Ungkap Kasus Dugaan Dosen USU Lecehkan Mahasiswi, Harus Dibentuk TPF

USU harus punya SOP penyelesaian kasus pelecehan seksual

Medan, IDN Times – Kasus dugaan pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswa di Universitas Sumatera Utara menjadi sorotan para pegiat perempuan. MedanWomenMarchMdn mengutuk keras kejadian tersebut.

Para aktivis lintas lembaga itu juga menyayangkan kenapa sampai sekarang kasus itu belum menemukan solusi untuk memberikan rasa keadilan agi korban. Mereka juga kecewa karena terduga pelaku yang merupakan pengajar di Program Studi Sosiologi hanya mendapatkan surat berisi keputusan skorsing tulisan tangan tanpa kop surat.

MedanWomenMarchMdn berkomitmen akan bersama-sama dengan korban berjuang menuntut keadilan.

1. Relasi kuasa antara mahasiswa dan dosen jadi penyebab kasus pelecehan seksual langgeng di kampus

Ungkap Kasus Dugaan Dosen USU Lecehkan Mahasiswi, Harus Dibentuk TPFIDN Times/Prayugo Utomo

Wina Khairina, perwakilan Woman Human Right Defender (WHRD) mengatakan, dalam kasus pelecehan seksual, ada struktur relasi kuasa yang kuat antara dosen dan mahasiswa. Sehingga dalam kasus serupa, sangat sulit untuk mengungkapnya.

Ada  ketakutan yang merundung khususnya kepada korban. Terutama ancaman dari sisi akademis sebagai mahasiswa di kampus.  

“Relasi kuasa antara Dosen dan mahasiswa yang menyebabkan kasus-kasus pelecehan seksual di USU berlangsung langgeng dan tidak terlawan oleh mahasiswa. Hal ini menyebabkan kampus tidak lagi menjadi tempat aman bagi anak-anak perempuan kami, saudara perempuan kami, atau adik perempuan kami. Predator pelaku kekerasan seksual dengan relasi kuasanya bebas beredar di Kampus FISIP USU. Kasus yang kali ini merebak hanyalah puncak gunung es yang terlihat dalam praktek kekerasan seksual  dalam relasi kuasa yang timpang ini,” kata Wina, Selasa (28/5).

USU, kata Wina yang juga mantan aktivis HMI ini, berkewajiban melakukan perlindungan dan memenuhi hak-hak korban untuk menjamin peristiwa kekerasan fisik dan psikhis termasuk kekerasan berbasis seksual tidak terjadi berulang pada korban maupun mahasiswa-mahasiswa perempuan lainnya.

“Sangat penting bagi masyarakat sipil agar USU kembali menjadi tempat yang aman untuk proses belajar dan mengajar di Sumatera Utara. Hal ini juga merupakan tanggung jawab USU dalam mewujudkan pendekatan berbasis hak (Right’s Base Approacht) sehingga USU dapat menjadi tempat aman bagi semua tanpa pengecualian,” terangnya.

Baca Juga: Dosen ‘Predator’ Masih Bebas Berkeliaran di Kampus USU

2. USU harus bentuk Tim Pencari Fakta Independen ungkap kasus pelecehan seksual

Ungkap Kasus Dugaan Dosen USU Lecehkan Mahasiswi, Harus Dibentuk TPFIDN Times/Prayugo Utomo

Rurita Ningrum, dari FITRA Sumut juga mendorong agar USU membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen lintas pihak. Dalam TPF harus dilibatkan perwakilan korban beserta pendamping hukum, masyarakat sipil yang biasa bekerja dengan perempuan korban kekerasan.  

“USU juga bertanggung jawab agar korban bisa didampingi oleh konselor yang terbiasa bekerja dengan kasus kekerasan berbasis seksual. TPF ini penting untuk menjamin tersedianya data independen, akuntable dan bertanggung jawab. Sehingga kasus kekerasan seksual tidak dianggap hanya sekedar praktek pelanggaran ringan. Meskipun terindikasi pelaku sudah mengakui bahwa ada upaya melakukan pelecehan seksual kepada korban,” ujar Rurita.

3. Kampus harus punya SOP penyelesaian kasus pelecehan seksual yang berperspektif korban

Ungkap Kasus Dugaan Dosen USU Lecehkan Mahasiswi, Harus Dibentuk TPF

MedanWomenMarchMdn juga meyoroti soal langkah penyelesaian yang dialakukan kampus. Kesannya, kampus hanya mengedepankan tahapan administratif. Dibuktikan dengan permintaan USU kepada korban untuk pengulangan pelaporan kepada Prodi, Dekanat dan di tembuskan ke Rektor.

“Ini masih bias relasi kuasa dan tidak berperspektif korban. Tidak ada pelanggaran malaadministrasi yang dilakukan dalam kasus ini karena belum tersedia SOP penyelesaiannya. Sehingga pelaporan ulang sangat tidak di butuhkan. Apalagi korban sudah melaporkan langsung ke pihak Dekanat FISIP USU dan Prodi Sosiologi FISIP USU sejak setahun yang lalu,” ujar Wina lagi.

Kepentingan korban, kata dia, hendaknya diutamakan dengan memberikan rekomendasi yang lebih berpihak pada kepentingan sebagai survivor kekerasan seksual di USU. Ketidakhadiran korban pada saat rapat mediasi lebih dikarenakan korban merasa ketakutan dan terintimidasi.

4. Kampus harus berani dorong kasus kekerasan ke ranah hukum

Ungkap Kasus Dugaan Dosen USU Lecehkan Mahasiswi, Harus Dibentuk TPFunsplash.com/niu niu

Rusdiana dari Bitra Indonesia mengatakan, USU harus berani mendorong kasus ini masuk ke ranah hukum. Upaya itu harus dilakukan sebagai bukti komitmen USU menjaga nama baiknya dan ada efek jera kepada para pelaku.

“Memastikan tidak terjadi pengulangan oleh terduga pelaku pada korban-korban lainnya. Serta memberikan rasa keadilan bagi korban. Hal ini merupakan perwujudan tanggung jawab USU untuk pemenuhan hak-hak korban atas pengakuan, keadilan dan pemulihan. Kami sangat mendukung hal ini bisa dilakukan oleh USU bersama korban dan masyarakat sipil dalam memastikan USU tetap menjadi kampus yang aman, nyaman, berwibawa dan berintegritas,” ujarnya.

Dia juga menegaskan USU harus memastikan bahwa upaya kesediaan korban sebagai survivor dijamin keamanannya dan di lindungi  kerahasiaan identitasnya. Jaminan korban bisa melanjutkan kehidupannya termasuk menyelesaikan akademisnya tanpa hambatan dari pelaku ataupun pihak-pihak lain adalah tanggung jawab universitas.

“Kami yang tergabung dalam MedanWomenMarchMdn menyatakan berdiri di samping korban dan akan mengawal kasus ini. Korban tidak sendiri memperjuangkan hak-haknya atas keadilan, diskriminasi dan kekerasan seksual yang di alaminya. Untuk itu, semua pihak terkait hendaknya bisa menyelesaikan kasus ini secara terbuka, akuntabel dan bertanggung gugat,” pungkasnya.

5. Dekan FISIP USU kesulitan cari bukti untuk selesaikan kasus pelecehan seksual

Ungkap Kasus Dugaan Dosen USU Lecehkan Mahasiswi, Harus Dibentuk TPFIDN Times/Prayugo Utomo

Dekan FISIP USU Muryanto Amin yang ditemui di kantornya mengaku sudah serius menangani kasus ini. Muryanto juga mendorong, jika ada korban lainnya bisa membuat laporan tertulis tentang kebejatan dosen yang dialaminya.

“Kalau ada lebih dari satu korban, tolong buat laporan tertulis. Saya akan jamin kerahasiaan identitasnya,” ujarnya.

Menurutnya, sanksi bisa diberikan jika ada bukti pendukung untuk membuktikan kasus pelecehan seksual.

Muryanto pun memberi kesan jika sangat sulit untuk mengumpulkan bukti – bukti kasus pelecehan seksual yang dilakukan HS. Makanya dia meminta agar dibuat laporan tertulis.

Kasus ini pun juga sudah ditangani sejak 2018 lalu. Bahkan dia mengaku, kampus sudah memberikan sanksi tegas kepada dosen agar memperbaiki  perilakunya dan tidak mengulangi. perbuatan itu.

Sejak Mei 2018, kasus itu tidak menemukan bukti baru sebelum akhirnya kembali merebak Mei 2019.

Muryanto juga menunjukkan peraturan yang bisa menjerat pelaku untuk mendapatkan sanksi. Dalam dua minggu terakhir, kampus kembali memulai mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut.

“Sanksi sudah ada. Karena ini masuk dalam kode etik. Untuk menegakan kode etik itu, harus ada bukti. Kalau ada bukti baru kita akan proses secara proporsional.

Dalam peraturannya, sanksi yang diberikan bisa mulai dari teguran tertulis, sanksi skorsing, atau sanksi akademik, lalu pemecatan. “Harus ada bukti yang kuat proses pemecatan itu.  Mengikuti prosedur untuk pemecatan PNS,” pungkasnya.

Baca Juga: Tuntut Pemecatan Dosen Cabul di USU, Mahasiswa Pajang Celana Dalam

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya