Hari Tani, WALHI Sumut: Jokowi Gagal Laksanakan Reforma Agraria
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara melontar kritik keras pada peringatan Hari Tani Nasional yang diperingati pada 24 September 2023 setiap tahunnya. Bagi WALHI, saat ini para petani belum mendapat kemerdekaan. Belum memiliki kedaulatan atas tanah, benih dan lainnya.
Konflik agraria pun masih terus terjadi. Ini menjadi bukti bahwa pemerintahan presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo belum mampu melaksanakan reforma agraria. Jokowi disebut belum mampu melaksanakan reforma agrari,s eperti yang tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria.
“Sampai hari ini, kondisi petani berbanding terbalik dengan mandat UUPA. Perampasan Tanah Rakyat, Kriminalisasi Petani, Ketimpangan Penguasaan Tanah, dan konflik agraria masih langgeng terjadi. Hingga jeratan mahalnya harga-harga bibit dan pupuk yang tidak sebanding dengan harga-harga komoditas panen petani yang murah, jeratan tengkulak, sistem pertanian berbasis korporasi, food estate, semakin meminggirkan petani,” ujar Direktur WALHI Sumut Rianda Purba dalam keterangannya, Rabu (27/9/2023).
1. Catatn WALHI: 8 konflik agraria terjadi setahun terakhir di Sumut
WALHI Sumut mencatat, dalam kurun waktu setahun terakhir, ada delapan kasus konflik agraria terjadi di Sumut. Khususnya tumpang tindih kawasan hutan. Luasan lahan yang berkonflik mencapai 3.057 Ha.
“Konflik di kawasan hutan terjadi karena tumpang tindih kawasan hutan dengan tanah yang dikelola warga. Selain itu, Kawasan hutan juga izin nya diberikan kepada Perusahaan seperti izin Hutan Tanaman Industri,” ungkap Rianda.
Baca Juga: Jika Rempang Eco City Dibangun, Gimana Nasib Petani di 16 Kampung Tua?
2. Konflik agraria akan terus terjadi jika pemerintah tetap abai
Kemudian, tipologi konflik yang terjadi adalah pengusahaan kebun sawit illegal di kawasan hutan. Terlebih pemberian izin kelola hutan dengan metode perhutanan sosial yang tidak tepat sasaran baik subjek maupun objeknya.
“Konflik agraria di kawasan hutan berpotensi semakin masif terjadi jika pemerintah tetap membiarkan. Apalagi, Program Reforma Agraria yang tidak terlaksana sama sekali,” tukasnya.
3. WALHI mendesak pemerintah tuntaskan kasus agraria
Sektor perkebunan, lanjut Rianda, menjadi salah satu penyumbang konflik agraria. Konflik yang kerap terjadi adalah antara pihak perusahaan dengan masyarakat.
WALHI mendesak pemerintah untuk menuntaskan konflik agraria. Tentunya penyelesaian harus memberikan jaminan keadilan kepada masyarakat.
“Program reforma agraria Pemerintah Jokowi – Mahruf sama sekali tidak bekerja dan tidak bervisi kerakyatan, sama sekali tidak mengurangi ketimpangan agraria. Selain minimnya capaian redistribusi tanah untuk rakyat, justru diperparah dengan terbitnya Perpu Cipta Kerja yang kontraproduktif dengan semangat UUPA. Ini semakin memperjelas bahwa Pengaturan Agraria Indonesia hanya diperuntukkan kepada Para Kapitalis dan menghamba pada kebutuhan Imperealis abad 21. Serta memperumit sengkarut konflik agraria,” pungkasnya.
Baca Juga: Hari Tani, APARA Minta Hentikan Perampasan Tanah Rakyat