ini adalah contoh indah bagaimana perdagangan dan kehidupan spiritual dapat tumbuh bersama secara simbiosis.
Sebagai sebuah Pekan dengan hari pasar utama pada hari Senin, ritme Pajak Singa menentukan denyut kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Karo. Selain sayuran, pasar ini juga terkenal dengan monja (pakaian bekas), menunjukkan keragaman barang dagangannya yang pragmatis. Mengunjungi Pajak Singa adalah melihat secara langsung bagaimana hasil bumi dari ladang-ladang subur di dataran tinggi Karo memulai perjalanannya, sebuah pengalaman otentik yang menghubungkan kita langsung ke tanahnya.
Kelima pasar ini adalah bukti bahwa sejarah tidak hanya tersimpan di dalam museum berpendingin udara. Sejarah hidup, bernapas, dan terus berinteraksi dengan kita di lorong-lorong pasar yang ramai.